Jakarta (PARADE.ID)- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyoroti praktik penyiksaan di dunia siber dalam setahun terakhir. Hasilnya, penyiksaan siber memberikan dampak yang sama dengan penyiksaan fisik.
“Bahkan dampaknya bisa sampai menimbulkan trauma berkepanjangan. Ada risiko bunuh diri,” kata Peneliti Kontras Rivanlee Anandar dalam konferensi pers daring hari ini, Kamis, 25 Juni 2020.
Pada tahun ini kasus penyiksaan siber yang menyita perhatian publik adalah peretasan yang berujung penangkapan Ravio Patra serta peretasan panitia diskusi Universitas Gadjah Mada (UGM).
KontraS, Rivan mengatakan, telah menghubungi Rivan dan para panitia acara UGM yang menjadi korban. Para korban mengaku merasa cemas, over-thinking, stres, serta khawatir kejadian serupa akan muncul di kemudian hari.
Rivan menjelaskan dalam penyiksaan siber, negara, aktor nonnegara, dan penjahat terorganisasi tidak hanya memiliki kapasitas untuk melakukan operasi siber yang menimbulkan penderitaan psikis dan mental seseorang.
Para pelaku mungkin juga melakukan penyiksaan siber demi tujuan penyiksaan.
Menurut dia, penyiksaan siber dapat membuat individu atau kelompok merasa cemas, stres, terisolasi dari lingkungan sosial, dan depresi berkepanjangan. Korban juga bisa kehilangan rasa aman untuk menyampaikan ekspresinya di ruang digital.
Adapun individu atau kelompok yang secara sistematis ditargetkan oleh cybersurveillance dan cyberharassment tadi umumnya tanpa alat perlindungan diri yang efektif.
“Negara lalai dan terkesan membiarkan peristiwa terus terjadi,” kata Rivan.
(Tempo/PARADE.ID)