Site icon Parade.id

Dari Konflik Sosial hingga Illegal Logging: Catatan Kelam Perusahaan-Perusahaan Sukanto Tanoto

Foto: dok. liputan6

Jakarta (parade.id)- Kerajaan bisnis berbasis sumber daya alam milik konglomerat Sukanto Tanoto kembali menjadi sorotan publik setelah serangkaian dugaan pelanggaran hukum mencuat ke permukaan. Dari PT Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara hingga PT RAPP di Riau, jejak kontroversial perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Royal Golden Eagle (RGE) ini terus menyisakan pertanyaan tentang komitmen mereka terhadap hukum dan keberlanjutan lingkungan.

Toba Pulp Lestari: Sejarah Panjang Konflik dan Kontroversi

PT Toba Pulp Lestari, yang didirikan oleh Sukanto Tanoto pada 1983 dengan nama awal Inti Indorayon Utama, memiliki catatan kelam dalam hubungannya dengan masyarakat lokal. Perusahaan yang bergerak di industri pulp ini mengalami konflik berkepanjangan yang memuncak pada 1999, ketika bentrokan antara warga, karyawan, dan aparat keamanan menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Presiden BJ Habibie saat itu terpaksa menghentikan sementara operasi perusahaan dan memerintahkan audit lingkungan. Bahkan di era Presiden Abdurrahman Wahid, perusahaan sempat dinyatakan harus ditutup atau direlokasi. Namun tekanan investasi asing membuat pemerintah memberikan izin operasi kembali pada 2000.

Setelah periode penutupan, perusahaan mengubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari pada November 2000 dan kembali beroperasi pada 2003 dengan klaim menggunakan teknologi ramah lingkungan. Menariknya, pada 2025, kepemilikan mayoritas perusahaan beralih dari Pinnacle Company ke Allied Hill Limited milik Joseph Oetomo, menandai berakhirnya era kepemilikan langsung keluarga Tanoto di perusahaan tersebut.

RAPP dan April Group: Greenwashing hingga Illegal Logging

Di Riau, anak buah Sukanto Tanoto menghadapi tuduhan serupa. Wahyu Widodo, Ketua KAMMI Kabupaten Pelalawan, mengkritisi keras pernyataan humas PT RAPP yang mengklaim perusahaan taat hukum. Menurutnya, klaim tersebut bertolak belakang dengan fakta lapangan.

Menteri Lingkungan Hidup Dr. Hanif Faisol Nurofiq baru saja menghentikan pembangunan pabrik tisu RAPP karena tidak mengantongi izin AMDAL dan melanggar aturan yang berlaku. Kasus ini menjadi bukti terbaru dari apa yang disebut aktivis sebagai praktik greenwashing, di mana perusahaan mengakali aturan dalam eksploitasi hutan.

Yang lebih mengkhawatirkan, pada 2007 Polda Riau menetapkan delapan perusahaan penyuplai kayu ke PT RAPP sebagai tersangka pelaku illegal logging. Izin yang diperoleh perusahaan-perusahaan ini terbukti melibatkan suap kepada pejabat daerah. Bupati Siak, Bupati Pelalawan, tiga Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, dan Gubernur Riau Rusli Zainal divonis bersalah karena menerima suap dari utusan Sukanto Tanoto.

Konflik Agraria dan Pelanggaran Hak Pekerja

Catatan aktivis lingkungan menunjukkan sekitar 72 desa atau komunitas berkonflik dengan April Group dan perusahaan afiliasinya. Mayoritas konflik berkaitan dengan penguasaan tanah dan penggusuran masyarakat adat dari tanah ulayat mereka, sementara sisanya terkait kekerasan dan kriminalisasi.

Pelanggaran tidak hanya menimpa masyarakat adat, tetapi juga karyawan. PT Selaras Abadi Utama, anak perusahaan RAPP, masih menggunakan truk bak terbuka untuk mengangkut karyawan, yang berujung tragedi di Langgam. Praktik ini melanggar hak-hak pekerja dan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan.

Di Kalimantan, perusahaan penyuplai bahan baku PT Phoenix Resources International (PRI), anak perusahaan RGE, dilaporkan melakukan deforestasi masif hutan alam. Aktivis juga menemukan April Group melalui anak usahanya menebang hutan alam, membuka kanal baru, dan merusak ekosistem gambut yang memiliki fungsi lindung, bahkan menanam akasia di luar konsesi tanpa izin.

Pertanyaan tentang Komitmen Kepatuhan Hukum

Pemeriksaan direktur RAPP, Mulia Nauli, oleh Satgas Penanganan Kejahatan Kehutanan (PKH) di Kejati Riau baru-baru ini menambah daftar panjang masalah hukum yang dihadapi perusahaan-perusahaan grup Sukanto Tanoto. Meski pihak RAPP mengklaim pemeriksaan tersebut hanya kunjungan pribadi untuk bertemu teman, aktivis meragukan penjelasan ini.

“Dengan track record bisnis perusahaan-perusahaan Sukanto Tanoto, patut diduga jangan-jangan ia selalu terobsesi dengan hal-hal yang berbau illegal,” ujar Wahyu Widodo.

Empat anak Sukanto Tanoto—Anderson, Imelda, Belinda, dan Andre Tanoto—yang menempati posisi penting di RGE dan dipersiapkan sebagai penerus kepemimpinan. kini menghadapi warisan bisnis yang penuh kontroversi. Pertanyaannya: akankah generasi baru ini mampu membersihkan catatan kelam perusahaan keluarga, atau justru melanjutkan pola yang sama?

Hingga kini, belum ada respons komprehensif dari manajemen RGE terkait tuduhan-tuduhan serius yang terus menghantui reputasi kerajaan bisnis mereka. (dbs/parade.id)

Exit mobile version