Site icon Parade.id

Catahu 2024 LBH Makassar Elegi Demokrasi dan Keadilan: Merebut Kendali, Menentang Tirani

Foto: dok. LBH Makassar

Jakarta (parade.id)- Catatan akhir tahun (catahu) 2024 LBH Makassar “Elegi Demokrasi dan Keadilan: Merebut Kendali, Menentang Tirani” diterbitkan pada Senin, 6 Januari 2024. Catahu itu berisikan serangkaian peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang diadvokasi selama satu tahun belakangan.

Berikut lengkapnya yang dikutip laman resmi LBH Makassar, kemarin:

BAGIAN I: “Situasi Umum”

Konsepsi Negara Hukum berpijak pada perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan pembatasan kekuasaan. Namun dalam catatan akhir tahun 2024 menunjukkan sebaliknya, hukum digunakan untuk kepentingan kekuasaan,  memunculkan berbagai kasus ketidakadilan yang dialami warga negara. Catatan advokasi yang dilakukan menunjukkan situasi elegi. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), elegi didefinisikan sebagai syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan duka cita. Sehingga Elegi Demokrasi dan Keadilan dimaknai sebagai situasi duka cita di mana rakyat semakin kehilangan kedaulatan dan mengalami ketidakadilan. hal ini tergambar dengan jelas dalam catatan akhir tahun LBH Makassar Tahun 2024.

Dalam catatan advokasi yang dilakukan sepanjangan tahun 2024, dari 315 permohonan bantuan hukum yang diterima, sebanyak 192 kasus yang didalamnya terdapat pelanggaran HAM dan Demokrasi. Kasus yang paling signifikan adalah kekerasan terhadap perempuan, perampasan tanah, perburuhan, kekerasan terhadap anak, KDRT, fair trial, kebebasan berekspresi dan kekerasan aparat. 

“Dari 315 kasus ini, yang berdimensi struktural ada 192 Kasus, yang signifikan ada beberapa kasus seperti kekerasan terhadap perempuan ada 72 Kasus, kasus Tanah ada 21, kekerasan anak 19 kasus, buruh 17 kasus, KDRT 15 kasus, Fair Trial 14 kasus, kebebasan berekspresi/berpendapat 7 kasus dan 5 kasus kekerasan fisik oleh aparat,” ungkap Muhammad Ansar – Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar.

Menurut catatan LBH Makassar, kasus yang berdimensi struktural (Pelanggaran HAM) mengalami peningkatan setiap tahun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2020-2024), walaupun di tahun 2022 sempat mengalami penurunan, namun di tahun 2023, angka melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya (2022)  Hal ini mengindikasikan adanya penurunan kualitas demokrasi dan penegakan HAM, khususnya di Sulsel. 

Sejumlah pelanggaran tercermin dalam berbagai bentuk seperti pembubaran aksi-aksi demonstrasi,  penggunaan kekuatan berlebihan dalam menangani aksi demonstrasi, pembungkaman jurnalis kampus, pembatasan ruang-ruang akademik, penangkapan secara sewenang-wenang, perampasan lahan petani, penerbitan izin tanpa memperhatikan lingkungan hidup serta mengabaikan protes warga dan hilangnya ruang aman bagi perempuan dan anak. 

Lembaga-lembaga negara yang dimandatkan konstitusi untuk melindungi, menghormati dan memenuhi HAM serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi justru menjadi aktor pelaku langsung (aktif) maupun tidak (pembiaran/membiarkan). 

Tidak hanya dalam kasus pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat, tetapi keberadaan aparat keamanan (Polri & TNI) dalam konflik SDA justru menjadi aktor signifikan yang memperuncing terjadinya pelanggaran HAM. Tidak responsifnya birokrasi kampus menjadi salah satu hal yang signifikan hilangnya ruang aman bagi mahasiswa/mahasiswi atas ancaman kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.  

