Site icon Parade.id

AILA Indonesia Mengajukan Permohonan Pengujian Materiil UU Perkawinan ke MK

Foto: Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia didampingi kuasa hukum, hari ini, Kamis (14/7/2022) mengajukan permohonan sebagai pihak terkait terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang (UU) Perkawinan dalam Perkara Pengujian UU Nomor 24/PUU-XX/2022 ke Mahkamah Konstitusi

Jakarta (PARADE.ID)- Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, hari ini, Kamis (14/7/2022) mengajukan permohonan sebagai pihak terkait terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang (UU) Perkawinan dalam Perkara Pengujian UU Nomor 24/PUU-XX/2022. Permohonan pihak terkait diajukan langsung oleh ketua AILA Indonesia Rita Hendrawati Soebagio dan kuasa hukum dari AFS & rekan, Nurul Amalia sebagai Ketua Yayasan PAHAM Indonesia.

Hal yang disorot tajam oleh AILA Indonesia ialah soal pernikahan beda agama. Menurut AILA Indonesia pernikahan beda agama itu bikin rapuh keluarga yang ada.

“Kebahagiaan setiap keluarga, salah satunya dapat ditempuh dengan senantiasa menjaga keyakinan dan tradisi agama. Praktik-praktik ibadah yang dilaksanakan bersama-sama juga dapat menjadi jalan harmonisnya relasi diantara pasangan di dalam sebuah keluarga,” demikian rilis AILA Indonesia, yang didapat parade.id.

Menurut Olson, D., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2010), agama (juga) mampu menjaga kestabilan emosi diantara pasangan dalam keluarga. Namun demikian kenikmatan dan ketenangan dalam melaksanakan ritual keagamaan idealnya hanya dapat dirasakan oleh pasangan dengan keyakinan yang sama.

“Akibatnya pasangan berbeda agama berpotensi besar menyebabkan rapuhnya keluarga.”

Pasangan yang berbeda agama menurut AILA Indonesia kerap terlibat dalam konflik seiring meningkatnya keyakinan keagamaan masing-masing. Dengan bertambahnya usia pada umumnya setiap individu akan semakin religius.

“Religiusitas seorang individu bersifat universal dan tidak hanya dialami oleh pemeluk agama tertentu saja. Tokoh Psikologi Perkembangan Elizabet B Hurlock dalam bukunya Developmental Psychology mengatakan bahwa seorang individu ketika memasuki usia 40-60 akan mengembangkan sikap, perilaku dan perhatian yang lebih besar kepada agama (Hurlock, 1953).”

Pendapat ini sejalan dengan fenomena sosial yang kita temukan di masyarakat. Rumah-rumah ibadah akan diisi mayoritas jamaah dengan usia lanjut.

“Demikian juga kajian-kajian keagamaan lebih banyak dihadiri oleh jamaah yang sudah cukup usia dibandingkan remaja atau usia muda.”

Lehrer dan Chriswick dalam Joanides (2004:93) pada tahun 1998 meneliti tingkat perceraian pasangan satu iman antara 13 persen sampai dengan 27 persen, sedangkan pada pasangan beda agama angka perceraian mencapai 24 persen sampai dengan 42 persen.

“Konflik yang terjadi karena meningkatnya religiusitas di antara pasangan yang berbeda agama pada umumnya akan berakhir pada perceraian. Angka perceraian pasangan yang berbeda agama lebih tinggi dibandingkan pasangan seiman.”

(Rob/PARADE.ID)

Exit mobile version