Site icon Parade.id

Aksi Damai Peringati Rasisme, Terselip Tuntutan Papua Merdeka

Aksi damai Aliansi Mahasiswa Papua di Surabaya

Surabaya (PARADE.ID)- Seratusan orang yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), juga dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) hari ini, Selasa, turun ke jalan dalam rangka memperingati 1 tahun rasisme di Asrama Kamasan Surabaya, Jawa Timur. Aksi yang dikomandoi oleh Yaob Orlando dan dan Hendrik Rumaropen in melaksanakan aksi damai di depan gedung Grahadi.

Massa juga sempat melakukan orasi di tempat. Selain memperingatk tindakan rasial, massa juga menyatakan tuntutan agar diberikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokrasi bagi bangsa West Papua.

Selain di gedung Grahadi, massa kemudian bergeser ke pertigaan jalan Taman Apsari Surabaya. Di sini mereka juga melakukn orasi.

“Kami sebagai sebagai mama Papua yang telah melahirkan anak-anakku semua untuk itu kita sebagai orang Papua jangan mau diatur dan dijajah oleh negara Indonesia. Kami orang Papua jangan dibenturkan dengan ormas-ormas lain,” demikian info yang redaksi terima.

Kata mereka dalam orasinya, Papua harus merdeka. Orang Papua jangan mau dijajah dengan Negara Indonesia. Orang Papua jangan mengharapkan keadilan di negara ini karena negara Indonesia merupakan negara penindasan terhadap orang Papua.

“Bahwa Negara Indonesia tidak butuh lagi dengan negara Papua karena orang Papua dianggap rasis semua dan disamakan dengan binatang.”

Mereka juga menyebut bahwa bangsa kolonial Indonesia, adalah bangsa penjajah yang telah menjajah bangsa Papua dengan semena-mena. Mereka juga menyebut bahwa Negara kolonial Indonesia hanya menguras dan mengambil kekayaan hasil bumi tanah Papua yang selama ini sudah dikuasai oleh Negara kolonial Indonesia.

“Kami tidak butuh TNI -POLRI berada di tanah Papua karena yang kerjanya hanya untuk membunuh dan menindas rakyat yang tidak bersalah. Untuk itu kami tidak akan tinggal diam dan kami akan tetap berjuang  demi kemerdekaan Negara Papua.”

Kemerdekaan di atas dunia harus dihapuskan.

“Oeh sebab itu segala penjajahan di atas tanah Papua harus dihapuskan dan diusir, karena Bangsa Indonesia merupakan negara penjajah yang akan menguasai Tanah Papua.”

Di tengah orasi, massa aksi sempat melakukan adegan treatikal yang mnggambarkan bahwa orang Papua dianggap sebagai monyet sehingga ditindak dan dianiaya.

Persis tahun lalu, hal itu terjadi ke saudara-saudara kita Papua. Berikut kronologi versi mereka:

Kejadian rasisme ini berawal dari aksi demontrasi damai yang dilakukan oleh Mahasiswa Papua di Malang dalam memperingati New York Agreement pada tanggal 15 agustus 2019 lalu. Dalam aksi tersebut, mahasiswa Papua mengalami represifyang dilakukan oleh TNI/POLRI dan ormas reaksioner dan itu mengakibatkan korban luka berat sebanyak 19 orang dan 4 orang luka ringan kemudian dirawat di rumah sakit.

Setelah itu berlanjut dengan pengepungan asrama Mahaiswa Papua di Surabaya pada tanggal 16 hingga 17 Agustus 2019. Kejadian ini dimulai pukul 15.30 WIB, Ormas Reaksioner, TNI/POLRI dan POL PP mendatangi asrama papua (Kamasan III ) Jl. Kalasan No. 10 Surabaya, dan melakukan tindakan diskriminasi (Rasial) terhadap pelajar dan mahasiswa papua yang berujung pada penangkapan 42 Pelajar dan Mahasiswa Papua secara brutal oleh aparat gabungan TINI/POLRI dan POL PP yang mengakibatkan 4 orang mengalami luka luka dan ditahan di POLRESTABES Surabaya.

Rasialisme menyebutkan “ Monyet Papua” itu datang dari kelompok reaksioner berwatak kolonial. Kolonialisme di Papua sudah berlangsung sejak,1962, pasca Negara Imprealisme, Amerika Serikat, terlibat dalam perjanjian (New York Agreement) yang melahirkan penjajahan baru di bumi West Papua setelah Belanda.

Peristiwa ini, disikapi oleh rakyat papua dengan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran untuk mengecam rasisme Negara colonial Indonesia dan menuntut diberikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa west papua. Namun tuntutan rakyat west papua direspon oleh pemerintah kolonial Indonesia dengan pengiriman militer sebanyak 3.200 (tiga ribu dua ratus) personel Untuk membungkam demonstrasi di papua. Dan selan itu, Rabu 21 Agustus 2019, KOMINFO memutuskan jaringan diwilayah papua dengan dalih mempercepat pemulihan situasi keamanan di Papua.

Mereka pun menilai bahwa hal itu bentuk dari pembungkaman dan diskriminasi rasial terhadap pelajar dan mahasiswa Papua di kota Malang dan Surabaya merupakan tindakan represif yang dilakukan oleh Aparat TNI/POLRI dan ORMAS REAKSIONER.

Menurut mereka, rasisme adalah sikap dan tindakan merendahkan martabat harga diri rakyat Papua telah lama dilakukan lewat operasi-operasi militer mengakibatkan lebih dari 500 ribu jiwa meninggal dalam pembantaian. Mereka menilai bahwa telah dikuasai sumber produksi hingga di pelosok, mengambil semua kekayaan alam Papua untuk tuannya imprealis Amerika.

“Mereka mengisolir rakyat Papua seakan bangsa yang tak bisa berbuat apa-apa selain bergantung kepada Kolonial Indonesia.”

(Verry/PARADE.ID)

Exit mobile version