“Lembaga-lembaga negara yang dimandatkan konstitusi, untuk melindungi dan memenuhi HAM dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi justru menjadi pelaku. Situasi ini akan menjadi tantangan berat dalam Penegakan HAM dan Demokrasi kedepannya,” tutur Marayati Amin, S.H., Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar.

Kita dihadapkan pada momen krusial. Bagaimana negara ini menangani tantangan penegakan HAM dan demokrasi akan menentukan arah masa depan politik dan sosialnya. Apakah Indonesia, khususnya Sulsel akan kembali menjunjung tinggi hak-hak warganya, atau akan terjerumus ke dalam otoritarianisme yang merusak sendi-sendi negara demokrasi? waktu akan memberikan jawabannya.  Yang jelas, perhatian terhadap isu-isu ini tidak dapat ditunda lebih lama lagi. 

Dengan mengangkat tema Elegi Demokrasi dan Keadilan tentu berangkat dari konteks Warga sedang meratapi kematian Demokrasi dan Keadilan yang tentu dipicu oleh lembaga serta institusi negara.

BAGIAN II: Bidang Hak Ekonomi Sosial & Budaya

“Sulsel Darurat Agraria dan Krisis Ruang Hidup”

Tahun 2024 menjadi tahun yang penuh dengan tantangan, berbagai kasus-kasus yang memiliki dimensi struktural menunjukkan hilangnya hak warga dihadapan kuasa modal yang difasilitasi oleh Pemerintah.

Hampir setiap praktik perampasan ruang hidup yang terjadi disebabkan oleh negara yang tidak mampu dan bahkan menjadi aktor yang menyebabkan hilangnya hak-hak warga negara untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya yang mestinya mereka dapatkan termasuk hak atas tanah. 

“Dalam catatan pendampingan kasus oleh YLBHI-LBH Makassar pada tahun 2024, terdapat 11 Kasus Tanah dan Lingkungan Hidup, beberapa diantara kasus ini  memiliki dimensi yang luas, terstruktur dan masif,” ujar Hasbi  Asiddiq selaku Koordinator Bidang Ekosob.

Di wilayah Luwu Raya, Bumi Sawerigading yang menopang hutan primer di Sulawesi Selatan, terbit puluhan izin usaha pertambangan yang mengancam wilayah tersebut. Dalam pendampingan dan pemantauan LBH Makassar, total luas konsesi yang kami identifikasi mencapai 59.566 hektar yang tersebar di 3 Kabupaten dan 3 bentang alam mulai dari Latimojong, Quarles hingga Verbeek. 

Salah satu yang menjadi sorotan adalah terkait dengan perampasan hak atas tanah warga yang difasilitasi oleh Pemerintah pada kasus PT. Masmindo Dwi Area di Kabupaten Luwu. Perusahaan penambang emas menduduki lahan, bahkan menebang paksa tanaman cengkeh milik warga, yang dibantu oleh Aparat Keamanan TNI-POLRI termasuk BRIMOB bersenjata laras panjang lengkap.

Perusahaan ini mengklaim memegang konsesi kontrak karya seluas 14.390 hektar, yang tersebar di 17 Desa di 3 Kecamatan di Kabupaten Luwu.  Warga tidak diberikan pilihan untuk bisa mempertahankan tanahnya melalui satgas tim percepatan investasi yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Luwu warga diminta untuk menyerahkan lahannya ke Perusahaan untuk ditambang.

Di Luwu Utara, Perusahaan besar yang berencana menghancurkan Ekosistem Seko-Rampi yakni PT. Kalla Arebama dan PT. Citra Palu Mineral (CPM). Kedua Perusahaan ini mencoba peruntungan menambang emas di wilayah tersebut. PT. Kalla Arebama – memegang dua konsesi. Konsesi Pertama seluas 12.010 hektar di wilayah Rampi untuk penambangan Emas. 

