Site icon Parade.id

Gadih Basanai, Film Budaya Minang Adaptasi dari Tradisi Tutur Lisan

Foto: Dok. film Gadih Basanai, Jay Abidin dan Adji

Jakarta (PARADE.ID)- Film yang dibuat dari adaptasi novel itu sudah banyak. Begitupun yang diangkat dari kisah nyata. Tapi kalau dari tradisi tutur lisan, boleh bilang  masih sedikit. Dari yang segelintir itu, salah satunya film Gadih Basanai.

Gadih Basanai yang garap sutradara Jay Abidin, merupakan film layar lebar hasil adaptasi dari tradisi tutur lisan yaitu dari cerita Kaba Gagih Basanai.

“Kaba Gadih Basanai biasanya dituturkan dalam pertunjukan kesenian Barabab atau Babiola,” terang Jay Abidin, sang sutradara kepada Parade.id baru-baru ini.

Film berdurasi 90 menit ini diadaptasi dari 4 versi cerita Gadih Basanai yang populer di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Lokasi syuting film yang ber-setting tahun cerita sekitar era tahun 1950-an ini, 100 persen di Pasisir Selatan.

Pemain utamanya, Wulan dan Hanif (alumni Teater ISI Padangpanjang) ditambah Wendy dari Indonesia Perfomance Syndicate dan Lisda Hendra Joni (istri Bupati Pesisir Selatan yang sekarang menjadi anggota DPR-RI).

“Para pemainnya menggunakan Bahasa Minang namun ada subtitle-nya dalam Bahasa Indonesia,” ungkap Jay.

Wendy, salah satu pemain dalam Gadih Basanai mengaku senang terlibat dalam film ini.

“Gadih Basanai Ini film layar lebar dengan spirit produksi lokal, baik pemain dan crew produksinya,” ujar  Wendy yang pernah diajak Slamet Rahardjo syuting film Marsinah dan selama di Jogja tahun 2000-2005  sering terlibat film indie dengan banyak komunitas film di Jogja.


Proses Produksi

Film Gadih Basanai, lanjut Jay, merupakan salah satu luaran hasil penelitian multi-years yang dimulai pada tahun 2018 dan berakhir tahun 2020.

Penelitian tersebut merupakan hibah dalam skim penelitian P3S (Penelitian, Penciptaan, dan Penyajian Seni) yang dibiayai oleh Kemenristekdikti.

Tahun pertama salah satu luaran penelitiannya adalah naskah. Lalu tahun kedua, salah satu luarannya adalah produksi film. Sedangkan tahun ketiga salah satu luaran penelitiannya adalah uji publik film atau publikasi film.

“Pada penelitian tahun pertama dan kedua bermitra dengan Pemda Kabupaten Pesisir Selatan,” ungkapnya.

Dalam menggarap film ber-genre  tragedi dan cerita mistik ini, Jay mengaku tidak mendapatkan kendala yang berarti.

Menurutnya setiap karya film itu punya takdirnya sendiri, tim produksi, pemain maupun sutradara itu tidak bisa merubah takdir. Sementara itu karya, naskah, disain produksi, pasti berubah di lapangan menyesuaikan realitas saat produksi, demikian juga saat pasca-produksi.

Jadi pada sisi penyutradaraan film adaptasi itu, sambungnya, tidak ada yang istimewa atau spesifik.

“Persoalan yang menarik di dalamnya ada proses adaptasi dari tradisi tutur lisan menjadi naskah. Lalu proses yang lebih rumit dari proses adaptasi novel ke naskah/skenario film,” ungkap Jay yang pernah menyutradarai film fiksi dan dokumenter bermuatan budaya Minang seperti film fiksi “A Dog’s Life” tahun 2003  tentang budaya buru babi di Minang dan film “Abu Di Ateh Tunggua” 2011 tentang budaya materilinear di Minang.

Film Gadih Basanai baru sekali tayang di XXI Transmart Padang belum lama ini, dan itu hanya dalam rangka uji publik dengan penonton terbatas sesuai aturan protokol Covid-19. “Ini dilakukan untuk memenuhi syarat luaran penelitian yaitu film layar lebar yag bisa tayang di bioskop dan dihadiri para tamu undangan terutama tim reviewer penelitian,” jelas Jay.

Gadih Basanai versi layar perak ini belum premiere atau belum diputar untuk kalangan umum di bioskop. “Tapi Insha Allah tahun depan akan kita publish atau kita pasarkan,” pungkas Jay.

Parade.id menilai kehadiran film ini bukan sekadar menambah perbendaharaan film Indonesia yang kental muatan budaya lokal, pun punya nilai edukasi serta sekaligus publikasi ragam pesona Pesisir Selatan sebagai lokasi film tersebut.

Bukan tidak mungkin, setelah film Gadih Basanai dipasarkan/ditayangkan secara luas, nama Pesisir Selatan menjadi semakin tersohor dan banyak wisatawan yang tertarik datang untuk melihat tradisi budaya dan keindahan alamnya.

(Adji Kembara/PARADE.ID)

Exit mobile version