Site icon Parade.id

Dimensi Hukum Dalam Alquran

Dok: hidayatullah.com

Jakarta (PARADE.ID)- Indonesia adalah negara hukum. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Namun, potret di lapangan bisa saja berbeda. Saat ini kita masih menyaksikan banyak ketidakadilan dialami masyarakat. Karena itu, upaya penegakan hukum juga harus seirama dengan budaya taat hukum baik yang dilakukan oleh masyarakat, maupun para penegak hukum.

Selain itu, upaya menegakan hukum  terkait dengan substansi hukumnya. Sesuai dengan Amanat Pasal 29 ayat 1 dan 2  UUD 1945 bisa ditafsirkan bahwa bahan dasar pembentukan hukum nasional berasal dari agama. Hukum agama itu tidak terbatas hanya pada hukum Islâm, tetapi juga hukum agama lainnya. Realitas sosiologisnya, Indonesia mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Karena itu, nilai-nilai keislaman ikut berperan dalam legislasi hukum di Indonesia. Jadi, sangat aneh jika ada yang alergi dengan istilah syariat Islam.

Upaya memasukkan nilai-nilai Islam dalam proses legislasi kerap berkonfrontasi dengan kelompok sekuler, yang berusaha tidak memasukan nilai-nilai agama dalam penyusunan hukum nasional, sebagaimana yang dahulu pernah dilakukan kolonial Belanda dengan membuang hukum Islam dari bumi nusantara. Inilah yang jadi diskusi menarik bersama Dr. Jeje Zaenuddin, Wakil Ketua Umum PERSIS yang jadi tamu program NGESHARE, Ngaji Dulu, Alim Kemudian”.

Mendengar kata syariat Islam, seolah-olah yang tergambar penerakan hukum pidana, seperti qishosh, rajam atau potong tangan yang diterapkan di Arab Saudi. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain akan dihukum mati, yang setimpal kecuali pihak keluarga atau ahli warisnya memaafkannya. Orang yang mencuri akan dipotong tangannya. Orang yang tertangkap tangan berzina sedangkan dia sudah berkeluarga, akan dihukum rajam.

Banyak yang tidak faham bahwa hukum Islam sesungguhnya sudah lama diterapkan di Indonesia. Karena, aspek syariah Islam itu luas, tidak hanya menyangkut hukum jinayat atau pidana, juga mengurusi masalah akidah, hubungan keluarga, kemasyarakatan dan ekonomi.  Apalagi, menurut Dr. Jeje yang juga  Sekjen Ikatan Ulama dan Dai Asia Tenggara ini, hukum Islam berlaku secara normatif, tidak terkait dengan eksistensi sebuah negara. Berbeda dengan hukum positif harus diatur oleh sebuah negara.

Inilah keistimewaan hukum Islam.  Keunggulan bersifat universal tidak terpengaruh oleh siapa pun penguasanya. Hukum Islam berada dalam jiwa setiap muslim, dan lebih kuat daripada sekadar undang-undang. Karena, pemilik hukum ini adalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dan, yang berhak merevisinya hanya Allah.

Berdasarkan buku yang ditulis Dr. Jeje, berjudul “Metode dan Strategi Penerapan Syari’at Islam di Indonesia“, ada dua aspek penting dalam penerapan syariat Islam, yaitu yang disebut tasyri’ dan taqnin. Tasyri’ merupakan ketentuan Allah dan RasulNya yang tidak dapat diubah seperti tercantum dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Sedangkan ‘taqnin’ adalah hasil ijtihad manusia untuk membuat aturan dalam bentuk undang-undang negara.

Untuk membentuk undang-undang negara yang bersumber dari syariat ini, harus menggunakan asas ‘tadarruj’ (bertahap). Proses penerapan syariah Islam dalam legislasi hukum di Indonesia, sudah lama berlangsung, mulai dari undang-undang pernikahan, perbankan syariah, zakat, haji, dll. Hukum syariat yang pertama ditegakan adalah undang-undang perkawinan pada tahun 1974. Pada pasal 2 ayat 1, misalnya  menyatakan bahwa perkawinan  adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Undang-undang perkawinan awalnya ditolak DPR, sehingga massa umat Islam saat itu mengepung gedung parlemen mendesak anggota dewan mengesahkan undang-undang ini.