Selanjutnya Konsesi kedua di Wilayah Seko seluas 6.812 hektar untuk penambangan mineral Bijih Besi. Untuk konsesi di wilayah Rampi tersebar dan mencaplok lahan pada 6 desa/ komunitas adat, yakni  Leboni, Hulaku, Onondowa, Mohale, Dodolo, dan Bangko. Untuk CPM, luas lahan yang akan ditambang mencapai 23.694 hektar yang masuk dalam kategori blok II Winehi dalam skema konsesi Kontrak Karya CPM.

Perusahaan ini terafiliasi dengan PT. Bumi Resources Minerals (BRM), yang memegang saham 96.97%. Yang terafiliasi dengan Grup Bakrie dan Salim.

Bergeser ke Kabupaten Luwu Timur, saat ini telah beroperasi PT. Citra Lampia Mandiri, perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di 2 Desa yakni Harapan dan Pongkerru di Kecamatan Malili dengan menguasai lahan konsesi seluas 2660 Hektar yang sebagian besarnya berada dalam kawasan hutan. Meski telah memegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, wilayah tersebut juga telah menjadi lahan warga untuk menanam merica. 

Wilayah yang akan dan telah ditambang tersebut merupakan wilayah hutan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Kedua wilayah tersebut menjadi habitat berbagai satwa endemik dan dilindungi seperti Anoa dan Rangkong (Julang Sulawesi). Tambang Emas Masmindo berada dalam Bentang Alam Ekosistem Latimojong yang memiliki lereng curam yang berisiko tinggi terjadi bencana longsor. 

Hal ini juga telah diatur oleh Peraturan Daerah Luwu yang melarang aktivitas penggalian di lereng yang curam, namun aturan ini tumpul  dan tak bisa diterapkan ke Perusahaan. Sehingga jika aktivitas tersebut terus dilaksanakan maka akan berdampak pada bencana ekologis  yang akan diderita oleh warga.  

Di Takalar dan Bulukumba, berakhirnya Hak Guna Usaha Perusahaan tidak membuat mereka berhenti beroperasi. Di Takalar PTPN memegang Konsesi HGU dan HGB seluas 6728 hektar. Sedang di Bulukumba PT.Lonsum memegang Konsesi seluas 5784 hektar.  Luas total konsesi perkebunan tersebut mencapai 12.512 hektar yang tersebar di 11 Desa dan 3 Kecamatan yang teridentifikasi di Polongbangkeng Takalar, 5 Kecamatan di Bulukumba. Lahan warga yang telah dirampas oleh Perusahaan sejak lama, tak kunjung diserahkan kembali kepada warga.

Format upaya hukum biasa, yang berbasis pada alat bukti tertulis tidak mampu mengungkap fakta perampasan lahan yang dialami warga sebelumnya. Tak ada juga mekanisme yang bisa ditempuh warga untuk mengakses keadilan.  

“Secara umum, Sentralisasi kewenangan pasca UU Cipta Kerja menjadikan akses terhadap keadilan untuk warga ditapak menjadi sulit dan mustahil untuk dijangkau. Keberadaan institusi pemerintahan daerah sendiri terkadang tidak memiliki kewenangan atau tidak mampu untuk memahami kewenangannya sendiri sehingga cenderung birokratik dan melepas tanggung jawab atas berbagai praktik pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya,” pungkas Hasbi Asiddiq.

Berdasarkan situasi materiil yang telah diuraikan, menjadi naif jika berharap pada pemerintah untuk bisa menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh Warga. Pemerintah sendiri telah memiliki perspektif politik yang akan memudahkan investasi yang akan masuk di suatu daerah. 

Hal ini dilain sisi merupakan sikap pemerintah yang akan mengesampingkan hak-hak warga nya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka kami berpandangan bahwa, tidak ada jalan lain wargalah yang mesti bersolidaritas, memahami hak-haknya, dan bahu-membahu merebut, mempertahankan haknya dari berbagai ancaman perampasan hak yang dilakukan oleh Perusahaan dan dilegitimasi oleh Pemerintah. 

