Jakarta (parade.id)- Dua mantan ketua umum PP Muhammadiyah bersuara soal ormas keagamaan diberikan kelola tambang oleh pemerintah. Mereka adalah Prof Amien Rais dan Prof Din Syamsuddin.
Keduanya terkait itu, sama-sama tidak mau Muhammadiyah ikut melakukan pengelolaan tambang yang ditawarkan oleh pemerintah itu.
Amien Rais beralasan karena Muhammadiyah sudah memiliki penghasilan lebih dari cukup.
“Saya ingin menyampaikan sedikit saja jangan sampai Muhammadiyah ikut-ikutan, enggak usah, Muhammadiyah lebih dari cukup,” kata Amien, dalam channel YouTube Amien Rais Official Rabu (5/6/2024).
“Karena itu Muhammadiyah tidak ikut terlibat dalam kebijakan ormas keagamaan boleh mengelola tambang,” kata Amien lagi.
Sudah lebih dari cukup yang dimaksud oleh Amien karena penghasilan Muhammadiyah datang dari berbagai sisi, seperti dari rumah sakit dan sekolah (pendidikan) di berbagai daerah.
“Kita punya kampus yang juga gagah-gagah, hebat-hebat yang sudah bisa self efficiency dan segala macam usaha Muhammadiyah itu kita pelihara, enggak usah dibawa-bawa ke pertambangan dan lain-lain,” ujar Amien.
Selain itu, Amien menganggap pertambangan merupakan wilayah yang rawan. Ia tidak mau Muhammadiyah masuk pertambangan dan malah terlibat praktik sogok-menyogok.
“Jadi kemudian kita (kalau) kecemplung di situ nanti kita terpaksa mungkin melakukan hal-hal yang tidak pernah kita perkirakan, karena di situ ada banyak bohir, ada makelar, ada segala macam sogok-menyogok dan lain-lain. Jadi jangan pernah sampai kita masuk” ungkap Amien.
Sementara itu, Din Syamsuddin tegas meminta Muhammadiyah untuk menolak pengelolaan tambang. Dim menilai tawaran itu lebih banyak mudharat-nya daripada maslahatnya.
“Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil/Presiden Joko Widodo. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa (problem maker), bukan bagian dari masalah (a part of the problem),” katanya dalam keterangan resmi, kepada media, Rabu (5/6/2024).
Selain itu, ia mengatakan bahwa pemberian izin untuk mengelola tambang juga akan memunculkan potensi sejumlah masalah. Masalahnya adalah:
a. Pemberian konsesi tambang batubara kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu, dan tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki oleh Kelompok Segelintiran tadi. Luas diketahui satu perusahaan, seperti Sinarmas menguasai lahan (walau bukan semuanya batubara) seluas sekitar 5 juta hektar. Bahkan, Dunia Minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber Daya Alam Indonesia sungguh “dijarah secara serakah” oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat.
b. Pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global (saya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil). Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara (sila bandingkan dengan lahan yang dikuasai oleh para pengusaha).
c. Pemberian tambang “secara cuma-cuma” kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan. Menurut pakar, Sistem Tata Kelola Tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020. Sistem IUP ini tidak sesuai Konstitusi tidak menjamin bhw Perolehan Negara/APBN harus lebih besar dari Keuntungsn Bersih Penambang. Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalah gunakan oleh Oknum Pejabat Negara yang diberi wewenang mulai dari Bupati, Gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP untuk menjadikan Wewenang Pemberian IUP sebagai sumber korupsi. Jika Ormas Keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi.
d. Pemberian konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yang kontroversial akibat Pemilu/Pilpres akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi, peredaman tuduhan ketidakadilan, dan di baliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi oleh pihak tertentu dan kaum kleptokrat di pemerintahan. Harapannya, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata.
“Karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah aksi afirmatif, yakni dengan mempersilakan pengusaha besar maju, tapi rakyat kebanyakan diberdayakan (bukan diperdayakan),” ujarnya.
Ormas keagamaan bisa kelola tambang termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pasal 83A ayat (1).
(Rob/parade.id)