Jakarta (PARADE.ID)- Pancasila sudah diperdebatkan dengan hebat oleh para founding fathers. Namun pada akhirnya disepakati rumusan 18 Agustus 1945. Muncul kembali perdebatan di Konstituante tahun 1955 tapi akhirnya disepakati kembali ke rumusan tersebut pada 5 Juli 1959.
“Apa kita mau menarik generasi skrng ke perdebatan yg sama?” cuitan Presiden PKS, Sohibul Iman, baru-baru ini.
Kita, menurutnya, sudah memiliki konsensus-konsensus dasar bernegara, yakni Pancasila, UUD 45, Merah-Putih, dll. Konsensus-konsesnsu terebut sudah diperdebatkan secara filosofis, sosiologis, politis, dan idiologis. Kini harusnya kita memikirkan bagaimana mewujudkan idealita-idealitanya.
“Ini perlu diskusi2 di tingkat praksis, bukan perdebatan2 idiologis politis.”
Memang sifat alamiah manusia, ketika tidak mampu mewujudkan idealita-idealita kehidupan, kita malah cenderung tergoda mengutak-atik hal-hal yang tidak penting. Demikian juha ketika kita tidak mampu mewujudkan idealita-idealita dari konsensus-konsensus dasar bernegara, ada sebagian pihak yang tergoda mengutak-atik hal-hal yang tidak perlu. Absurd.
“Perdebatan idiologis politis ttg konsensus2 dasar bernegara akan bikin kita setback n abai dr usaha2 membangun dayasaing di tengah kompetisi global yg dipicu o/ kemajuan2 teknokogi di satu sisi n kekhawatiran ‘FEW crisis’ di sisi lain (Food, Energy, Water). Kita bs jd pecundang.”
Kita harusnya fokus, harus diarahkan untuk membicarakan aspek praksis dari konsensus-konsesnsu dasar bernegara.
“Yaitu bgmn menjadikannya sbg pengikat (constraint) agar saling mawas diri sbg bangsa di satu sisi, di sisi lain jd enabler yg membuat kita terus dinamis bangun dayasaing kolektif. Solid n kompetitif.”
Tak dipungkiri, memang ada pula beda tafsir tentang konsensus-konsensus dasar bernegara tentu inevitable. Karena setiap orang memiliki kecondongan masing-masing.
“Ada yg condong pd aspek2 Ketuhanan, ada yg aspek2 Kemanusiaan, dll. Semua hrs dihargai n diakomodir scr terbuka agar tdk ada yg underground. Jangan apriori n saling mematikan.”
Jika secara makro konsensus-konsensus dasar bernegara dianggap given, dan beda tafsir praksis dihargai dan diakomodir maka ruang-ruang dialogis (kesadaran logis), mawas diri (etis), dan n penegakan hukum (yuridis) jadi kunci harmonisasi.
“Namun ketiga hal ini jg kita mengalami defisit. Inilah PR besar kita.”
Menurut dia, gen kini harus tahu sejarah perdebatan sengit tentang konsensus-konsensus dasar bernegara, tapi mereka tidak harus ditarik mengulang perdebatan tersebut.
“Lbh baik m’bekali diri tuk miliki kesadaran logis, kesadaran etis, n kesadaran yuridis agar siap dialog, mawas diri, n taat hukum.”
(Robi/PARADE.ID)