Hal yang penting untuk di sorot, di dalam konflik ruang yang terus berkelindan. Ada satu aktor negara yang memiliki andil yang sangat signifikan dalam memukul mundur gerakan demokrasi. Tercatat dalam data CATAHU 2024 di atas, Polri mengambil posisi urut pertama selaku Pelaku Pelanggaran HAM di berbagai lini isu.

BAGIAN III: Bidang Hak Sipil dan Politik

“Institusi POLRI Bungkam Ruang Sipil”

Institusi POLRI kian hari, semakin bertengger di puncak kekerasan. Setidaknya dalam catatan advokasi dan pemantauan Bidang Hak Sipil dan Politik memaparkan beberapa kasus pelanggaran Hak-Hak Sipil dan Politik, yaitu: Kebebasan Berekspresi/Berpendapat 7 kasus, kekerasan fisik oleh aparat 5 kasus, dan fair trial 14 kasus.

Dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang selain termasuk dalam permohonan yang terima LBH Makassar tersebut, berdasarkan hasil pemantauan, terdapat juga kasus pelanggaran HAM dengan dimensi isu Hak Sipil dan Politik yang menjadi perhatian LBH Makassar yang juga menjadi perhatian publik di tahun 2024, yaitu pembungkaman kebebasan ekspresi di lingkup Perguruan Tinggi, kriminalisasi dan kekerasan terhadap pembela HAM, kriminalisasi dan kekerasan terhadap Pejuang Lingkungan Hidup, kesewenang-wenangan aparat yang meliputi tindakan brutalitas, melindungi kepentingan korporasi, penangkapan secara sewenang-wenang, penghalangan atas akses bantuan hukum. 

Selain itu, LBH Makassar juga menyoroti terkait isu penting dan mendesaknya Reformasi Sektor Keamanan, terutama soal lemahnya sistem pengawasan aparat kepolisian saat ini yang berakibat pada tingginya angka tindakan

Berdasarkan isu pelanggaran Hak-Hak Sipil dan Politik tersebut, terdapat beberapa indikator pelanggaran yang secara khusus menentukan sejauh mana pelanggaran atas Hak-Hak Sipil dan Politik dilanggar, yaitu: pemaksaan sanksi administrasi seperti sanksi (skorsing) terhadap mahasiswa yang menyampaikan pendapat di muka umum lewat aksi demonstrasi, kriminalisasi terhadap pemberi bantuan hukum, kriminalisasi terhadap aktivis buruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup, kekerasan aparat, tindakan aparat melindungi kepentingan korporasi, penangkapan secara sewenang-wenang, penghalang-halangan akses bantuan hukum oleh aparat, dan berbagai impunitas dan upaya rekayasa kasus di tubuh polri. 

Dari berbagai pelanggaran HAM tersebut, jika dihitung total korban pelanggaran HAM yang secara khusus melibatkan aparat kepolisian lebih dari 181 orang. 

Aparat Kepolisian Kebiri kebebasan Sipil atas nama Pengamanan

Kebebasan menyampaikan pendapat merupakan jantung demokrasi.  Konstitusi menjadi dasar setiap warga negara untuk menyampaikan ekspresi  sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) ‘’kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan undang-undang’’

Dipertegas dalam pasal 18 UU nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”. Dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia Negara Bertanggung jawab Penuh, namun Pada faktanya Pemerintah Melalui Aparat Kepolisian menjadi tembok Penghalang bagi setiap warga negara yang menyampaikan Pendapatnya.

“Dalam beberapa tahun terakhir, aparat kepolisian selalu menjadi pihak/institusi yang paling banyak diadukan, seperti pada tahun 2022 LBH Makassar mencatat aparat kepolisian paling banyak diadukan dan memiliki banyak catatan hitam. sementara 2024 ini LBH Makassar juga mencatat 5 kasus kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian. Lebih jauh lagi KOMNAS RI mencatat sebanyak 2.305 kasus di adukan, 663 kasus diantaranya melibatkan Aparat Kepolisian di sepanjang 2024,” ungkap Hutomo M. P. (Koordinator Divisi Hak-Hak SIpil dan Politik LBH Makassar)

Dalam konflik sumber daya alam kerap kita menemukan aparat kepolisian yang menjadi tameng korporasi dengan cara melakukan  mengintimidasi, pengancaman, penangkapan dan kriminalisasi masyarakat yang mempertahankan Hak-hak mereka. 

Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa peristiwa yang melibatkan aparat kepolisian, seperti penetapan tersangka terhadap dua buruh sekaligus pengurus PSP SPN PT. GNI oleh pihak Polres Morowali Utara dengan sangkaan melakukan tindak pidana penghasutan secara bersama-sama, dengan pelapornya adalah pihak kepolisian sendiri.

Padahal dua pekerja/buruh tersebut hanya melakukan orasi dan aksi mogok kerja. Proses peradilan berlangsung panjang, hingga kasasi di Mahkamah Agung dinyatakan tidak terbukti dan akhirnya dibebaskan.

Selain itu, di beberapa kejadian aparat kepolisian kerap menjadi tameng pelindung Perusahaan/Korporasi dalam konflik sumber daya alam, di Kabupaten Luwu misalnya, 17 September 2024 lalu, aparat keamanan yang terdiri dari personel TNI dan Polri bersenjata lengkap mengawal dan melindungi PT. Masmindo yang bergerak di industri tambang merangsek masuk ke lahan warga dan merusak setidaknya 48 tanaman cengkeh milik petani di Desa Rante Balla, Latimojong, Kab. Luwu. 

Tambah lagi, kepolisian tidak hanya melindungi kepentingan korporasi, namun ikut terlibat bersama birokrasi Kampus dalam penghancuran gerakan Mahasiswa, aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dalam kampus berujung penangkapan yang melibatkan birokrasi, satuan pengamanan internal (security) dan Kepolisian. 

Pada aksi demonstrasi di UIN Alauddin Makassar tanggal 05 Agustus 2024 lalu misalnya, dalam aksi untuk menuntut pencabutan Surat Edaran Rektor No. 2591 Tahun 2024 itu setidaknya sekitar 20 Mahasiswa UIN Alauddin yang ditangkap oleh aparat kepolisian dari Polrestabes Makassar, bahkan ada yang mengalami tindakan kekerasan.

Kampus yang mestinya merupakan ruang dialektika dan pengembangan akademik, berubah menjadi ruang hampa bagi Mahasiswa yang ingin menyampaikan ekspresi/pendapatnya, sebab tidak hanya berujung pada pembungkaman namun pada pemberhentian sementara (skorsing) mahasiswa yang dilakukan birokrasi Kampus, setidaknya ada 31 mahasiswa yang menjadi korban sanksi skorsing akibat melakukan aksi demonstrasi.

Sementara pada aksi Demonstrasi di Universitas Hasanuddin (Unhas) pada tanggal 28 November 2024 misalnya, aksi memprotes pihak kampus yang memberi sanksi ringan dan tidak adil bagi terduga pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswi Unhas tersebut setidaknya ada sekitar 31 mahasiswa yang ditangkap, dua diantaranya merupakan jurnalis pers mahasiswa di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas. Diduga aparat kepolisian dari Polrestabes Makassar melakukan penangkapan secara random hal ini diperkuat oleh adanya mahasiswa bukan masa aksi yang ikut ditangkap. 

Lebih parahnya lagi pihak kampus diduga bekerja sama dengan aparat untuk membungkam kebebasan berekspresi/berpendapat mahasiswa, ini juga diperkuat oleh tindakan penyidik Polrestabes Makassar yang memeriksa salah satu jurnalis pers mahasiswa atas laporan pihak kampus terkait adanya postingan di laman media “catatan kaki” milik UKPM Unhas. 

