Site icon Parade.id

Dianggap Tidak Menaati Putusan MK terkait Ciptaker, Presiden Melanggar UUD?

Foto: dok. rctiplus/ilustrasi

Jakarta (parade.id)- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Cipta Kerja (Ciptaker) adalah inkonstitusional bersyarat. Lantas MK memberi waktu selama dua tahun kepada pembentuk UU untuk memperbaikinya.

Namun, bukannya memperbaikinya, pemerintah (presiden) malah menerbitkan Perppu. Lalu, apakah presiden bisa dianggap melanggar UUD 1945 jika tidak menaati putusan MK?

Jawabannya, menurut Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra bisa menjadi suatu hal yang bisa diperdebatkan secara akademis, apalagi kata dia putusan MK-nya sendiri juga problematik dilihat dari sudut UUD 1945.

“Saya memberikan banyak kritik kepada MK agar lembaga ini tidak menjadi semacam ‘berhala’ baru, yang apabila seseorang atau suatu lembaga tidak menaati putusannya, lantas dianggap melanggar atau tidak patuh pada UUD 45. Agak merepotkan juga jika ada sebuah lembaga yg beranggotakan 9 orang bisa dianggap sebagai manifestasi atau “penjelmaan” UUD 45. Tidak patuh pada mereka itu, dianggap tidak patuh pada UUD 45. Sungguh merepotkan,” kata Yusril, Sabtu (7/1/2023).

Sejatinya kewenangan MK yang diberikan oleh Pasal 24C ayat 1 UUD 45 itu adalah “menguji UU terhadap UUD 45”. Dilihat dari sudut hukum tata negara kewenangan MK itu dijelaskan oleh Yusril adalah “negative legislation” dalam arti menyatakan sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD. Sampai di situ tugas MK selesai.

“Saya yg mewakili Presiden membahas RUU MK di DPR tahun 2003 juga berpandangan demikian. Namun dalam perkembangannya, MK menciptakan begitu banyak ‘kreasi’, antara lain Putusan tentang UU Ciptaker tahun 2021 itu. MK menyatakan UU tsb bertentangan secara bersyarat dengan UUD 45, tetapi tidak membatalkannya, melainkan memberi waktu kepada pembentuk UU untuk memperbaikinya dalam waktu 2 tahun. Jika waktu tsb lewat tanpa perbaikan, maka UU tsb tidak mengikat secara permanen,” terangnya, dikutip akun fanpage FB-nya.

Menurut Ketum PBB itu, hal-hal demikian menimbulkan persoalan baru bagi pembentuk UU seperti terjadi sekarang.

Pernah juga, lanjutnya, MK membatalkan sebuah UU dan menyatakan UU yang telah dicabut oleh Pemerintah dan DPR berlaku kembali. Ada juga MK membatalkan suatu pasal dalam UU, lalu kemudian mengatur sendiri pasal yang dicabut tsb dengan aturan yg baru.

“Padahal sejatinya membuat aturan yang baru itu kewenangan DPR dan Presiden, bukan kewenangan MK. Pada hemat saya, MK sendiri menciptakan banyak putusan yang kontroversial dilihat dari sdt UUD 45,” pungkasnya.

(Rob/parade.id)

Exit mobile version