Jakarta (parade.id)- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama 139 organisasi tani mengancam akan memobilisasi 25 ribu massa untuk mengepung Jakarta dan berbagai daerah pada peringatan Hari Tani Nasional (HTN), 24 September 2025. Aksi protes massal ini dipicu kekecewaan mendalam terhadap pemerintahan Prabowo Subianto yang dinilai gagal total menjalankan reforma agraria hampir satu tahun berkuasa.
“Satu tahun Prabowo belum tampak menjalankan reformasi agraria seperti memulihkan konflik yang ada,” tegas Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam konferensi pers di Sekretariat Nasional KPA, Jakarta Selatan, Ahad (21/9/2025).
KPA mencatat kondisi agraria Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Rasio gini ketimpangan penguasaan tanah—segelintir korporasi menguasai 58 persen tanah di Indonesia.
“Ketimpangan agraria semakin tajam—ada segelintir korporasi yang menguasai mayoritas tanah. Ini ketimpangan kronis,” ujar Dewi.
Situasi diperparah oleh konflik agraria yang terus meluas. Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya 3.334 kasus konflik agraria berdampak pada masyarakat. Ironisnya, 20 ribu desa yang berada di peta kawasan hutan tidak mendapat pengakuan hak atas tanah dari Kementerian Kehutanan.
Organisasi tani ini secara khusus menyoroti UU Cipta Kerja yang dianggap kontraproduktif bagi petani. “UU Ciptaker menciptakan lapangan kerja kontraproduktif karena petani tidak butuh itu tetapi perlindungan. Malah yang ada makin ke sini semakin guram,” kritik Dewi.
KPA menilai UU Cipta Kerja justru mempermudah perampasan tanah melalui proyek strategis nasional dan pembentukan badan-badan otorita yang menguasai wilayah tertentu. Sementara itu, upaya untuk merevisi UU Pokok Agraria (UU PA) yang ditakuti korporasi terus mendapat perlawanan dari gerakan tani.
Dalam aksi 24 September nanti, 12 ribu massa akan berkumpul di Jakarta dengan titik kumpul di Gelora Bung Karno (GBK), sementara sisanya akan tersebar di berbagai daerah seperti Palembang dan Manado.
KPA telah mengidentifikasi 24 masalah agraria struktural yang tak kunjung diselesaikan pemerintah dan DPR, termasuk represivitas aparat yang menjadi backing korporasi sehingga petani mengalami intimidasi hingga dilarang berserikat.
Salah satu kritik paling keras ditujukan pada kegagalan kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Meski diklaim telah dibentuk di seluruh provinsi dan kabupaten, GTRA dinilai tidak mampu menyelesaikan konflik agraria atau menetapkan tanah terlantar sebagai objek reforma agraria.
“Berapa konflik agraria yang berhasil diselesaikan oleh seluruh GTRA? Berapa tanah terlantar dari potensi 7,2 juta hektare yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria? Bagaimana nasib 20 ribu desa yang masih diklaim kawasan hutan? Semua pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang jelas,” tantang Dewi Kartika.
Sebagai solusi, KPA mengusulkan 9 langkah perbaikan yang masih dalam tahap finalisasi, antara lain: Reformasi kelembagaan pengganti GTRA yang lebih efektif, Penyelesaian klaim berlapis atas wilayah yang diklaim berbagai instansi, Pengesahan RUU Reforma Agraria sebagai landasan hukum operasional, dan Moratorium perizinan HGU, HGB, HTI, dan izin tambang.
Krisis agraria tidak hanya menimpa petani, tetapi juga nelayan tradisional. KPA mencatat kapitalisasi laut melalui jual-beli pulau pesisir, pembangunan Pelabuhan Samudera Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, dan pariwisata telah merampas akses nelayan untuk melaut.
“Tidak hanya tanah yang dikapitalisasi, tetapi juga laut dan wilayah tangkap nelayan sudah banyak yang dikuasai korporasi,” tegas Dewi Kartika.
Aksi Hari Tani Nasional 24 September mendatang diharapkan menjadi tekanan politik yang signifikan bagi pemerintahan Prabowo untuk segera menjalankan reforma agraria yang genuine dan menyelesaikan persoalan struktural yang telah berlangsung puluhan tahun.*
