Jakarta (PARADE.ID)- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberi catatan kritis 100 hari kepemimpinan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit. Catatan kritis KontraS ini tidak lepas dari 16 program prioritas Polri di bawah Jenderal Listyo.
“Poin-poin dalam catatan ini kami susun guna mengukur sejauh mana institusi kepolisian mampu menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia selama 100 hari kepemimpinannya. Secara umum, kami melihat tidak adanya perubahan signifikan dalam memperbaiki kinerja institusi Korps Bhayangkara,” demikian keterangan medianya, kemarin.
Hal ini diperhatikan KontraS bertolak belakang dengan tagline yang diusung, yaitu prediktif, responsibiltas, dan transparan berkeadilan (Presisi).
Dalam konteks perubahan teknologi kepolisian modern di era police 4.0, Kapolri justru menurut KontraS merealisasikan virtual police. Pemberlakukan virtual police ini justru menjadi alat represi baru di dunia digital karena menjadi ancaman konkret terhadap kebebasan berekspresi warga negara di media sosial.
Situasi kebebasan sipil tersebut juga menyusut di tengah geliat aktivisme menentang kebijakan negara, seperti penangkapan sewenang-wenang atas dalih penanganan Covid-19. Bentuk diskriminatif penegakan hukum ini yang membuat program prioritas kapolri dalam meningkatkan kinerja penegakan hukum justru berkebalikan dengan kondisi riil.
“Ditambah lagi, praktik penyiksaan masih menjadi bagian dari cara polisi guna mendapatkan pengakuan dalam proses penyelidikan, serta mekanisme pengungkapan peristiwa dalam kasus pembunuhan di luar proses hukum (unlawful killing) turut menjadi deret masalah yang tidak menjadi perhatian dalam memperbaiki kinerja kepolisian.”
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan mekanisme yang lemah. Komitmen Kapolri dalam menguatkan fungsi pengawasan dinilai KontraS juga tidak tercermin dari carut marutnya penegakan etik kepolisian. Kondisi yang carut marut ini terlihat dari angka pelanggaran baik itu disiplin, etik maupun pidana yang terus mengalami kenaikkan.
Selain itu, keseriusan Kapolri dalam mentransformasi Polri menjadi lembaga yang lebih transparan dan berkeadilan juga tidak terlihat dari penerapan mekanisme KKEP yang masih tidak jelas pertanggungjawabannya. Hal ini terbukti dari tidak transparannya pihak kepolisian dalam menjalani proses penegakan hukum beberapa kasus yang ada.
Terakhir KontraS menyoroti tidak adanya komitmen dari pihak kepolisian untuk memperbaiki pelayanan. Padahal, salah satu prioritas Kapolri adalah meminimalisir public complaint.
“Oleh karena itu, mengacu pada catatan 100 Hari Kapolri yang telah kami susun, kami merekomendasikan agar Kapolri. Pertama, segera melakukan perbaikan institusi Polri secara konkret, signifikan, dan revolusioner menuju kepada konsep kepolisian demokratis (democratic policing).”
Konsep ini menurut KontraS akan membantu kepolisian untuk menjadi institusi yang lebih menghargai demokrasi dan hak asasi manusia.
Kedua, Polri mesti mengedepankan langkah-langkah yang humanis dalam mencapai tujuan hukum dan ketertiban. Tindakan humanis Kepolisian harus terefleksi saat bertugas di lapangan bukan dengan cara membatasi media untuk tidak meliput tindakan kekerasan aparat.
Ketiga, Polri mesti meningkatkan profesionalisme institusi Kepolisian dengan cara mengedepankan akuntabilitas serta transparansi dalam penegakan hukum. Selain itu, kepolisian juga harus memperketat pengawasan di setiap satuan tingkatan guna mempersempit ruang pelanggaran dan kesewenang-wenangan.
(Rgs/PARADE.ID)