Namun, ada anggapan bahwa jika hukum Islam dijadikan undang-undang negara akan mendegradasi kesucian dan keluhuran Al-Quran, kitab suci umat Islam itu sendiri? Sebuah logika yang seolah-olah benar, tapi sesungguhnya berusaha menyingkirkan agama dari kehidupan bernegara.

Al-Qur’an dan hadits adalah sumber dari segala perundang-undangan.  Sebagai sumber hukum, syariat Islam itu terbagi dua aspek, yaitu  1) Ahkamul Dianiyah, yaitu hukum agama yang universal, tidak terikat dengan sistem hukum di sebuah negara. Contohnya, khamar itu haram, daging babi itu haram, zina itu haram. Semua berlaku bagi seorang muslim, yang tinggal di mana saja, tidak terikat dengan sebuah teritori negara; 2) Ahkamul Qodhoiyah, yaitu sebuah undang-undang dikaitkan dengan kondisi negara tertentu, misalnya undang-undang lalu lintas. Islam hanya menjelaskan adab-adab di jalan, yang bisa dijadikan inspirasi dalam proses legislasi.

Namun, bagaimana jika dikaitkan dengan Surat An-Nisa ayat 60, yang artinya; “Tahukah kamu (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Namun, mereka tetap ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sangat jauh.”

Apakah kita termasuk yang disebut thaghutdalam ayat itu?

Indonesia dibangun atas kesepakatan bersama, yang berupa kontrak sosial, sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Indonesia menjadi wadah bersama, ada hak kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas, ada juga hak warga lainnya.

Menurut Ustadz Jeje, kita tidak bisa memaksakan Indonesia hanya milik umat Islam. Kita ingin membangun negara bangsa dengan multi agama tanpa mengeyampingkan peran mayoritas. Karena itu, hukum di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Jadi, Indonesia bukan negara thaghut.

Proses legislasi ditentukan dalam program legislasi nasional dengan empat landasan yaitu filosofis, yuridis, sosiologis dan politis. Karena itu, saat rancangan undang-undang (RUU) dibuat, akan dinilai apakah pasal-pasalnya bertentangan dengan empat landasan itu, misalnya dengan filosofi bangsa ini “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jika bertentangan, maka RUU itu akan dibatalkan.

Meski demikian, harus diakui bahwa hukum nasional masih tersisa warisan dari penjajah Belanda, salah satunya dalam hukum pidana. Sangat sulit untuk diberlakukan syariat Islam, karena hukum pidana harus berlaku ke semua orang, tidak hanya kepada umat Islam. Apakah umat lain bersedia mengikuti hukum Islam, seperti qishash, rajam atau potong tangan.

Solusinya bisa jadi dengan meningkatkan fungsi Pengadilan Agama mencakup perkara pidana sesuai hukum Islam. Bahkan, umat Islam pun belum tentu siap. Jangan-jangan ketika dalam proses persidangan, terdakwa yang awalnya muslim menyatakan dirinya murtad untuk menghindari hukum Islam.

Karena itulah, penegakan syariat Islam harus dikembalikan juga kepada umat Islam sendiri, untuk patuh pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 65. Tidak hanya meyakini kebenaran hukum Allah, juga merasa kebermanfaatannya.

Tugas ini tentu tak mudah, tanggungjawab bersama, terutama para ulama harus mampu menyadarkan masyarakat, tidak hanya kepada umat Islam, juga umat yang lainnya.

Jika syariat Islam ingin ditegakan secara sempurna dan menjadi hukum positif di negeri ini, maka harus ditegakkan lebih dulu strukur hukumnya, dimulai dari hakim, jaksa, hingga aparat kepolisian. Selain itu kultur hukum harus dibangun di tengah masyarakat dengan edukasi, dakwah dan advokasi. Barulah masyakat melihat substansi hukum Islam membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia.

Perjuangan dakwah ini masih panjang. Kita wajib melanjutkan perjuangan yang sudah dirintis oleh para pendahulu kita, tokoh Islam pendiri bangsa ini. WAllahu ‘alam.*

Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel ini merupakan resime diskusi bersama Dr. Jeje Zaenuddin, Wakil Ketua Umum PERSIS yang jadi tamu program NGESHARE, Ngaji Dulu, Alim Kemudian”.

*Fahmi Salim

(hidayatullah/PARADE.ID)

Exit mobile version