Site icon Parade.id

Jumhur Hidayat Menyesalkan Pernyataan Prabowo soal Upah: Tuntutan Buruh Masuk Akal

Foto: Ketum KSPSI, Jumhur Hidayat

Jakarta (parade.id)- Ketum KSPSI Jumhur Hidayat menyesalkan pernyataan bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto yang meminta buruh untuk tidak banyak menuntut upah ke pengusaha. Jumhur menyebut pernyataan Prabowo itu perspektif jangka pendek.

“Jadi, itu perspektifnya tidak boleh jangka pendek. Kalau perspektif jangka pendek itu di abad 19 atau abad 20 (awal). Dimana kita peras setinggi-tingginya, sekuat-kuatnya kaum buruh. Itu adalah cara pandang abad segitu. Kita bicaranya sudah mestinya di luar itu,” kata Jumhur, kemarin malam kepada parade.id.

Jumhur membaca, bahwa perspektif Prabowo itu adalah bias pengusaha, bukan bias pada keadilan, yang dalam hal ini tentu keadilan untuk kaum buruh.

“Kalau kita lihat angka-angka di dunia, itu ada yang disebut dengan pendapatan buruh dan juga pendapatan dari modal dalam suatu usaha. Jadi intinya, pemilik modal berkolaborasi dengan buruh, kemudian menghasilkan produk, dan produk itu, dijual kemudian menghasilkan pendapatan,” katanya.

“Yang betul itu adalah hadirkan keadilan. Keadilan itu yang menguntungkan pengusaha juga  bagi buruh. Terus ada peran negara,” sambungnya.

Di sini, Jumhur merasa bahwa peran Negara abai. Malah sesungguhnya akan banyak hal yang bisa mendapatkan keuntungan lebih atau pendapatan lebih dari pengusaha—tetapi gara-gara Negara gagal menghadirkan satu servis ke mereka, maka keuntungannya (mereka) terpotong.

“Contohnya begini, misal ada biaya logistic. Biaya logistic itu kan—pelabuhan, transportasi, kemudian pungli, kemudian dana-dana yang KKN, pengeluaran dana-dana yang tida berhubungan dengan industry. Itu semua adalah yang merugikan pengusaha. Jumlahnya itu besar,” ungkapnya.

Di Malaysia itu, kata Jumhur, biaya logistic sudah 13 persen dari PDB. Kita masih sekitar 20-23 persen biaya logistic-nya. Jumhur menilai itu tinggi sekali, karena bedanya sekitar 10 persen.

“Coba kalau bisa kita potong sampai 16 persen misalnya, itu luar biasa dan akan menguntungkan pengusaha. Artinya, dia enggak lagi ribut-ribut dengan kaum buruh,” kata Jumhur.

Kedua misalnya bunga bank (untuk pengusaha) yang dinilai Jumhur tinggi sekali. Kayak rentenir.

“Negara hadir, dong. Kenapa bank kayak renternir. Di Negara tetangga bisa 4-5 persen, di kita mengapa 12 persen, misalnya, atau di atas BI rate, kira-kira. Atau margin-nya terlalu luas,” pintanya.

“Jadi mestinya Negara hadir. Agar ketika mendiskusikan ke pengusaha, bisa lebih mendapat pendapatan daripada membayar bunga. Dan artinya itu dengan buruh bisa dikompromikan,” sambungnya.

Ketiga, Jumhur melanjutkan, soal pengusaha banyak mengeluh karena banyaknya barang diimpor—yang tidak perlu. Tidak hanya beras dan gula tetapi produksi-produksi local yang seharusnya bisa mengisi pasar-pasar di masyarakat—itu diisi barang impor, termasuk impor produk manufacturing, yang kita tahu mayoritas dari China.

“Jadi menurut saya harus ada kehadiran Negara. Bukan hanya menyalah-nyalahkan kaum buruh. Itu sangat disesalkan sekali. Jadi saya mengoreksi, bahwa tidak seperti itu yang sebenarnya yang terjadi,” katanya.

Kedua, kalau kita bicara investasi, maka—ternyata Faisal Basri sudah mengeluarkan satu gambaran bahwa keluhan para investor itu soal peraturan perburuhan itu urutan 11, kalau tidak salah.

Lainnya, yakni ketidakpastian kebijakan, perpajakan, dan macam-macam. Jadi kata Jumhur, soal buruh itu hanya urutan kesebelas.

“Bahkan kita tahu, dari tahun 2003, sebelum lahirnya UU Omnibus Law, itu pertumbuhan ekonomi kita tinggi, dengan peraturan yang lama. Sekarang malah dibuat peraturan yang merendahkan kaum buruh. Dan pertumbuhan segitu-gitu saja. Malah nyungsep,” katanya.

“Jadi tidak ada hubungan, antara kita menservis pengusaha dengan pertumbuhan ekonomi (yang tinggi). Tidak ada hubungannya ternyata. Ada mungkin sebaliknya, karena pertumbuhan itu disumbangkan 56-57 perseb dari belanja masyarakat,” ia melanjutkan.

Tuntutan Upah Buruh Masuk Akal

Menurut Jumhur, level tuntutan yang dituntut oleh buruh itu masih sangat masuk akal. Menurut dia, kalau kaum buruh tidak punya upah yang cukup, maka daya belu rendah. UMKM terpukul.

Pun dengan sektor-sektor yang memproduksi massal, juga akan terpukul, termasuk yang berteknologi tinggi, seperti sepeda motor, garmen, karena masyarakat  yang harusnya bisa membeli—malah tidak punya uang cukup membeli. Jadi memukul semua, kata dia.

“Kalau di dunia, itu bahkan sudah mencapai angka 50-60 persen pendapatan itu untuk kaum buruh. Jadi betul-betul mereka menghargai kaum buruh itu. Di kita masih jauh di bawahnya. Nah pendapatannya ini, di Indonesia masih sekitar 39 persen. Adalah yang paling rendah, termasuk di ASEAN Five. ASEAN Five kita paling rendah,” ia mengungkapkan.

Ia menyinggung pledoi ‘Indonesia Menggugat’ yang dibacakan Presiden Pertama Sukarno pada tahun 30-an atau sekitar 92 tahun lalu, terkait upah buruh (laki-laki) saat itu 45 sen, dengan coba memperbandingkannya.

“Sedangkan saat itu harga beras 7 sen. Artinya satu hari upah buruh itu, bisa membeli beras 6,4 kilogram beras. Nah, faktanya hari ini, kalau Anda cek UMP di pulau jawa saja—itu UMP kita rata-rata 2 juta—kalau harga beras 13 ribu, itu per hari hanya bisa membeli sekitar 5,5 kilogram beras. Itu buruh-buruh kita setelah 92 tahun atau 78 tahun kita merdeka,” bebernya.

“Apa iya, harapan seperti itu yang diharapkan pendiri bangsa, oleh para pahlawan yang sebentar lagi kita kan merayakan Hari Pahlawan? Kan pasti tidak begitu,” tekannya.

Jadi intinya kata dia adalah, justru capres itu menghadirkan keadilannya dengan cara menggunakan kekuasaannya, untuk tidak bias kepada pengusaha-pengusaha.

“Tapi justru mencari tahu mengapa pengusaha kesulitan dan dicari jalan keluarnya. Dan tentu juga pastikan buruh bisa mendapatkan penghasilan yang memadai, bukan berlebih-lebihan, yang memadai,” pungkasnya.

(Rob/parade.id)

Exit mobile version