Site icon Parade.id

FPI dalam Kacamata Teori Komunikasi Organisasi

Dok: rosasijamani.com

Jakarta (PARADE.ID)- Pengamat Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo Bayquni menyatakan bahwa bila menggunakan teori komunikasi organisasi, ada yang disebut olehnya Teori Interaksi Simbolik. Teori ini menyatakan bahwa teori interaksi simbolik yaitu berangkat dari pemikiran, bahwa realitas sosial merupakan sebuah proses yang dinamis.

Individu-individu berinteraksi melalui simbol, yang maknanya dihasilkan dari proses negosiasi yang terus-menerus oleh mereka yang terlibat dengan kepentingan masing-masing. Makna suatu simbol menurutnya bersifat dinamis dan variatif, tergantung pada perkembangan dan kepentingan individu yang dibingkai oleh ruang dan waktu.

“Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, individu diletakkan sebagai pelaku aktif, sehingga konsep mengenai diri (self) menjadi penting, kata dia dalam keterangannya, kemarin (30/12/2020).

Bayquni juga menambahkan bahwa konsep diri yang dikaitkan dengan emosi, nilai, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan serta pertimbangan masa lalu dan masa depan turut mempengaruhi diri dalam pengambilan peran.

Namun demikian, diri tidak terisolasi, sebab ia bertindak dalam kelompok individu. Diri tidak dapat memaknai suatu simbol tanpa adanya individu lain yang berperan sebagai cermin untuk melihat diri sendiri.

Dalam kehidupan sosial, manusia menggunakan simbol untuk mempresentasikan maksud mereka, demikian juga sebaliknya.

“Proses penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka.”

Individu, lanjutnya, memilih perilaku sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada. Makna muncul karena ada interaksi antar individu, yang muncul dari hasil interpretasi pikiran manusia mengenai diri serta hubungannya di dalam masyarakat.

“Pemahaman terhadap simbol harus dipahami bahwa simbol adalah objek sosial yang muncul dari hasil kesepakatan bersama dari individu-individu yang menggunakannya.”

Individu-individu tersebut memberi arti, menciptakan, dan mengubah objek di dalam interaksi sosial, dan dapat  mewujud  dalam  bentuk  objek  fisik, bahasa,  serta  tindakan,” kata mantan aktivis 98 ini.

Dengan demikian Bayquni juga menilai  bukan hal yang salah bila, di masa Orde baru dikenal dengan Patai Komunis Indonesia atau disingkat PKI, di mana orde baru begitu dominan untuk membungkam partai tersebut, termasuk ketika bermethamorfosa menjadi PRD (Partai Rakyat Demokratik).

Dan bahkan kata dia, simbol-simbol yang dimunculkan oleh PKI tersebut menjadi sebuah hal yang haram berada di wilayah NKRI, merujuk kepada teori di atas dan hal tersebut berhasil.

“Namun bila hal itu diperlakukan berbeda dengan Ormas FPI SKB (Surat Keputusan Bersama)-nya hanya menjadi keputusan bersama dan tidak dilandasi aksi nyata, termasuk mengeluarkan aturan turunan berupa kebijakan penyampaian informasi dan komunikasi.”

Salah satunya kata dia adalah penggunaan media sosial. Maka, sekali lagi jangan salah bila akan muncul hal itu kembali.

Bayquni melanjutkan, bahwa sebuah indikasi kuat ada pada paham FPI yang mengarah pada intoleransi, kekerasan, dan terorisme, yang berusaha untuk bertahan dengan substansi yang sama. Dan hanya dikemas dengan sedikit berbeda.

“Paham yang mengarah pada intoleransi, kekerasan, hingga terorisme tidak dapat kita biarkan melukai kebhinnekaan Indonesia yang harmonis dan dengan penuh toleransi.”

Kita, kata dia, sepatutnya waspada terhadap bentuk baru radikalisme yang termuat dalam Front Persatuan Islam (FPI) demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan tanah air.

Sementara itu menurut Anthony Danar dari Strategi Institute melihat bahwa pembubaran FPI yang dianggap pengalihan isu justru hal ini terjadi  sebagai respon terhadap ancaman pembangkangan dari organisasi tersebut, yang ia rasakan selalu menyalahkan dan menistakan pemerintah sekarang.

“FPI justru tendensius, sementara HTI tidak tendensius tapi maksud dan tujuannya terang benderang mengganti Pancasila dengan Khilafah. HTI pada waktu itu masih ormas yang berbadan hukum makanya pembubarannya pakai keputusan Kemenkumham,” kata dia.

Sementara FPI, tidak bisa dibubarkan dengan cara normatif, yakni dengan keputusan Kemenkumham karena tidak terdaftar.

Anthony Danar juga menilai jika pentolan eks-FPI tetap menganggap SKB ini sebagai upaya menghalangi keadilan atau obstruction of justice, justu ini adalah pengalihan itu sendiri.  Karena, MRS yang menjadi tersangka masih dalam proses.

Pembelaan dan upaya hukum selalu tersedia bagi MRS, dan tidak dihalang-halangi. Yaitu, dia punya penasihat hukum, pengacara, dan upaya hukum lainnya seperti praperadilan yang juga sudah ditempuh sama mereka.

Mereka, kata dia, hanya perlu sabar sedikit, bahwa proses itu sedang berjalan dan melibatkan berbagai stakeholder, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bahkan proses di Mahkamah Agung.

“Apabila ada tudingan  eks-FPI bahwa SKB pelarangan dan pembubaran FPI melanggar  Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013, maka itu adalah sebuah kekeliruan semata dalam memahami UU.”

Sebab menurutnya Konstitusi menjamin ditegakkannya HAM berlaku dua arah. Pasal 28E vs pasal 28G (1) misalnya disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28I (2), “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Lalu dilanjutkan pada Pasal 28 (1), “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Serta pada ayat (2), “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

“Artinya SKB adalah bentuk arahan dari pemerintah agar masyarakat luas tidak tersesat dan terjebak dalam kegiatan ormas yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat dengan sikap intoleran dan menistakan pemerintahan yang sah.”

Menurutnya, melindungi kebebasan warga negara lainnya untuk memilih keyakinannya sendiri, justru itulah penegakan HAM yang sejati.

Sebagaimana yang diketahui, pemerintah menilai bahwa FPI secara de jure sudah bubar sebagai organisasi masyarakat terhitung per tanggal 21 Juni 2019.

Pasalnya, FPI tidak kunjung memperpanjang SKT Kemendagri. Pemerintah pun akhirnya melarang berbagai aktivitas dan penggunaan atribut FPI secara de facto.

(Robi/PARADE.ID)

Exit mobile version