Site icon Parade.id

Eksklusif! APIMA Menyoal Permen KP Nomor 58 Tahun 2020

Foto: Ketua Asosiasi Pedagang Ikan Muara Angke (APIMA), Haji Dede

Jakarta (PARADE.ID)- Asosiasi Pedagang Ikan Muara Angke (APIMA) menyoal Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 58 Tahun 2020. Permen tersebut diakui oleh APIMA telah berdampak, baik kepada para nelayannya maupun ke pengusahanya.

Lantas seperti apa detil dampak yang dimaksud oleh APIMA tersebut?

Parade.id mendapat kesempatan untuk menanyakannya lebih jauh perihal di atas langsung lewat Ketua Asosiasi Pedagang Ikan Muara Angke (APIMA), Haji Dede.

Berikut wawancara eksklusif kami, Kamis (6/1/2022):

Apa yang menjadi soal atas hadirnya Permen tersebut?
Tentu berdampak pada nelayan besar atau pengusaha. Yakni disebabkan adanya aturan baru atau Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 58 Tahun 2020 itu.

Lalu apa respons nelayan?
Sebetulnya kalau nelayan sendiri sih biasa saja. Tidak berdampak, tetapi sempat melakukan unjuk rasa. Sebabnya mereka kan nelayan yang bergaji, sehingga tidak berpengaruh dengan pandemi ini.
Pun dengan pemasarannya tidak berpengaruh. Pasalnya, mereka hasil, dapat, jual sendiri eskpor sendiri. Tidak berpengaruh ke pasar (grosir). Ke pedagang. Tidak sampai ke pengecer. Sebab mereka hasil sendiri, jual sendiri. Ke kita juga sebetulnya tidak berpengaruh atas hal itu.

Masa pandemi ini kepada nelayan bagaimana?
Kalau nelayan di masa pandemi ini dampaknya adalah soal keterlambatan pemasarannya itu.

Kemudian apa lagi dampak dari Permen itu?
Sekarang ini kita juga miris sekali dengan adanya tempat pelelangan ikan (TPI) tidak berfungsi. Kalau dahulu itu TPI sistemnya datang, langsung bersandar, bongkar, kemudian dilelang.
Sekarang tidak demikian. Kapal masuk, bongkar, ikan ekspor, dia ekspor sendiri. Ikan biasa, masuk gudang dia sendiri. Itu semenjak ada cold storage. Dimonopoli orang-orang besar. Pemodal besar.

Memang kalau dahulu seperti apa?
Kalau zaman dahulu, cold storage itu hanya ikan-ikan ekspor yang masuk. Sekarang teri malah juga masuk. Makanya sekarang ikan banyak dari daerah saja untuk suplai Jakarta ini. Hanya untuk suplei Jakarta, ya, dari daerah.

Maksudnya terganggu suplainya?
Ya, karena kan untuk menopang kebutuhan ikan di Jakarta. Sebab kalau hanya mengandalkan nelayan Jakarta, itu hanya habis di situ saja (satu kelurahan). Padahal kebutuhan ikan di Jakarta itu puluhan ton (20 ton). Dan ditopang juga dari jalur darat. Dari Jawa, Sumatra.

Paling berpengaruh ikan apa?
Bandengnya, udangnya, itu paling terbanyak menyuplai. Tapi kan kita ada nelayan angkut. Yakni nelayan yang termasuk punya kita, termasuk pedagang dimana ikannya itu dijual sendiri. Dan itu yang menopang kebutuhan ikan di Jakarta, termasuk yang datang dari Sumatra.

Kemudian?
Permasalahan lainnya adalah di bawah 30 gross tonnage (GT) yakni soal izin harus ke Kementerian (karena ada peraturan baru).
Nah sekarang terkendala dengan adanya Permen itu. Sebab ada sebagian dari kapal ini, CV atau suratnya masih hidup tetapi tidak boleh jalan. Itu kendalanya (untuk menyuplai DKI berkurang, dampak ke Sumatra semua mengandalkan dari kapal itu—jalur laut karena petani tambak di sana mengharapkan perjalanan kapal itu untuk mengirim sembakonya, esnya, yang semuanya dari situ termasuk warga sana mengandalkan).

Apa lagi dampaknya?
Sekarang ini juga kita dihadapi dengan surat layak operasi (SLO) yang tadinya dikeluarkan oleh Pemda setempat. Sekarang ini tidak demikian, sekarang harus ke Kementerian akibat peraturan baru itu. Sekarang satu pintu. Itu kira-kira substansi dari Permen itu.
Dahulu hanya 30 GT ke atas ke Kementerian. Jika 30 GT ke bawah, Pemprov/Pemda bisa mengeluarkan. Sekarang tidak.

Tapi adakah komentar dari Pemrov DKI?
Pemprov belum merespons. Tapi kita sudah bersurat. Kadis yang menelpon langsung. Ia bilang kalau kita menyurat ke sini salah kaprah. Padahal kita minta dibantu.
Kalau soal itu (lewat Kementerian), kita sudah tahu. Kita minta bantu. Padahal Kadis sendiri mengakui tidak setuju.
Harusnya bantulah. Ke Kementerian. Jangan lempar badan dan sebut salah alamat.

