Site icon Parade.id

Aksi “Korban Aplikator” 217 Menuntut Ini

Foto: massa aksi “Korban Aplikator” 217

Jakarta (parade.id)- Untuk kali ketiga sepanjang tahun 2025, ribuan pengemudi ojek online (ojol), taksi online, dan kurir logistik kembali mengepung Jakarta. Aksi unjuk rasa bertajuk “Korban Aplikator: Aksi 217” yang digelar di kawasan Patung Kuda dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas) pada Senin (21/7/2025) ini bukan sekadar rutinitas, melainkan manifestasi akumulasi kekecewaan mendalam terhadap pemerintah yang dinilai abai dan “tidak tegas” dalam menghadapi dominasi perusahaan aplikator.

Massa pengemudi dari berbagai daerah bahkan melakukan mogok massal dengan memadamkan aplikasi (off bid), mempertegas desakan agar suara mereka didengar. Tuntutan mereka kian mengerucut pada isu krusial: ketimpangan komisi yang mencekik, lemahnya regulasi yang tidak berpihak, hingga ketiadaan jaminan kesejahteraan pengemudi.

Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, secara terang-terangan menunjuk hidung pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan. Menurutnya, demo ini adalah wujud frustrasi akibat “ketidaktegasan” pemerintah dalam membendung hegemoni perusahaan aplikator yang seenaknya menentukan sistem kerja dan komisi.

“Itu memunculkan pertanyaan besar: mengapa pemerintah terkesan membiarkan pengemudi terjerat dalam sistem yang merugikan?”

Lima tuntutan utama yang diusung dalam “Aksi 217” ini menunjukkan betapa parahnya kondisi yang dialami pengemudi:

  1. Kenaikan Tarif dan Penetapan Tarif Resmi yang Adil: Pengemudi mendesak pemerintah dan aplikator untuk bersama-sama menetapkan tarif yang tidak hanya menguntungkan aplikator, tetapi juga adil bagi pengemudi dan konsumen. Mengapa penetapan tarif selama ini didominasi sepihak oleh aplikator?
  2. Komisi yang Adil: 90:10: Para pengemudi menuntut pembagian komisi 90:10 (90% untuk pengemudi, 10% untuk aplikator). Mereka mengklaim potongan aplikator saat ini bisa mencapai hampir 50%, jauh di atas batas wajar. Apakah pemerintah menutup mata terhadap praktik potongan komisi yang mencekik ini?
  3. Audit Menyeluruh terhadap Aplikator: Tuntutan audit menyeluruh menunjukkan adanya kecurigaan serius terhadap transparansi dan keadilan praktik bisnis aplikator, mulai dari komisi hingga algoritma penugasan. Mengapa belum ada audit independen yang dilakukan terhadap raksasa aplikator ini?
  4. Penghapusan Fitur Merugikan: Fitur seperti “argo goceng”, multi-order, slot, hub, dan membership berbayar dinilai hanya menguntungkan aplikator dan merugikan pengemudi. Sampai kapan pemerintah membiarkan aplikator merumuskan fitur tanpa melibatkan kepentingan pengemudi?
  5. Perlindungan Hukum dan Regulasi yang Lebih Tegas: Desakan untuk segera mengeluarkan Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menunjukkan bahwa regulasi yang ada saat ini dianggap lemah dan tidak mampu melindungi hak-hak pekerja transportasi online. Apakah pemerintah kesulitan merumuskan regulasi yang berpihak pada rakyat kecil, ataukah ada kepentingan lain yang menghambat?

Aksi “Korban Aplikator” ini menjadi sorotan tajam bagi kinerja pemerintah dalam melindungi hak-hak pekerja informal di era digital. Pengemudi yang rela turun ke jalan dan mogok massal adalah bukti nyata bahwa kesabaran mereka sudah di ambang batas.

“Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah akan membiarkan “korban aplikator” terus berjatuhan tanpa intervensi yang berarti?” ***

Exit mobile version