Site icon Parade.id

Kabid Organisasi DPD DKI LEM SPSI Bicara soal JHT

Foto: Ketua Bidang (Kabid) Organisasi DPD DKI LEM SPSI, Muhammad Toha

Jakarta (PARADE.ID)- Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 banyak ditolak oleh organisasi buruh. Permenaker yang berisikan soal Jaminan Hari Tua (JHT) tersebut di antaranya menyoal usia 56 tahun, buruh baru bisa diberikan kepada Peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.

Salah satu organisasi buruh yang menolak itu adalah DPP LEM SPSI, setidaknya itu juga yang disampaikan oleh DPD DKI LEM SPSI.

Melalui Ketua Bidang (Kabid) Organisasi DPD DKI LEM SPSI, Muhammad Toha, mengatakan bahwa Permenaker itu ditolak karena sangat memberatkan pekerja. Bagaimana lengkap penolakannya?

Berikut wawancara langsung parade.id ke Toha, Senin (21/2/2022), di kantor DPD DKI LEM SPSI, Jakarta Timur:

Bagaimana Anda memperhatikan soal JHT di Permenaker Nomor 2 Tahun 2022?
JHT itu pasti kita menolak. Keberatan. Mengapa? Itu sangat memberatkan pekerja. Dimana sebelumnya kebijakannya itu adalah pada saat orang putus hubungan kerja, baik itu pensiun, mengundurkan diri, maupun di-PHK, maka dalam waktu tidak lama itu JHT bisa diambil. Bisa dicairkan.
Dengan adanya Permenaker baru ini maka usia 56. Kita tidak bisa kebayang, misal kita bekerja 10 tahun dari usia dari lulus STM (19) berarti 39 tahun, pada di-PHK, baru bisa memanfaatkan dananya, berala tahun lagi itu? 26 tahun. Sementara kebutuhannya itu sekarang.

Ada korelasinya kah dengan keputusan MK yang menyoa UU Ciptaker?
Memang dalam UU Ciptaker yang telah diputuskan cacat formil oleh MK, ada jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) tetapi itu secara angka hanya dua kali upah dengan maksimal Rp5 juta. Jadi kalau ada yang bilang Rp10 juta itu dalam waktu 6 bulan. Kira-kira begitu hitungannya. Maksimal.

Berarti tidak menolong?
Ya, sedikit menolong. Tapi sedikit menahan uang JHT terlalu banyak. Jadi kita keberatan. Dan pasti kita menolak.

Bagaimana cara menolaknya?
Kita selalu diskusikan dengan DPP. Secara hirarki kepengurusan/organisasi. Itu pandangan dari DPD.

Bisa berikan contohnya?
Misal kita kemarin melakukan aksi pada hari Kamis (18/2/2022) di Kemnaker. Pada saat itu ditemui menteri langsung. Tapi semacam ada pelintiran bahasa, kesannya kita tidak tahu. Padahal itu sudah di luar konteks audiensi.
Menteri hanya mengatakan, pada saat dialog, akan meminta masukan dari kita. Dan kita siap.

Masukan apa yang akan diberikan nanti?
Intinya, masukan itu dicabut (Permenaker). Kalau direvisi, dan dikembalikan ke seperti semula. Agar buruh di zaman susah ini, jangan makin susah lagi. Akan meminta masukan.

Apa saja?
Menurut kami usia 56 tahun itu kan wajarnya. Normalnya. Orang pensiun. Jadi pada saat orang itu pensiun, ya, diberikan. Itu wajib. Sebab logikanya itu, usia 56 tahun itu adalah batas akhir penyerahan. Tidak boleh lebih dari itu. Logika hukumnya mustinya begitu. Ini secara umumnya. Aneh kalau diberikan lebih dari usia itu. Itu adalah batas akhirnya. Tapi kalau dalam klausul orang mengundurkan diri, di-PHK, ya mustinya diberikan.
Kalau ikut PP 46, usia pensiun itu adalah 56 tahun. Berikutnya setelah satu tahun, ditambah tiga tahun. Sehingga nanti pada ujungnya usia pensiun 56 tahun. Artinya pada masa itu, penyelanggara dana pensiun. Harus diberikan.

Maksudnya?
Jadi, ada juga yang berpendapat menteri melawan peraturan presiden, karena ada PP 19, yang sekarang masih berjalan ini. Jadi mustinya, PP-nya dulu yang musti diubah. Sehingga tidak terjadi tabrakan.
Ya, semoga saja semua bisa diluruskan kembali. Kalau tidak, biarkan rakyat yang menilai hingga 2024 siapa yang laik mengatur untuk negara ini dengan baik.

Berarti ada harapan?
Harapannya kita, ya, Ibu Menteri tidak tutup mata. Sebab Ketua DPR, Wakil Rakyat sudah (pernah) meminta itu dicabut.

Jadi, menteri akan mengundang kembali?
Iya. Tapi secara teknis akan mengundang seluruh serikat, kita tidak mendalami. Dia punya cara sendiri.
Untuk waktu belum tahu. Atau mungkin itu hanya basa-basi dia saja. Biasalah namanya pejabat, mesti ngomongnya enak. Tapi kalau kita mendengar perkembangan sekarang di media, ya, kita cukup senang. Sebab, selain PKS, ibu Puan, di media, juga menyampaikan agar ditinjau kembali-dicabut.

Kapan deadline waktu yang kawan-kawan buruh berikan?
Soal tindak lanjut, kemarin kita sudah memberikan waktu selama dua minggu ke menteri. Kalau umpamanya dia serius untuk meminta masukan—mencabut, mestinya sebelum dua minggu. Sebab kita beri waktu untuk itu.

Kalau tidak ada respons?
Kalau tidak ada respons untuk dicabut, ya, kekuatan kita kan hanya aksi-aksi, dan dari aspek hukum, kita bisa gugat. Tapi untuk menggugat kita mesti mengkalkulasi betul. Kalau untuk opsinya sih, kita hanya aksi saja.

Tapi sebelumnya apa pernah mediasi?
Sebenarnya, hal itu (mediasi) sudah kita upayakan sebelum aksi. Termasuk kita kirim surat ke Kementerian. Dua minggu laku. Kita mau ketemu, untuk memberikan masukan.

Ada tidak dari kawan buruh di sini yang pro terhadap Permenaker?
Dari kawan-kawan kami di sini, sejauh ini tidak ada yang menunjukkan pro ke Permenaker (JHT). Atau kita mendengarnya. Tapi kita tidak tahu ya, atau statment pribadi ada/tidak.
Tapi secara organisasi, dari DPP—PUK, saya belum pernah mendengar, mereka mendukung (Permenaker) karena dianggap benar.
Tapi menurut saya itu gila betul. Mengapa? Masak ditunda sekian tahun merasa senang, begitu?

Bagaimana perhatian pemerintah terhadap buruh sejauh ini?
Sikap pemerintah belakangan ini kepada buruh, ya, hingga kini yang blunder adalah UU Nomor 11 Tahun 2020 (Ciptaker). Bukannya menciptakan kerja, malah nyusahin buruh. Secara umum begitu. Dan secara prosedur ngawur. Maka diminta oleh MK diperbaiki. Itu yang kita lihat. Sangat menyedihkan. Sebab di pemerintahan sebelumnya kan tidak ada yang se-blunder begitu. Atau dinyatakan cacat formil.
Ya, ini seperti puncak ketidakcerdasan pemerintah.

(Rob/PARADE.ID)

Exit mobile version