Jakarta (PARADE.ID)- Memperkuat ideologi Pancasila di kalangan milenial untuk mempererat persatuan dan kesatuan bangsa di tengah ancaman radikalisme dan intoleransi rasanya perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius. Hal ini agar kalangan milenial tidak dianggap gagap ketika menghadapi “fenomena” yang cukup menguras waktu itu.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia (POLKASI), Stanislaus Riyanta memiliki resepnya, yakni dengan menjadikan Pancasila sebagai benteng negara di kalangan milenial untuk menangkal ideologi atau paham asing/luar. Maka dari itu menurutnya, penguatan ideologi Pancasila bagi pemuda sangat penting dan mutlak dilakukan.
“Daya tarik Pancasila harus dikuatkan sehingga generasi muda tidak mencari ideologi yang lain,” ujarnya, Kamis (6/5/2021), ketika menjadi pembicara di acara Gerakan Muda Peduli Nusantara (GMPN), di Jakarta.
Bahkan menurut dia, perlu dan harus dilakukan doktrinasi Pancasila bagi kalangan milenial. Namun demikian, mengingat perkembangan zaman, maka menurutnya perlu dilakukan penyesuaian model doktrinasi sehingga sesuai
dengan kebutuhan dan gaya generasi muda saat ini.
“Pelibatan generasi muda dalam menyusun pola dan materi doktrinasi tersebut sangat penting,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat Kemaritiman dan Intelijen Soleman B. Ponto menyinggung Pancasila sebagai pembentuk karakter bangsa. Dan kalau bicara kaum milenial, menurut dia hal yang perlu dilakukan agar terwujud kepribadian pancasilais adalah dengan memiliki integritas tinggi terhadap negara.
“Untuk melawan para kaum intoleran dan kaum radikal di sekitar kita, di Indonesia ini,” tegasnya, di acara yang sama.
Ideologi itu menurutnya pemersatu bangsa. Dan perbedaan itu seharusnya menghasilkan sebuah karakter bangsa: karakter Indonesia, karakter Pancasila.
Ancaman radikalisme dan intoleransi merupakanpermasalahan di Indonesia yang terus mengemuka ke ranah publik hingga saat ini. Bentuk ancaman radikalisme dan intoleransi ini, menurut Ketum PB HMI MPO Ahmad Latupono, kadang diwujudkan dalam pelarangan kegiatan ibadah keagamaan, penyebaran ujaran kebencian dan kekerasan berbasis agama.
Bahkan kata dia, sikap intoleransi-lah menjadi benih-benih awal yang membawa kecenderungan pada lahirnya radikalisme, ekstrimisme kekerasan dan terkadang mengarah pada aksi terorisme.
“Di sisi lain ada peran kehadiran negara yang dapat mengurangi atau menguatkan peran kepentingan ekonomi dalam menghasilkan radikalisme dan intoleransi,” kata dia.
Kendati begitu, sikap atau perilaku yang banyak dikecam oleh masyarakat, terlebih kaum beragama ini, menurut dia dapat dihambat. Salah satunya dengan memperhatikan nilai-nilai budaya yang ada serta mempraktikkan rasa sosial kita yang sejalan dengan toleransi sebagaimana mestinya.
(Rgs/PARADE.ID)