Tapi sebetulnya kalau soal aturan itu bagaimana?

Kita bukannya tidak mau ikut aturan. Boleh saja. Tapi SLO mereka ini masih hidup semua. Ada sekitar 15, khusus angkut. DKI, sebagian Sumatra 5. Harusnya biarkan jalan dahulu. Sambil urus yang baru. Ini tidak boleh sama sekali.

Merembet ke anak buah kapal (ABK)?
Ya, ABK pun sebab itu nganggur semua. Kasih makan, ya, kita, APIMA. Malah ada yang sudah di tengah laut, pada akhirnya tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Kawan-kawan di Sumatra malah ada yang minta dibantu. Dikasih berjalan, karena surat mereka masih hidup. Beroperasilah. Kalau tidak beroperasi, DKI berdampak. Bahkan kalau panen, tidak berangkat, dibuang. Tanggal 2 nanti. Mau diapain lagi? Waktunya panen, mau diambil tidak ada kapal. Es pun gak ada. Mau tidak mau dibuang.

Karena aksesnya utamanya hanya laut?
Ya, satu-satunya akses untuk udang dan bandeng, misalnya menggunakan moda laut, bukan moda darat.

Siapa yang paling dirugikan?
Dan ini sebetulnya merugikan DKI. Paling dirugikan. Sebab kebutuhan ikan. Ikan bandeng paling besar. Penopang terbesar dari situ.
Sembako pun demikian, yang puluhan ribu dari sini (DKI Jakarta). Mereka dari sana (misal Sumatra) bawa ikan, balik bawa sembako. Sampai air minum itu.
Kalau lewat ke kota mereka lewat hutan. Jauh. Kasihan ini. Padahal kapal ini setiap bayar. Bersandarnya juga.

Semua nelayan berdampak juga, ya?
Ya. Nelayan tangkap, nelayan olah (pengasingan), dan nelayan pemasaran, semua kita ini komunitas akhirnya bermasalah sebab dampak. Seperti kita APIMA, nelayan pemasaran. Ini dampaknya.

Tadi ke Pemprov sedang berupaya, ke politisi/DPRD ada?
Soal Permen kita belum mengadu ke politisi atau kawan-kawan DPRD. Belum sampai ke situ. Mereka pun belum bersuara soal ini. Kita pun masih mencoba untuk apa yang diharapkan nelayan, yaitu bisa jalan. Keluarkan surat apa begitu, biar kita bisa dahulu.

Kalau dampak dari pandemi bagaimana?
Kalau dampak pandemi, keluarnya saja yang kurang. Misal kebutuhan restoran. Sebab yang belanja di Muara Angke itu rata-rata restoran (suplai). Volume belanjanya juga berkurang separuh. Tadinya biasanya beli 20 kilo satu jenis jadi 10 kilo.

Sudah ada perubahan maksudnya?
Ya. Namun sih sekarang alhamdulillah saat ini pelan-pelan ada kenaikan. Tapi di DKI harga ikan bandeng dan udang melonjak, jadi mahal. Sebab tidak ada pemasokan dari Sumatra. Tapi lebih berdampak mereka. Sebab aksesnya hanya di sini (laut). Dengan ini saja (sembako) mereka sudah berkurang.
Adapun beli, jauh. Di Palembang. Lewat darat. Lebih jauh lagi. Akses lebih dekat dari Jakarta, lewat kapal.

Lain dari itu apa yang diperhatikan oleh APIMA?
Ada masalah besar ini. Sewaktu-waktu bisa jadi bom waktu. Menyoal Muara Angke disebut pelelangan terbesar di Asia. Tapi parkirnya tidak ada. Khususnya truk-truk daerah. Sebab bisa 100-200 truk semalam. Dari Karawang, Jatim, Sumatra, dll. Makin malam padahal makin macet. Parah-parahnya.
Penyebabnya kan mereka sudah bongkar harus istirahat. Menunggu tempat parkir, yang akhirnya ke mana-mana.

Terakhir, berapa anggota dari APIMA?
Anggota aktif kita itu 1.500 orang. Tidak aktif 2.000-an lebih. Seperti kapal-kapal rajungan itu, anggota kita. Bayangkan. Seluruh pedagang di Muara Angke itu anggota kita. Kami yang mewadahi. Hanya ada sebagian mereka, beberapa puluh orang di tim itu punya kapal angkut itu.

Maksudnya APIMA yang modali?
Ya. Jadi kita penanam modal di petani, misalnya, kebutuhan apa, kita kasih, panen kita angkut. Jadi mereka kita bina. Satu petambak misalnya, minimal Rp10 juta kita modalin. Kalikan coba. Jadi yang paling dirugikan DKI, karena yang modalin mereka orang-orang DKI semua. Dari bibitnya, pakan, solarnya, sampai air minumnya.
Makanya akses satu-satunya hanya lewat laut. Kalau masih ada jalan darat, kita dan mereka gak pusing. Tapi ini akses hanya satu-satunya. Lewat kapal itu.

Exit mobile version