Jakarta (PARADE.ID)- Adanya kritik di tengah-tengah kita di negara demokrasi harusnya diperlakukan biasa saja. Namanya juga perbedaan pendapat, pasti ada beda pendapat di masyarakat majemuk. Perbedaan pendapat itu sesuatu yang alamiah.
Pertama karena datanya beda. Sekarang ini informasi yang berkembang di media itu 90 persen tidak ada yang bisa dijadikan pegangan untuk mengambil sikap dan mengambil keputusan, karena kadang-kadang fakenews. Hoax. Kadang-kadang faktual tapi konteksnya beda. Konteks waktu, konteks tempat maka informasi data itu bisa membuat perbedaan pendapat.
Cara mengatasinya bagaimana? Ya, musyawarah. Bertemu, cocokan datanya. Insyaallah perbedaan pendapat selesai.
Kedua beda pendapat karena beda kepentingan. Ngaku saja bahwa semua orang punya kepentingan. Semua golongan juga ada kepentingan.
Tapi solusinya apa? Ya, ketemu. Cari kepentingan yang lebih besar, lebih tinggi, dan lebih luas. Insyaallah bertemu juga.
Ketiga itu yang paling sulit itu sudut pandang. Ada yang melihat dari atas, ada yang melihat dari bawah. Pasti perbedaan pendapat itu menghasilkan macam-macam: konflik, permusuhan, kebencian. Makanya saya suka menamakan kalau 30 tahun yang lalu para ahli menamakan “Ini akan datang era komunikasi dan informasi” tapi menurut saya kejadian sekarang terbalik era miskomunikasi dan era disinformasi.
Ini yang sedang terjadi sekarang. Jadi kalau ada kritik, ya, biasa saja mestinya. Jangan baper.
Kalau siapa menduduki jabatan yang tinggi, ya, di era sekarang ini harus siap juga menerima kritik dan perbedaan pendapat. Cuma lama-lama pemberi kritik harus ada ide.
Jangan ke pribadi tapi ke ide. Ini budaya kritik kita juga masih kampungan. Ya, sama dengan yang menerima kritik, baper.
Kritik dianggap kebencian?
Kuncinya sila keempat Pancasila. Musyawarah. Semangat musyawarah ini diharuskan saling mendengar. Saling gitu, loh. Ini kan gak mau saling mendengar.
Dan kedua di ruang publik ini kan sudah dipenuhi kebencian. Kemarahan. Jadi sekarang dua pola ini. Pemuja, pembenci. Pemuja irasional, pembenci irasional. Bukannya orang yang dipujanya itu hebat sekali, enggak. Bukan karena dia hebat. Cuma karena pemuja ini karena tidak suka dengan pembenci.
Pembenci juga begitu. Bukan karena yang dibenci itu jahat sekali. Enggak. Ini tidak rasional saja. Dia makin tidak rasional mengekspresikan kebencian karena tidak suka kepada pemuja. Ini berlaku semua orang.
Maka tokoh-tokoh yang dipuja, yang dibenci itu korban saja. Jadi kita harus sabar. Para pemimpin harus menenangkan. Merukunkan, membuat hubungan-hubungan dialog sehingga hubungan kebencian berubah menjadi cinta. Silaturahim.
Saya rasa, para tokoh, para pemimpin yang memegang jabatan harus memahami psikologi komunikasi. Bagaimana mereka turun untuk menenangkan, merukunkan. Bukan malah mendukung para buzzer.
Bingkai Kritik Bermartabat
Jadi, kita harus mendakwahkan cara pandang baru kepada semua, terutama kepada semua warga yang mengkritik, tahan diri. Jadi jangan mencuit sesuatu yang buruk-buruk, kecuali yang baik-baik. Atau diam, tidak perlu ngecuit.
Kalau ada orang yang mencuit itu tak perlu dijawab, itu misalnya. Ini penting dibudayakan. Dan juga para pejabat, tak perlu menanggapi. Caranya begini menurut saya.
Teknologi harus dihadapi dengan teknologi. Caranya Kominfo saja membuat platform, semua akun yang anonim yang kemudian menyebarkan kebencian, tutup saja. Tak perlu ditanggapi. Sudah begitu saja.
Jadi pergunakan teknologi saja. Nah, jadi Negara tidak perlu menanggapi dengan retorika. Diam saja. Sebab kalau ditanggapi dengan retorika, jadi masalah. Jadi, yang punya kuasa gunakan saja sistem teknologinya. Tutup, selesai urusan. Kira-kira begitu.
Kritik Kepala Negara
Budaya kriti itu bagi negara berdemokrasi lemah, belum bermutu begitu, campur aduk. Kritik pribadi dengan kritik kebijakan. Jadi masih begitu memang kita ini. Tapi mau diapain, karena kualitas perilaku kritik kita masih seperti itu. Tapi lama-lama ini akan berkembang sesuai dengan tingkat peradaban bangsa.
Tetapi kalau ini dilayani atau direspon dengan pendekatan hukum tentu gampang masuk penjara semua orang yang mengkritik itu. Kadang-kadang tidak jelas antara mengkritik pribadi dengan mengkritik kebijakan.
