Site icon Parade.id

Kemendikbud dan Wajah Baru Pendidikan Indonesia: Pro/Kontra Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021

Makassar (PARADE.ID)- Gerakan Muda Peduli Nusantara Sulawesi Selatan (GMPN Sulsel) bersama Gerakan Pemuda Mahasiswa Makassar (GEPMAR) mengadakan diskusi secara virtual dengan tema “Kemendikbud dan Wajah Baru Pendidikan Indonesia: Pro/Kontra Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021” by virtual.

Acara dilaksanakan pada hari ini, Senin, 27 Desember 2021.

Adapun pemateri atau pembicara dalam acara diskus nanti yakni Anggota DPRD Kota Makassar, Rahmat Taqwa Quraisy, Dr. Rosnaini (Direktur Pasca Sarjana IBK Nitro), dan Ketua GMPN Sulsel Abdul Rizal S.

Ketua GMPN setempat, Rizal, mengatakan bahwa acara diskusi yang ia sebut sebagai webinar nasional diadakan karena belakangan ini masih marak tindak pidana pelecehan seksual di lembaga pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi.

“Sehingga kita semua menaruh harapan kepada Mendikbud untuk menangani atau melakukan upaya pencegahan,” katanya.

Menurut dia, apa yang dilakukan oleh Kemendikbud secara teori keputusan sangat kontekstual dan objektif untuk mendorong percepatan pengembangan pendidikan di Indonesia.

“Sangat disayangkan apabila kita mempermasalahkan keputusan dari Kemendikbud,” sesalnya.

Sebab menurut dia, pihak-pihak tersebut menganggu konsentrasi Kemendikbud untuk memperbaiki pendidikan dan kebudyaan di Indonesia seperti beberapa organisasi-organisai fundamental yang hanya melihat dari sudut pandangan subjektif.

Sementara itu, Anggota DPRD Kota Makassar, Rahmat Taqwa Quraisy mengatakan bahwa UU tersebut adalah bentuk dari perhatian pemerintah terhadap mahasiswa, karena proses pembuatan UU tersebut dari orang-orang yang sudah mengerti atas hal itu (UU) yang ada di Indonesia. Ia pun mengajak kita agar menyikapinya dengan baik.

“Jangan terlalu dini kita menilai sesuatu. Permen ini bentuk perhatian pemerintah pusat terhadap banyaknya aduan terkait kekerasan seksual,” kata dia.

Pembicara lainnya, yakni Dr. Rosnaini (Direktur Pasca Sarjana IBK Nitro) tampak silang pendapat. Ia mengatakan bahwa UU tersebut, misal di pasal 35 itu multitafsir.

“Ada ayat yang mengatakan tanpa persetujuan korban. Berarti kalau ada persetujuan korban itu sah-sah saja. Dan itu butuh perbaikan dalam redaksi bahasanya. Sebab pelecahan bukan hanya secara fisik, tapi juga secara verbal,” sampainya.

Dan pada prinsipnya, kata dia, langkah Kemendikbud yang kita yakini bersama itu jangan terlalu kaku dalam menyimpulkan keputusan itu, kendati hal demikian berdasarkan kajian dalam serta melibatkan banyak orang.

Sementara itu, Dewan Komando GEPMAR, Abdul Faisal, mengatakan bahwa webinar ini sangat penting, mengingat telah ditetapkannya Permendikbud No. 30 tahun 2021 dan sampai sekarang masih terjadk pro-kontra. Tapi ia menganggap hal itu wajar, karena yang namanya kebijakan tentu selalu menghadirkan pro-kontra.

“Namun kami berharap di webinar nanti persoalan pelecehan seksual di dunia pendidikan dalam membedah aturan tersebut bisa menuai solusi agar UU tersebut bisa dipahami oleh semua lapisan masyarakat terkhusus para pelajar dan mahasiswa,” terangnya.

Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 ini adalah peraturan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Lahirnya Permendikbud tersebut dikarenakan pada tahun 2020 melihat dari data yang dilaporkan terdapat 962 kasus tentang kekerasan seksual.

Dikutip dari Kompas.com, Kamis (11/11/2021), Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan. Dan ada poin-poin penting dalam Permen tersebut.

Berikut poin-poinnya yang dirangkum dari laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi:

Dalam pasal 4 Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021, misalnya disebutkan bahwa jika mahasiswa Perguruan Tinggi X mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh  mahasiswa Perguruan Tinggi Y, maka Satgas kedua kampus merujuk ke Permen PPKS untuk penangannnya.

Selain itu, Permendikbud Ristek No.

30 Tahun 2021 merinci bentuk tindakan dengan konsekuensi sanksi administratif, mengakui kemungkinan bentuk kekerasan seksual tersebut berkembang, dan mengatur langkah-langkah pencegahan guna mengurangi kerugian akibat kasus kekerasan seksual.

Merujuk pasal 5 Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021, yang termasuk tindak kekerasan seksual adalah verbal, nonfisik, fisik, dan melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menjelaskan, “Permendikbudristek PPKS ini juga berupaya menghilangkan area “abu-abu” yang ada selama ini. Apa yang dimaksud dengan area abu-abu? Area abu-abu adalah aktivitas-aktivitas yang dipahami secara tidak hitam dan putih, apakah itu merupakan kekerasan seksual atau bukan,” katanya.

(Verry/PARADE.ID)

Exit mobile version