Jakarta (PARADE.ID)- Jagad dunia maya Tanah Air kembali dihebohkan oleh pemberitaan yang menyebutkan bahwa data pelanggan e-commerce RI berhasil dibobol oleh hacker. Kejahatan siber (cybercrime) memang jadi ancaman semua negara, tak terkecuali RI yang masuk golongan ‘rawan’.
Mei lalu, sebuah insiden pencurian data pelanggan terjadi. Targetnya adalah pengguna Tokopedia. Sebanyak 91 juta data pengguna dijual US$ 5.000 di dark web. Kini data tersebut sudah bisa diunduh bebas di internet.
Upaya pencurian data serupa juga pernah menimpa pelaku e-commerce lain seperti Bukalapak, Lazada hingga Bhinneka. Pada 2019 seorang hacker asal Pakistan mengklaim telah mencuri jutaan data pengguna e-Commerce yang didirikan oleh Ahmad Zaky dan Fajrin Rasyid ini.
Bukalapak sendiri mengakui sempat ada aksi hacker di platform mereka namun mereka menampik adanya pencurian data, tidak ada data pengguna yang berhasil dicuri.
Hacker juga pernah berupaya curi data pengguna Lazada. Aksi tersebut terjadi pada 2015 di mana sekelompok hacker yang menamai dirinya ‘Gantengers Crew’.
Pada halaman promo Lazada muncul warna hitam bertuliskan “Gantengers Crew pwnz u”. Atas aksi ini Lazada menyatakan melakukan investigasi dan tidak semudah itu mengambil data-data konsumen.
Kasus yang terjadi dalam kurun waktu berdekatan dengan jumlah data yang banyak tentunya mencerminkan bahwa penerapan keamanan siber (cybersecurity) di Tanah Air masih terbilang lemah.
Jika mengacu pada kajian Global Cybersecurity Index (GCI) dari International Telecommunication Union (ITU) pada 2018 lalu, Indonesia berada di peringkat 9 secara regional dan 41 secara global dengan skor 0,776.
Peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Aspek yang dinilai dalam GCI meliputi legal, teknikal, organisasi, pembangunan kapasitas melalui kegiatan riset, pengembangan dan training hingga kooperasi.
Studi lain yang juga masih menggunakan sumber data dari ITU dilakukan oleh sebuah perusahaan pengelola password bernama PasswordManagers.co.
Selain menggunakan data dari ITU, perusahaan tersebut juga menggunakan data lain yang bersumber dari Microsoft seperti Malware Encounter Rate, Ransomware Encounter Rate, Cryptocurrency Mining Encounter Rate, Drive-by Download Page Encounter Rate, Cloud Provider Related Incoming Attacks.
PasswordManagers.co kemudian menggabungkan, mengolah dan menganalisa kedua data tersebut hingga menyajikannya menjadi Cybersecurity Exposure Index (CEI) yang mengukur eksposur suatu negara terhadap cybercrime.
Eksposur yang rendah memiliki indeks di bawah 0,4. Sementara untuk indeks yang berada di 0,4-0,6 menunjukkan adanya eksposur yang sedang. Di atas 0,6 berarti eksposurnya tinggi.
Dari lima negara kawasan Asia Tenggara yang dievaluasi yakni Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia dan Filipina, RI berada di peringkat 4 masih kalah dengan Negeri Singa, Negeri Jiran dan Negeri Gajah Putih.
Skor Indonesia pun berada di 0,617. Itu artinya eksposur Indonesia terhadap kejahatan siber memang tergolong tinggi. Dalam kajian tersebut Indonesia masih lebih baik peringkatnya dibandingkan dengan Filipina.
Namun di tengah semaraknya ekonomi digital Tanah Air, seharusnya fokus pada pembangunan keamanan siber lebih ditingkatkan lagi. Meski kue ekonomi digital masih di tergolong kecil karena kurang dari 5%, tetapi pertumbuhannya hampir 8 kali lipat pertumbuhan PDB nasional per tahunnya.
Ekonomi digital yang ditopang oleh transaksi melalui on-demand apps hingga e-commerce dengan pertumbuhan dobel digit seharusnya membuat setiap pemangku kepentingan lebih sadar untuk bersama-sama mewujudkan cybersecurity.
Bagaimanapun juga perang siber alias perang di awang-awang merupakan ancaman yang serius bukan hanya bagi konsumen yang datanya bisa dibobol, tapi ini isu strategis yang juga menyangkut pertahanan suatu negara. Sehingga kita tidak bisa tutup mata akan hal ini.
(cnbcindonesia/PARADE.ID)