Site icon Parade.id

Kejanggalan Kenaikan Status dari Penyelidikan ke Penyidikan Laporan Jokowi

Foto: Ahmad Khozinudin/tangkapan layar

Jakarta (parade.id)- Ahmad Khozinudin, perwakilan hukum dari klien yang kasusnya baru-baru ini ditingkatkan statusnya oleh Polda Metro Jaya seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dr. Tifa, menyatakan keberatan keras terhadap langkah kepolisian tersebut. Menurut Khozinudin, peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan ini adalah tindakan prematur dan sarat akan kejanggalan, terutama mengingat kasus dugaan pemalsuan ijazah Joko Widodo yang masih bergulir di Bareskrim Polri.

“Humas Polda mengumumkan peningkatan status kepada klien kami. Alasannya bukan hanya laporan Jokowi, juga sejumlah laporan Polres lainnya,” ujar Ahmad Khozinudin dalam keterangannya persnya, Senin (14/7/2025).

Khozinudin menyoroti bahwa kliennya sempat menerima undangan klarifikasi terkait empat laporan (pencemaran nama baik, fitnah, dan ITE). Ia menduga adanya “penyelundupan hukum” dengan dimasukkannya UU ITE yang memungkinkan langkah penahanan.

“Ini modusnya. Peradi Bersatu melakukan kebohongan. Itu saat kami diminta klarifikasi, mereka tidak datang,” tambahnya.

Khozinudin menegaskan bahwa kasus pencemaran nama baik ini tidak bisa dilepaskan dari kasus dugaan pemalsuan dokumen yang telah dilaporkan di Bareskrim. Ia menyebut bahwa laporan di Bareskrim, meskipun hanya Dumas (Pengaduan Masyarakat), hingga kini belum tuntas.

“Terakhir ketika 22 Mei, Johandani Rahaduro selaku Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim menyatakan menghentikan penyelidikan dugaan pidana pemalsuan ijazah Joko Widodo. Namun, proses ini telah dilakukan koreksi melalui gelar perkara khusus pada tanggal 9 Juli 2025, dan gelar itu belum ada hasil yang disampaikan kepada publik,” jelas Khozinudin.

Pihaknya berpendapat bahwa seharusnya kepolisian menunggu hasil gelar perkara khusus di Bareskrim diumumkan kepada publik. Jika gelar tersebut menguatkan penghentian penyelidikan, barulah hasilnya dapat dianggap sama. Namun, jika gelar perkara menyatakan adanya cacat proses atau substansi dan memerintahkan penyelidikan dibuka kembali, maka peningkatan status di Polda menjadi tidak relevan.

“Dari situ kami kemudian muncul praduga jangan-jangan semua akan dikondisikan, pengumuman di Bareskrim nanti juga hasilnya akan sama sehingga Polda berani meningkatkan penyelidikan ke tahap penyidikan. Okelah kalau sekedarnya demikian tapi tetap saja harusnya menunggu pengumuman dari Biro Wasidik ini dulu hasilnya seperti apa,” tegasnya.

Khozinudin juga menyoroti keanehan dalam logika hukum yang diterapkan. “Tidak mungkin ada pencemaran ijazah palsu kalau belum dibuktikan ijazahnya asli. Bagaimana nanti kalau ternyata ijazah itu terbukti palsu, kan enggak ada lagi fitnah, enggak ada lagi pencemaran begitu.”

Tim kuasa hukum menyatakan keberatan atas penyidikan dengan pasal pencemaran dan fitnah sebelum ijazah dibuktikan keasliannya berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini, menurut Khozinudin, menunjukkan adanya tendensi dan kepentingan untuk mengkriminalisasi kliennya.

Ia juga mengungkapkan bahwa dalam laporan awal Joko Widodo, tidak pernah disebutkan siapa terlapornya. Meskipun demikian, dalam konferensi media dan laporan dari lima Polres lainnya, nama kliennya sudah tegas disebutkan.

“Artinya apa? Artinya kasus ini memang sengaja dipercepat dengan target tertentu dan target yang paling utama adalah ingin membungkam kebenaran,” tudingnya.

