Site icon Parade.id

AR. Fakhruddin: Dai Jenaka dari Muhammadiyah

Dok: hidayatullah.com

Jakarta (PARADE.ID)-

NAMA lengkap beliau adalah Abdul Rozzaq Fakhruddin atau biasa dikenal dengan Pak A.R. Lahir di Yogyakarta pada 14 Februari 1916 dan meninggal pada 17 Maret 1995. Jenjang pendidikan beliau di tempuh di SD. Muhammadiyah (1928), Sekolah Guru Muhamamdiyah (1934), Madrasah Muballighin ke-3 Muhammadiyah (1934) juga pernah mengaji di pondok dan langsung ke para kiai.

Di antara jabatan dan profesi yang pernah beliau geluti semasa hidup: Guru Muhammadiyah di Ogan Ilir Palembang (1934-1937), Pamong Kelurahan Banaran Kulon Progo (1946-1947), Pegawai Departemen Agama (1947-1972), Anggota dan Pimpinan Hizbul Watan Muhammadiyah (1934), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1969-1980 dan lain sebagainya (Apa & Siapa, 1984: 195-196).

Beliau bukan saja dikenal di kalangan Muhammadiyah, di luar pun juga dikenal sebagai sosok dai pemersatu. Dakwah-dakwahnya dikenal sejuk dan tak jarang diiringi dengan kejenakaan sehingga pesan dakwahnya bisa diterima luas bukan saja di kalangan Muhammadiyah saja bahkan di luarnya pun juga terkesima dibuatnya. Dulu beliau pernah menjadi pengisi acara tetap di TVRI Yogyakarta mengampu program Mimbar Agama Islam. Oleh banyak pendengarnya disebut sebagai “Pemersatu Umat.”

Di antara quote menarik Pak AR yang menggambarkan bahwa beliau adalah sosok pemersatu adalah sebagai berikut, “Perbedaan kecil janganlah membuat kita terpecah, tetapi hendaklah mempererat kita untuk saling menghargai dan bersatu,” pungkasnya.

Dengan gaya hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan penyampaian dakwah yang renyah dan jenaka, tak mengherankan jika sosok ini bisa diterima banyak kalangan. Suatu hari, beliau pernah berkata, “Dalam berdakwah, bawalah Islam dengan senyum.” (Apa & Siapa, 1986: 214). Bahkan, dakwah-dakwahnya merambah ke wilayah kultural sehingga bisa sublim dalam nurani umat yang menjadi komunikan dakwah.

Dalam buku “Anekdot dan Kenangan Lepas Tentang Pak AR” (2005: 3-7) karya H.M. Sukrianto AR (salah satu putra Pak AR), disebutkan kisah menarik bagaimana dakwah kultural yang dijalankan oleh Pak AR. Saya ambil dari salah satu kisah menarik dakwah beliau yang berjudul “Yasinan Model Baru.”

Saat pak AR ditugaskan di Ulak Paceh Palembang, beliau tertimba imbas informasi kebencian terhadap Muhammadiyah. Akibatnya, salah satu ulama atau orang yang dihormati di kampung itu, turut membencinya, gara-gara dia adalah dai utusan Muhammadiyah. Informasi yang sampai di telinga sang kiai, Muhammadiyah itu jelek, Wahabi, suka mengubah agama dan mengafirkan orang lain.

Oleh karena itu, setiap kali hendak mengajar dan melewati rumah kiai tersebut, ketika Pak AR mengucapkan salam, selalu dijawab dengan sinis bahkan tidak pernah lengkap. Menariknya, Pak AR tidak pernah jemu untuk menyapanya dengan salam dan senyum. Hari berganti hari, rupanya sang kiai luluh juga dan menjawab salam dengan sempurna. Kemudian terjadilah dialog yang mesrah antara keduanya dan mulai menimbulkan simpati.

Pada akhir obrolan hangat itu, Pak AR ditawari oleh sang kiai kampung itu, “Besuk malam Jum’at, guru saya undang untuk Yasinan.” Pak AR pun menjawab, “Baik, insya Allah,” jawabnya. Menjelang hari H, beliau berpikir keras bagaimana jika nanti disuruh memimpin Yasinan, sebab selama ini tidak Yasinan dan tidak tau bagaimana caranya jika disuruh memimpin acara ini. Namun, beliau menemukan trik jitu yang nantinya disebut “Yasinan Model Baru.”

Apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Pada kesempatan itu, beliau disuruh memimpin Yasinan. Terjadilah dialog singkat dan hangat sebelum Pak AR memimpin Yasinan. Karena mereka sudah terbiasa dan hafal Yasin model lama, maka beliau menawarkan, “Bagaimana kalau sekarang kita Yasinan model baru, supaya bapak-bapak punya pengetahuan lebih luas dan punya pengalaman lain?” Di luar dugaan, mereka pun menjawab, “Setujuuuu,” secara serempak.

Model  Yasinannya ala Pak AR, para jamaah disuruh membaca satu ayat kemudian ada yang menerjemahkan dan baru kemudian dijelaskan maksudnya. Pada malam itu beliau bisa menerangkan dua sampai tiga ayat dari surah Yasin. Para hadirin pun puas dan pada pertemuan selanjutnya beliau sering diundang untuk memimpin Yasinan dan hal ini diamini sang kia kampung tersebut. Tentunya dengan gaya baru ala beliau dan lama kelamaan menjadi Pengajian Tafsir Al-Qur`an. Setelah menulis cerita ini, Sukrianto menulis, “Begitulah dulu Pak AR juga sudah melaksanakan dakwah kultural.”

Gaya berdakwahnya Pak AR juga pernah disebut oleh Mitsuo Nakamura dalam buku “Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta” (1983: 170) saat memberi pidato untuk warga Muhammadiyah di Kota Gede pada 28 November 1971.

Salah satu nasihatnya, agar bergaul baik dengan tetanggal dengan cara yang halus dan betul. Mengajak ngobrol tetangga yang mampir. Jika ada yang belum shalat, tidak mengolok dan mengejeknya. Jika ada yang sakit, maka segera dijenguk atau ditengok. Jika dalam kesusahan, maka segera membantu bahkan jika ada yang masuk angin, silakan dikeroki. Dan semacamnya yang menggambarkan istilah “sesrawungan ingkang sae”.

Dengan dakwah yang sejuk, lemah lembut, jenaka, kaya humor, pergaulan yang luas dan simpatik dan tetap tegas dan teguh memegang akidah, maka dakwah-dakwah beliau bisa ditrima di kalangan masyarakat luas. Dalam Islam dalam berdakwah ada istilah bil-hikmah, maudidzah hasanah dan jidaal billati hiya ahasan. Dan itu beliau kemas dengan kerangka kultural yang menarik komunikan dakwah. Rahimahullah rahmatan waasi’ah.

*Mahmud Budi Setiawan

(hidayatullah/PARADE.ID)

Exit mobile version