Site icon Parade.id

Ingin Jadi Pakar Forensik Digital? Ini Kuncinya

Jakarta (PARADE.ID)- Pakar Forensik Digital, Ruby Alamsyah, mengatakan untuk menjadi praktisi forensik digital harus menguasai keilmuan teknologi informasi. Artinya, tidak cukup menguasai forensik saja.

“Seringkali kendala dari praktisi forensik digital tidak didukung oleh pengalaman ilmu TI yang secara menyeluruh,” kata dia dalam acara sedaring “PANDI Meeting 11”, Selasa (25 Agustus 2020).

“Analoginya, dokter ketika ingin menjadi ahli dokter forensik harus menjadi dokter dulu, alias dokter umum, demikian juga di ilmu forensik digital, ahli harus menjadi orang TI dulu,” ujar Ruby.

Selain menguasai ilmu TI, praktiksi forensik digital harus bekerja dengan penuh ketelitian. Ini karena sifat dari barang bukti itu sangat rentan. Apalagi barang bukti digital itu harus sesuai atau dapat diterima dengan hukum yang berlaku.

“Kita harus pakai mindset ini karena salah sedikit atau ada keteledoran atau ketidaktelitian saat melakukan tahapan forensik digital, bisa saja barang bukti yang tadinya asli, bisa tidak sah dikarenakan kesalahan tahapan yang kita lakukan,” ujar dia.

Selanjutnya, forensik digital harus berdasarkan data atau fakta yang ada di bukti digital. “Apakah digital evidence itu asli atau tidak, juga kita juga buktikan,” kata Ruby. Pendek kata, forensik digital juga mensyaratkan detail dan lengkap.

“Dokumentasi digital baik saat ditaruh di lab atau diproses kembali oleh tim, itu semua harus ada catatannya, […] memastikan barang bukti itu asli dari awal saat dikloning sampai diperiksa di pengadilan,” ujar dia.

Sebab, kata dia, hasil forensik digital harus dapat dipercaya dan dapat dimengerti utamanya oleh semua pihak yang berkepentingan di bidang hukum, seperti polisi, pengacara, jaksa, majelis hakim, dan sebagainya.

“Semuanya harus dirangkum dengan pas baik dengan bahasa teknis serta dapat dipahami secara mudah oleh orang awam,” kata Ruby.

Ia pun membagikan kiat berdasarkan pengalaman pribadinya untuk siapa pun yang ingin mendalami forensik digital, antara lain:

Pertama, berpikir out of the box. Seorang praktisi forensik digital harus suka dengan ilmu investigasi.

Kedua, praktisi forensik digital harus menjaga integritas diri sehingga klien benar-benar bisa percaya dengan pekerjaannya.

Ketiga, perhatian terhadap detail. Jika tidak teliti, belum tentu bisa dapat hasilnya.

Keempat, gigih dalam bekerja (persisten). Ini sangat penting, kata Ruby. Ia mencontohkan kasus video seksual antara Ariel dan Luna Maya yang heboh beberapa tahun lalu. Saat itu sulit mencari siapa penyebar pertama video tersebut. Tapi, dengan forensik digital, Ruby berhasil membuktikan.

“Kami persisten selama dua minggu lebih membantu penegak hukum untuk menemukan seluruhnya siapa saja yang upload di internet, sampai yang pertama kali mengakses dari hard disk dari Ariel,” kata dia.

Bahan pembelajaran

Ruby mengatakan, semestinya hasil setiap forensik digital dari insiden siber atau teknologi informasi bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siapa saja. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh pihak-pihak kemungkinan juga bisa mengalami insiden siber.

Ia mencontohkan kasus kebocoran data di salah satu e-commerce pada 2019 yang seharusnya bisa dijadikan pembelajaran bagi pelaku e-commerce lain. Sayangnya, tahun ini insiden serupa dialami pelaku e-commerce lain.

“Forensik digital tidak dijadikan lesson learned pihak lain,” kata dia.

Seperti diketahui, tahun lalu Bukalapak mengalami insiden kebocoran data sebanyak 13 juta akun pengguna, lalu tahun ini kebocoran data juga dialami Tokopedia (91 juta akun) dan Bhinneka (1,2 juta akun).

Menurut Ruby, forensik digital bisa digunakan dalam banyak hal, baik untuk kebutuhan ilmiah, investigasi kriminal, intelijen, maupun administratif.

Selain itu, hal-hal yang berkaitan dengan keamanan internet dan teknologi informasi. Dari situlah, forensik digital bisa dipakai untuk mendapatkan pembelajaran

(Cyberthreat/PARADE.ID)

Exit mobile version