Khozinudin menuntut adanya akses bagi pihak terlapor untuk memeriksa keaslian ijazah tersebut. “Kalau ijazahnya ternyata asli ya sudah pilihan kami bisa minta maaf. Dan kalau ternyata dia asli dan ingin tetap melanjutkan fitnahnya ya ayo kita ladeni fitnah itu. Tetapi sudah jelas ijazah ini dibuktikan asli.”

Khozinudin menjelaskan bahwa untuk membuktikan keaslian ijazah Joko Widodo, ada tiga langkah yang seharusnya ditempuh: melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), peradilan perdata, atau pidana. Namun, ia mengeluhkan bahwa pengadilan di Surakarta dan Jakarta Pusat telah menyatakan tidak berwenang mengadili kasus ijazah palsu.

“Lah kalau pengadilan tidak berwenang lalu ke mana rakyat ini mencari keadilan? Ini kan sama saja melempar masalah ini kepada publik. Kita bingung,” ujarnya.

Satu-satunya jalur yang tersisa adalah melalui pidana, namun, menurutnya, pembuktian keaslian ijazah seharusnya melalui Pasal 263 KUHP terkait dugaan pemalsuan dokumen, bukan pasal pencemaran nama baik yang sedang digunakan di Polda.

“Sehingga yang harus diteruskan itu adalah proses di Bareskrim, bukannya di Polda,” kata Khozinudin, khawatir kliennya akan terpojok sebagai terdakwa sementara keaslian ijazah itu sendiri belum tuntas dibuktikan secara hukum.

Pihak Khozinudin juga mempertanyakan langkah Polda yang menaikkan kasus ke tahap penyidikan dengan dasar bukti fotokopi ijazah dari pelapor.

“Saat konferensi pers Kombes Pol Adi Arief, ketika ditanya oleh media pelapor saudara Joko Widodo saat membuat laporan polisi apakah melampirkan ijazah asli? Apa jawabannya? Fotokopi,” ungkap Khozinudin.

“Bagaimana mungkin bukti dari pelapor yang hanya fotokopi kemudian segera dinaikkan tahapannya ke tahapan penyidikan yang ujung daripada penyidikan itu akan ada tersangka?” imbuhnya.

Ia menekankan bahwa seharusnya ijazah asli disita oleh Polda Metro Jaya dan dilakukan tes laboratorium forensik sebagai dasar untuk menaikkan tahapan ke penyidikan. Meskipun ada uji forensik di Bareskrim, Khozinudin menyatakan bahwa itu hanya untuk Dumas dan tidak bisa dijadikan dasar untuk kasus di Polda.

“Sejak kapan proses penegakan hukum akses terhadap bukti itu dengan pinjam?” tanyanya heran, merujuk pada informasi bahwa ijazah Joko Widodo hanya dipinjam oleh Bareskrim dan dikembalikan, sehingga tidak bisa ditunjukkan saat gelar perkara khusus oleh Biro Wasidik.

Ahmad Khozinudin juga menyoroti kurangnya transparansi, kredibilitas, dan akuntabilitas dalam proses yang dilakukan Polda Metro Jaya, yang ia sebut sebagai “repetisi” dari proses yang dilakukan Bareskrim sebelumnya. Ia mengklaim pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam gelar perkara yang disebut-sebut telah dilakukan Polda.

“Ade Ari Syam itu menyatakan sudah gelar perkara tapi gelar perkara yang mana kami tidak pernah dilibatkan. Bukti-buktinya sudah lengkap. Bukti yang mana. Semuanya sudah ada saksi ahli. Ahli yang mana,” keluhnya.

Oleh karena itu, tim kuasa hukum akan mempertimbangkan untuk mengajukan upaya hukum yang sama, yakni permintaan gelar perkara khusus lagi. Ia juga menyoroti momen peningkatan status yang bertepatan dengan kepulangan Joko Widodo, seolah menjadi “kado.”

“Hukum harus tegak lurus. Yang lapor siapa pun, sekalipun itu yang melapor adalah mantan presiden Republik Indonesia,” tegasnya.

Khozinudin menyimpulkan bahwa masalah ini berlarut-larut bukan karena kliennya, melainkan karena Joko Widodo sampai hari ini tidak mau menunjukkan ijazah aslinya. Ia juga menyatakan bahwa pihaknya terus menemukan dokumen dan keterangan yang semakin menguatkan dugaan bahwa ijazah Joko Widodo bermasalah.***

Exit mobile version