Padahal jurnalis tersebut ditangkap dalam perkara lain yakni aksi demonstrasi tanggal 28 November 2024 tersebut. Selain itu, mestinya belum bisa dilakukan pemeriksaan dalam penyidikan pidana terhadap jurnalis tersebut, sebab mekanisme penyelesaian sengketa pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penyelesaian sengketa Pers mestinya harus melalui pemeriksaan dan penilaian atas produk jurnalistik oleh Dewan Pers terlebih dahulu sebelum diperiksa dalam prosedur penyidikan tindak pidana.

Tidak Menghormati Kemanusiaan, Sering Menggunakan Kekerasan

Selain penangkapan secara sewenang wenang dan berpihak pada korporasi. Kepolisian juga hadir sebagai momok menakutkan dengan mengandalkan kekerasan.

Dalam pantauan LBH Makassar sejumlah orang menjadi korban pelanggaran HAM melalui tindakan penangkapan dan kekerasan di beberapa aksi demonstrasi, aksi solidaritas Mahasiswa Papua 3 April 2024 atas Penyiksaan warga papua oleh anggota TNI lebih dari 20 orang ditangkap secara sewenang-wenang dengan lebih 10 orang di antaranya mengalami kekerasan, aksi hari buruh 1 Mei 2024 43 orang ditangkap dan mengalami kekerasan, aksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2024 51 orang ditangkap  dan beberapa di antaranya mengalami kekerasan, aksi demonstrasi mahasiswa di UIN Alauddin Makassar tanggal 05 Agustus 2024 27 orang ditangkap 6 enam diantaranya mengalami kekerasan, aksi demonstrasi peringatan darurat 26 Agustus 2024 sebanyak 33 orang ditangkap beberapa diantaranya mengalami kekerasan , hingga aksi Papua 2 Desember 2024 3 orang ditangkap dan beberapa mahasiswa masa aksi lain yang mengalami kekerasan, pada penanganan demonstrasi oleh aparat kepolisian.

Selain itu, kepolisian juga pada kasus lain menggunakan kekerasan untuk memaksa tersangka untuk mengakui tindakannya. Kasus yang menimpa R pada 16 Juni 2024, R dituduh melakukan penganiayaan. Tanpa alat bukti, R dipaksa mengaku dengan cara dipukuli dengan pipa besi, juga ditendang sampai berdarah, R juga diduga dimintai uang sebesar Rp. 30.000.000

Hal ini terjadi, karena kepolisian yang cenderung malas dan tidak menghormati hak hak dasar tersangka. Polisi juga tidak menghormati asas praduga tak bersalah.

Dalam pantauan kami, aparat Kepolisian dalam menjalankan tugas cenderung tidak menggunakan instrumen hukum yang berlaku, namun cenderung menggunakan keinginan korporasi dan birokrasi yang menyimpang dan melanggar Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.

Kebobrokan institusi kepolisian yang semakin parah dalam penegakan hukum dan HAM, sebagaimana dalam beberapa tindakan dan peristiwa tersebut, maka perlu ada upaya bersama dan mendesak kita lakukan utamanya yang bisa menyentuh sektor keamanan mengingat perannya yang sangat penting dan luas dalam penegakan hukum dan HAM. 

“Beberapa peristiwa tersebut tentunya menjadi catatan gelap aparat Kepolisian dan perguruan tinggi dalam penegakan hak Asasi Manusia, sebab Kepolisian dan perguruan tinggi Menjadi salah satu kunci utama dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia malah terlibat aktif dalam melanggar Hak asasi Manusia,” ungkap Hutomo

Perlu kami sampaikan kembali bahwa pengawasan terhadap Institusi Polri merupakan salah satu unsur dalam isu reformasi sektor keamanan.

Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari beberapa aspek, yaitu: aspek kultural, instrumental, dan struktural, unsur pengawasan berada dalam aspek struktural yang mesti dibentuk dengan kewenangan kuat dan independen. 

