Jakarta (parade.id)– Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna, menilai persoalan yang melanda proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) tidak hanya disebabkan oleh masalah teknis dan pendanaan, tetapi berakar dari pola kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang menekankan prinsip kecepatan dan kemudahan dalam pengambilan keputusan.
Menurut Nandang, pendekatan semacam itu mungkin efektif untuk proyek-proyek kecil yang membutuhkan eksekusi cepat, namun berbahaya jika diterapkan pada proyek infrastruktur besar dan kompleks. “Proyek sebesar ini semestinya dijalankan dengan perencanaan matang, kajian teknis dan finansial yang cermat, serta tata kelola yang kuat. Pendekatan yang terlalu cepat dan mudah justru menimbulkan kesan grasa-grusu dan menggampangkan,” ujar Nandang dalam keterangan tertulis, Jumat (1/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa kebijakan yang tampak terburu-buru tersebut kemungkinan didorong oleh keinginan Presiden Jokowi untuk menuntaskan sebanyak mungkin proyek strategis dan mercusuar sebelum masa jabatannya berakhir. “Ada indikasi kuat bahwa Presiden ingin meninggalkan warisan atau legacy besar di akhir masa pemerintahannya. Karena itu, banyak proyek dikebut tanpa perencanaan dan pengawasan yang memadai,” katanya.
Lebih lanjut, Nandang menilai bahwa pola kepemimpinan yang terlalu menonjolkan kecepatan menyebabkan kualitas perencanaan dan pengawasan menurun. Banyak keputusan strategis diambil secara top-down tanpa ruang yang cukup bagi kementerian teknis untuk memberikan masukan berbasis kajian. Ia mencontohkan, proyek Whoosh tetap dilanjutkan meski dua menteri teknis kala itu—Ignasius Jonan sebagai Menteri Perhubungan dan Andrinof Chaniago sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas—telah menolak proyek tersebut dengan alasan tidak layak secara finansial.
“Bahkan pandangan dari ahli kebijakan publik Agus Pambagyo, yang sejak awal mengingatkan bahwa proyek ini penuh risiko, juga tidak dijadikan bahan pertimbangan. Ini memperlihatkan bagaimana keputusan penting lebih didorong oleh keyakinan pribadi daripada hasil kajian teknokratik,” ujar Nandang.
Ia juga menyoroti ketidakjelasan skema bisnis proyek Whoosh yang sejak awal membingungkan. Menurutnya, proyek ini semula dirancang sebagai kerja sama antar-perusahaan atau business to business (B to B) antara konsorsium BUMN Indonesia dan mitra dari Tiongkok. Namun dalam perkembangannya, proyek tersebut justru berubah menjadi skema campuran yang oleh banyak pihak disebut sebagai B to B plus. “Desain awalnya murni B to B, artinya tidak ada jaminan keuangan dari pemerintah. Tapi karena proyek ini bermasalah dan berpotensi gagal, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang memberikan jaminan menggunakan dana APBN,” jelas Nandang.
Ia menilai langkah tersebut membuat proyek Whoosh tidak lagi murni B to B dan justru menimbulkan beban baru bagi negara. “Perubahan skema ini menunjukkan bahwa proyek sejak awal tidak siap secara komersial. Pemerintah masuk untuk menyelamatkan agar proyek selesai, tapi akibatnya justru menambah kerugian dan masalah yang lebih besar,” ujarnya.
Akibat keputusan yang diambil dengan terburu-buru, proyek Whoosh dijalankan tanpa studi kelayakan yang memadai dan menghadapi banyak kendala di lapangan. Permasalahan muncul sejak tahap awal, mulai dari pembebasan lahan yang lamban, revisi desain, hingga perubahan rute yang meningkatkan biaya pembangunan. Akibatnya, proyek mengalami keterlambatan hingga empat tahun atau sekitar 133 persen dari rencana semula, dengan pembengkakan biaya dari sekitar 6,05 miliar dolar AS menjadi 7,2 miliar dolar AS—setara hampir Rp 20 triliun.
“Fakta ini membuktikan bahwa proyek Whoosh sejak awal sudah diperkirakan akan merugi. Dengan cost overrun sekitar 20 persen, kerugian menjadi jauh lebih besar dari yang diperhitungkan,” ujar Nandang.
Ia menilai, permasalahan yang dialami PT KAI dalam proyek Whoosh bukanlah kasus tunggal. Pola serupa, kata dia, juga terjadi di banyak BUMN yang dibebani proyek-proyek mercusuar tanpa perhitungan bisnis yang realistis. “Masalah seperti ini tidak hanya terjadi di PT KAI. Banyak BUMN lain mendapat tekanan politik untuk menjalankan proyek besar tanpa kesiapan perencanaan dan kajian ekonomi yang matang,” katanya.
Nandang berharap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dapat menjadikan pengalaman ini sebagai momentum pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola BUMN. Ia menekankan pentingnya evaluasi total agar perusahaan negara tidak terus menanggung beban proyek warisan yang tidak sehat.
“Presiden Prabowo harus berani membenahi warisan masalah dari era sebelumnya. Sudah saatnya BUMN dibersihkan dari proyek-proyek yang tidak layak agar bisa kembali fokus pada efisiensi dan pelayanan publik. Jika hal ini dilakukan, BUMN Indonesia akan kembali sehat dan benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi nasional,” tegasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa ukuran keberhasilan seorang pemimpin bukan pada banyaknya proyek mercusuar yang diresmikan, melainkan pada kemampuan menciptakan sistem yang efisien, transparan, dan berkelanjutan. “Legacy terbaik seorang pemimpin bukanlah deretan bangunan megah atau panjang rel yang ditinggalkan, tetapi sistem pemerintahan yang sehat dan berpihak pada rakyat,” pungkasnya.*
