Jakarta (PARADE.ID)- Saat mendarat di Bandara Mararena, siapapun yang bertandang ke Kabupaten Sarmi, Papua, bakal merasakan potensi besar wisata bahari.
Dari kota, terlihat Samudera Pasifik yang membentang dengan ombak menggulung-gulung. Sangat pas untuk olahraga selancar ombak. Apalagi, pantainya landai dan lembut meskipun bukan pasir putih. Pantainya yang tak berkarang, ideal bagi peselancar saat menepi usai menunggangi ombak.
Berdiri di Kota Sarmi, wisatawan segera menyadari sedang berada di salah satu episentrum Perang Pasifik, yang merupakan bagian dari epik Perang Dunia II. Di salah satu sudut kota, berdiri bangunan khas jepang, Tugu Yamagata. Berlokasi di Jalan Inpres Basecamp, Kelurahan Mararena, Distrik Sarmi.
Bangunan ala Jepang itu seolah mengambang di atas rerumputan dan tetumbuhan yang mengelilinginya. Mata di manja dengan deretan nyiur, khas tanaman pantai. Bangunan bergaya Jepang dan pepohonan kelapa mengingatkan pengunjung kepada pantai di Okinawa yang hangat sepanjang tahun.
Taman dan bangunan bergaya Jepang di dalamnya, saat ini dikelola oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Sarmi, “Tugu Yamagata dibangun pada tahun 1994, saat dimulainya kerja sama provinsi kembar atau sister state antara Provinsi Irian Jaya waktu itu dengan Yamagata Prefecture, Jepang,” ujar arkeolog Hari Suroto.
Selain sebagai simbol persahabtan, tugu perdamaian itu untuk mengenang salah satu bagian dari Perang Dunia II atau Perang Pasifik di palagan Papua. Tugu Yamagata ini juga untuk mengenang pasukan Jepang yang tewas dalam Perang Pasifik tahun 1944.
“Pertempuran sengit terjadi antara Sekutu dan Jepang di Pulau Wakde, Sarmi, tahun 1944. Pertempuran itu menewaskan 4.000 tentara Jepang serta 75 orang yang jadi tawanan perang, sementara korban di pihak Sekutu adalah 415 tetara sekutu tewas,” ujar Hari Suroto.
Budaya Maritim di Pesisir Utara Papua
Sarmi kota kecil yang bersejarah. Jauh sebelum Jepang mendarat di Papua di pesisir utara, sejak masa prasejarah wilayah tersebut telah mengadakan kontak dengan beragam budaya mancanegara. Sekitar 3.000 tahun yang lalu, penutur Austronesia bermigrasi ke pesisir utara Papua.
“Mereka membuat dan menggunakan perahu yang disesuaikan untuk pelayaran laut, merekalah yang berhasil menemukan sistem cadik (penyeimbang di kiri dan kanan perahu) untuk mengatasi ganasnya ombak lautan,” imbuh Hari Suroto.
Penelitian Balai Arkeologi Papua di Sarmi berhasil menemukan situs Karbos dan situs Fromadi. Kedua situs ini merupakan situs hunian yang terletak di pesisir pantai. Temuan artefak berupa manik-manik, fragmen gerabah, serta keletakan geografis Sarmi yang strategis.
Penduduk pesisir Sarmi pada masa lalu telah menjalin kontak perdagangan dengan bangsa-bangsa di luar Papua memalui jalur laut.
Meskipun bukan penghasil rempah-rempah utama, pesisir utara Papua pertama kali didatangi oleh orang Eropa pada tahun 1545. Saat itu pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes dengan kapal San Juan berlabuh di muara Sungai Mamberamo dan memberi nama Sungai Mamberamo dengan Sungai Santo Agustin.
Pelaut Eropa lainnya, Bougainville, yang berkebangsaan Perancis, berlabuh di Teluk Humboldt pada tahun 1768. Ia menamai Pegunungan Dafonsoro dengan sebutan Cyclops. Pada tahun 1827, pelaut Perancis lainnya yaitu Dumont d’ Urville, dengan kapal L’Astrolabe tiba di Teluk Humboldt.
Sementara Belanda datang ke Teluk Humboldt dalam suatu ekspedisi yang dikenal dengan ekspedisi Etna pada tahun 1858. Perusahaan pelayaran komersil Belanda memulai berlayar secara regular ke pesisir utara Papua pada tahun 1890.
Nelayan tradisional Suku Sobey Sarmi sedang membuat perahu dari kayu. Dok. Hari Suroto
Pesisir pantai utara Papua meliputi Nabire, Waropen, Mamberamo Raya, Sarmi, Jayapura dan pulau-pulau di utara Papua. jadi penanda antara kebudayaan timur dan barat Papua. Perbedaannya terletak pada struktur sosial, kepercayaan religius, dan materi budaya.
Masyarakat pantai utara Papua sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka menggunakan perahu sebagai alat transportasi dalam mencari ikan. Laki-laki mencari ikan dengan cara memancing, menjala, memasang perangkap, menombak atau meracun air dengan akar tumbuh-tumbuhan. Sementara perempuan mencari kepiting, udang dan kerang di muara sungai atau hutan bakau.
Menuju ke arah timur, perahu-perahu layar tak hanya bercadik dua. Ada pula yang berjenis cadik tunggal, dilengkapi dengan papan datar sebagai pengayuh yang diikat pada bibir perahu.
Cadik penyeimbang harus tetap berada pada posisi arah tiupan angin untuk menjaga keseimbangan, “Ketika angin berubah arah dan mengubah jalan perahu, maka haluan pun menjadi buritan. Metode berlayar seperti ini diprektekan di seluruh Pasifik,” kata Hari Suroto.
Di daerah Teluk Humboldt, terdapat dua jenis perahu. Perahu untuk perempuan sangat sederhana, lebih kecil dan tanpa bercadik. Perahu laki-laki dilengkapi dengan cadik di sisi kanan.
Pada lambung, haluan dan buritan ditandai dengan paduan lukisan dan ukiran. Haluan perahu-perahu yang lebih besar memiliki tambahan ‘hiasan kepala perahu’, diberi motif burung, ikan, dan ikan terbang.
Semua perahu kaum lelaki memiliki sebuah cadik di sisi kanan. Untuk penggerak, terdapatsebuah tiang dengan layar berbentuk segi empat dari daun pandan. Papan-papan ditambahkan pada kedua sisi perahu untuk menambah tinggi sisi perahu dari atas permukaan air. Perahu-perahu ini dapat mencapai kecepatan tinggi jika melaju di depan angin, tetapi jika melawan angin pun, tetap dapat bergerak maju.
Masyarakat pesisir utara Papua biasanya menggunakan pengetahuan tradisional dalam beraktivitas di laut. Pengetahuan ini berdasarkan dari pengalaman turun temurun dengan membaca tanda-tanda alam.
“Kabar dari alam” itu mereka gunakan untuk navigasi dan menangkap ikan. Mereka dapat mempertimbangkan keadaan iklim, arus, migrasi burung-burung untuk menentukan tempat-tempat penangkapan ikan dan biota laut lainnya.
(Tempo/PARADE.ID)