Lebih spesifik mengacu pada korban dengan melihat penyelarasan data pemohon, posisi perempuan tentu merupakan subjek hukum yang memiliki sekaligus merasakan dampak dari kemunduran demokrasi dan patahnya penegakan HAM di Indonesia. Pasca dua tahun eksisnya UU TPKS, tidak ada perubahan signifikan yang mampu dirasakan oleh Perempuan serta kelompok lain, setidaknya mendapatkan ruang aman. 

BAGIAN IV: Bidang Hak Perempuan, Anak & Disabilitas

“Sulawesi Selatan Terancam Predator Seksual”

LBH Makassar mencatat 55 kasus kekerasan seksual berupa kekerasan seksual berbasis elektronik, perkosaan, persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak. Predator seksual ini menggunakan modus “ancaman” yang menyudutkan posisi korban agar patuh terhadap keinginannya. 

Dalam catatan advokasi, modus yang digunakan oleh pelaku seperti mengiming-imingi dengan janji akan bertanggung jawab atau akan menikahi korban, atau justru mengancam akan menyebarluaskan foto atau video milik korban yang seksi ataupun tanpa busana, mengancam akan memukul hingga akan membunuh korban.

Hal yang lain, modus menakut-nakuti korban dengan memanfaatkan kerentanannya sebagai seorang disabilitas sensorik dan disabilitas intelektual, ada juga modus dengan menggunakan atribut ojek online hingga menjadi langganan korban dan memanfaatkan kesempatan untuk mempelajari kebiasaan korban, akhirnya menjebak korban dibawa ke rumahnya. Tujuannya agar korban tidak memiliki ruang atau kesempatan untuk menyelamatkan diri.

LBH Makassar, dalam perjalanan setidaknya berdasarkan catatan advokasi, menerangkan kepada publik, bahwa modus-modus yang digunakan oleh pelaku tidak terlepas dari identitasnya sebagai predator seksual bertopeng guru di satuan pendidikan, bertopeng dosen atau mahasiswa di perguruan tinggi, bertopeng aparat penegak hukum di institusi kepolisian, bertopeng calon wakil rakyat, bertopeng tetangga yang ramah di lingkungan tempat tinggal, hingga bertopeng calon suami yang baik di keluarga.

Jelang penutup tahun 2024, Kota Makassar digegerkan dengan beberapa peristiwa yang membuat kita luka bersama. Institusi Pendidikan telah menjadi sarang kejahatan dan merusak ruang aman bagi kelompok rentan khususnya Perempuan, Anak dan Disabilitas.

Sekolah dan Kampus yang seharusnya merupakan mercusuar diskursus–pentingnya menciptakan ruang aman dari segala lini malah berbalik arah. 

Fakta ini merupakan sebuah kenyataan yang harus kita sesali, beberapa aktor yang merupakan bagian penting dalam penegakan serta perlindungan hak asasi, menjelma menjadi pelaku kekerasan kekerasan seksual.

“Pada Tahun 2024 ini, terdapat 2 kasus kekerasan seksual dengan vonis pidana penjara berdasarkan Pasal 6 c UU TPKS. 1 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Anggota Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Briptu Sanjaya terhadap tahanan perempuan Dittahti Polda Sulsel dengan vonis pidana penjara 3 tahun serta 1 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Calon Legislatif di Kabupaten Luwu terhadap perempuan disabilitas intelektual dengan vonis pidana penjara 7 tahun dan denda Rp.20.000.000,- subsidair pidana penjara 2 bulan,” jelas Ambara.

Sebagai penutup, LBH Makassar melalui Bidang Perempuan, Anak dan Disabilitas memiliki pandangan politik yang kemudian menjadi catatan penting kepada pengampun kebijakan agar memberikan perhatian penuh.

