Jakarta (parade.id)- Pengurus Pusat Angkatan Muda Majelis Dakwah Islamiyah (PP AMMDI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Demokrasi Rawan Militeristik-Rawat Nyala Supremasi Sipil”, Senin (17/11/2025), di Jakarta. Forum ini mengetengahkan keprihatinan mendalam terhadap menguatnya jejak militer dan polisi dalam ranah sipil, yang dinilai mengancam fondasi demokrasi Indonesia pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam sambutannya, perwakilan PP AMMDI secara tegas menyatakan bahwa diskusi ini merupakan bentuk “bukti cinta kepada TNI”. Tujuannya, mencegah TNI dan Polri melangkah lebih jauh ke dalam ruang-ruang sipil yang dapat merusak profesionalisme dan citra institusi tersebut.
“Ini perlu penataan dan pengaturan secara kelembagaan,” serunya, menyinggung adanya lebih dari 4.000 perwira militer dan polisi yang menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga.
Forum ini juga menjadi ajang kritik dan masukan untuk pemerintahan baru. “Justru Bapak Presiden kita, Bapak Prabowo Subianto, yang harus punya keberanian,” tantang sang perwakilan.
Pertanyaannya, apakah di era Prabowo justru akan terjadi kemunduran dengan kembalinya “duet ABRI” ataukah pemerintah akan menerima kritik ini sebagai masukan berharga.
Ray Rangkuti: Demokrasi dan Kultur Kekuatan Fisik
Pengamat politik Ray Rangkuti, sebagai narasumber, menyoroti akar masalahnya pada kultur masyarakat Indonesia yang terpesona pada kekuatan dan heroisme fisik, yang beririsan dengan citra militer. “Masyarakat kita itu merasa nyaman, merasa terjaga, kalau yang memimpin itu tentara,” ujarnya.
Menurut Ray, bayangan tentang “ketenteraman” ala Orde Baru telah membuat demokrasi yang deliberatif dan penuh “keributan” dialog dianggap sebagai sumber masalah. “Kita tidak tumbuh dalam kultur yang melihat demokrasi itu sebagai ajang perkhidmatan… bahwa demokrasi itu kita buat dalam konteks supaya kita bisa berdebat, bukan supaya kita bisa tenteram,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa esensi demokrasi adalah mekanisme tanpa kekerasan untuk mengelola perbedaan. Sementara tentara, dengan ilmunya yang mengedepankan penyelesaian secara fisik, tidak seharusnya menguasai politik yang ranahnya adalah dialog.
“Kalau sipil, nanti dihitung lagi. Kalau tentara, diam semua,” sindirnya.
Ray juga mengkritik praktik perangkapan jabatan yang dinilai tidak fair. Empat ribu lebih jabatan sipil yang diduduki personel militer dan polisi aktif berarti merampas peluang dari masyarakat sipil, termasuk generasi muda.
“Ujung-ujungnya jadi konten kreator, bukan pejabat,” ujarnya. Ia mendorong judicial review terhadap undang-undang yang memperluas keterlibatan TNI di ranah sipil.
Sidratahta Mukhtar: Militer Revolusioner dan Overkapasitas Polisi
Akademisi UKI, Sidratahta Mukhtar, memberikan perspektif historis dengan menyebut TNI sebagai “militer revolusioner” yang lahir dari dirinya sendiri (self-rebuilt army), berbeda dengan militer di negara lain yang dibentuk oleh otoritas sipil. Hal ini menciptakan ketegangan historis dalam hubungan sipil-militer.
Di sisi lain, ia menyoroti overkapasitas atau kelebihan perwira tinggi di tubuh Polri. “BKKP itu ada 200 orang… sementara kebutuhan mungkin kurang dari 100,” katanya. Kelebihan ini, diduga, menjadi alasan untuk “memberdayakan” atau menempatkan personel polisi di lembaga di luar mandatnya.
“Sekarang itu terbalik… ada 4 ribuan perwira polisi disebar di instansi sipil,” paparnya. Legitimasi penempatan ini hanya mengandalkan Peraturan Kapolri, bukan undang-undang yang lebih kuat.
Edwin Partogi Pasaribu: Demokratisasi yang Setengah Hati
Wakil Ketua LPSK 2019-2024, Edwin Partogi Pasaribu, menyampaikan kritik bahwa proses reformasi dan demokratisasi pasca 1998 berjalan setengah hati dan penuh kompromi. “Banyak hal sebenarnya dari proses itu mengandung bagian kemampuan,” ujarnya, menyiratkan adanya hal-hal yang tidak tuntas.
Dia memberikan contoh kebijakan yang ambisius dan tampak dipaksakan, seperti program bantuan pangan, yang menurutnya tidak melibatkan pelaku usaha yang berpengalaman. Hal ini mencerminkan mentalitas penguasa yang merasa “paling tahu dan paling bisa”.
“Militerisme itu… adalah alat untuk memaksa demokrasi,” simpulnya, menegaskan bahwa logika militeristik yang memaksa bertentangan dengan hakikat demokrasi yang deliberatif.
FGD ini menyimpulkan bahwa ancaman militerisme terhadap demokrasi Indonesia masih nyata dan bahkan kian menguat. Ekspansi perwira TNI dan Polri ke jabatan sipil, yang didukung oleh payung hukum dan kultur masyarakat yang memuja ketertiban semu, menjadi tantangan terbesar supremasi sipil.
Di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, yang berlatar belakang militer kuat, kewaspadaan dan kontrol sipil terhadap institusi bersenjata dinilai harus ditingkatkan. Langkah seperti judicial review dan pendidikan politik bagi publik menjadi salah satu rekomendasi untuk merawat nyala supremasi sipil.
Ratusan mahasiswa hadir dalam FGD. Mereka datang dari berbagai kampus, di antaranya: Universitas Bung Karno (UBK), Universitaa Islam Jakarta (UIJ), Universitas Nasional (Unas), UPN Veteran, Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Islam As-Syafi’iyah, Universitas Ibnu Chaldun, Unindra, Universitas Tama Jagakarsa, dan lain-lain.*