Sejak Januari 2024 hingga kini, kami menyampaikan beberapa catatan kritis sebagai langkah bersama dalam menjalankan prinsip penegakan, perlindungan serta pemenuhan demokrasi dan hak asasi manusia kepada seluruh Warga Indonesia terkhususnya bagi Perempuan, Anak dan Disabilitas serta kelompok rentannya, yakni: 

Pertama, Penyidik terkesan seringkali mengesampingkan penerapan UU TPKS sekalipun unsurnya telah terpenuhi dan lebih memilih menerapkan peraturan perundang-undangan lain dengan alasan ancaman hukum yang lebih berat;

Kedua, penyelewengan praktik Restorative Justice (RJ) pada kasus kekerasan seksual yang hanya sekedar dimaknai penghentian perkara setelah didamaikan melalui proses mediasi dengan iming-iming bahwa korban akan tetap mendapatkan ganti rugi atau bahkan disertai dengan ancaman kriminalisasi terhadap korban;

Ketiga, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 yang terdiri dari perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak sering menghadapi hakim yang mengeluarkan pernyataan menyalahkan korban “kenapa mau? kenapa tidak melawan?” Meskipun sebenarnya pernyataan tersebut ditujukan sebagai bentuk edukasi, kondisi psikis korban juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum menyampaikan pernyataan tersebut;

Keempat, pada Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 yang telah dicabut dan diganti dengan Permendikbud Ristek No. 55 Tahun 2024, keanggotaan Satuan Tugas berasal dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Unsurnya terdiri dari Pendidik/Dosen dan Tenaga Kependidikan yang menimbulkan keraguan terhadap objektivitas pemberian sanksi kepada pelaku TPKS yang berprofesi sebagai pendidik maupun tenaga kependidikan;

Kelima, pada Permendikbud Ristek No. 46 Tahun 2023, masih ada satuan pendidikan yang belum membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Beberapa kasus kekerasan (misalnya: kekerasan seksual) yang terjadi di satuan pendidikan ditangani langsung oleh kepala satuan pendidikan atau diarahkan ke bagian bimbingan konseling (BK) sekolah.

Sehingga kasus kekerasan yang terjadi masih ditangani tanpa berpedoman pada prosedur yang telah diatur berdasarkan Permendikbud Ristek No. 46 Tahun 2023.

BAGIAN V: Penutup

Berdasarkan data-data  Catatan Akhir Tahun 2024 di atas, LBH Makassar menuntut:

  1. Negara menjalankan tanggung jawabnya untuk memenuhi, melindungi , menghormati HAM dan Demokrasi serta  menghentikan  penyalahgunaan hukum untuk kepentingan kekuasaan.
  2. Memastikan partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan kebijakan, dan mencabut berbagai kebijakan yang merampas hak-hak warga negara termasuk pemberian izin pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur.
  3. Negara menjamin kebebasan sipil dengan menghentikan segala bentuk pembungkaman terhadap hak kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul dengan menghentikan kekerasan, pembubaran dan kriminalisasi  terhadap warga negara
  4. Melakukan reformasi kepolisian: Pertama, audit internal terhadap kinerja aparat kepolisian terutama dalam hal penggunaan kekuatan, Kedua, menghentikan keterlibatan aparat kepolisian dalam konflik agraria terkait pertambangan, perkebunan, proyek infrastruktur dan lainnya.  Ketiga, Memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal, dan Keempat, menghentikan wacana revisi UU kepolisian yang  menambah kewenangan dan
  5. Menyerukan Seluruh Elemen Rakyat untuk bersolidaritas dan tidak takut bersuara terhadap segala bentuk penyalahgunaan dan penyimpangan kekuasaan untuk menyelamatkan Demokrasi Indonesia.

Dengan hadirnya catatan kritis yang merintangi perjalanan selama setahun penuh, LBH Makassar secara resmi menutup jalan panjang advokasi penegakan Demokrasi dan HAM dengan perasaan pilu, grafik terus meningkat dan tidak ada satupun tenda bahwa akan ada kebijakan yang mengarah pada perbaikan iklim negara Indonesia.  Kehadiran catatan ini tentu menjadi harapan bagi pemangku kebijakan untuk menjadi perhatian serta menindaklanjuti kelima catatan yang telah kami paparkan di atas.

Exit mobile version