Kalau di MK dahulu sudah diputuskan pasal penghinaan kepada presiden itu kami hapus. Diubah, bukannya ditiadakan dalam arti boleh menghina presiden, menghina itu tidak boleh, dia cuma diubah bukan lagi delik biasa menjadi delik aduan. Maknanya kalau delik aduan itu tergantung oleh orang yang merasa terhina. Kalau dia merasa terhina, dia ngadu. Baru diproses di polisi.
Tapi kalau delik biasa, cukup laporan, cukup informasi, polisi langsung bertindak. Akibatnya para petugas menafsir sendiri bahwa presiden sudah terhina atau tidak. Nah itu kita ubah jadi delik aduan.
Itu sebabnya waktu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikritik pakai kerbau, ia bersama Ibu Ani mengadu ke Polda. Waktu bertemu, dengan saya, saya puji dia karena menjadi contoh ke depannya. Sebab pertama kali ada presiden mengadu. Kalau misalnya politisi bisa saja mengatakan “Saya gak apa-apa kok, saya tidak terhina”, tapi beliau datang mengadu. Sehingga itu memberi pembenaran putusan MK.
Di Negara-negara Eropa pasal-pasal begini masih ada. Sampai sekarang ini. KUHP kita ini dari Belanda. Dua abad lalu. Tapi di Belanda sudah berubah berkali-kali. Tapi kita masih belum. Walau di Eropa masih ada tapi sudah tidak pernah dipakai.
Kalau dahulu orang menginjak-injak foto orang, raja, atau ratu itu penghinaan luar biasa. Tapi sekarang ini kalau ada demo, foto raja diinjak-injak, biasa. Jadi rasa peradaban demokrasi itu kan tumbuh. Jadi kalau kita biarkan ada pasal penghinaan presiden, itu delik biasa. Polisi gampang sekali menafsir. Maka kita ubah.
Mudah-mudahan praktik penangkapan, praktik penegakkan hukum atas nama menjaga kehormatan lambang negara itu bisa diperbaiki. Apalagi di UU kita itu lambang negara bukan presiden. Itu pasal 36. Lambang negara itu Garuda Pancasila. Presiden itu presiden saja.
Makna Mirip Simbol Negara
Lambang itu bahasa Indonesia. Simbol itu bahasa Inggris. Masa mau percaya pada bahasa Inggris. Lebih tinggi daripada bahasa sendir? Sama maknanya itu.
Teori yang mengatakan kepada Kepala Negara itu simbol negara itu teori feodal. Sudah 2-3 abad yang lalu. Semua negara Eropa itu dalam sistem kerajaan, semua raja adalah simbol. Lambang negara semua. Sampai sekarang. Tapi yang saya bilang, sudah 2 abad tak lagi diterapkan.
Jadi presiden republik Indonesia itu, ya, Presiden. Negara kita ini negara hukum (rule of law, not of man). Perintah oleh aturan, bukan oleh orang. Sama dengan Islam.
Nabi Muhammad itu uswatun hasanah. Tapi imam, imamnya Alquran. Sistem aturan. Jadi atasan kita itu bukan orang. Atasan kita sistem aturan. Orang itu hanya rule model. Sepanjang dia itu menaati aturan, kita harus tunduk kepada dia. Jadi pemerintahan kita itu bukan oleh orang, tapi oleh sistem aturan.
Maka presiden, kepala negara, kepala pemerintahan yaitu rule model. Manajer. Ya, dia kepala negara, tapi bukan segala-galanya. Dia harus kita taati sebagai kepala negara karena dia taat pada aturan. Pada konstitusi. Pada UU.
Kalau dia tidak taat pada konstitusi, maka haram hukumnya warga negara itu tunduk kepada orang yang melanggar hukum.
Kritik Itu Sah-sah Saja
Kritik itu sah-sah saja. Tapi sebenarnya jangan selalu menyengaja mau mengkritik. Sampaikan ide saja. Sampaikan pesan-pesan. Penilaian kepada kebijakan.
Misalnya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah, ya, itu namanya orang yang mengkritik. Jadi tidak perlu meniatkan untuk mengkritik. Sampaikan saja yang benar.
Jadi bukan niat menjatuhkan. Apalagi mengkritik itu sampai ngorek-ngorek keluarganya. Itu bukan mengkritik namanya.
Kritisi Lewat Mural
Mural itu ekspresi seni. Di ruang publik. Di ruang umum. Susah juga warga lain dihalang-halangi untuk menghapusnya. Tapi kan ini jadinya ada nyoretin, ada yang menghapus, bisa berantem juga. Perlu ada pengaturan. Petugas diperlukan. Tapi harus juga pakai cara yang baik.
Soal pandemi ini menyangkut nasib semu kita. Sebaiknya, politik adu domba, politik permusuhan, dikurangi dulu. Fokus dulu mengenai Covid ini. Pasti juga Covid ini tidak sempurna juga.
Bagaimanapun manajemen pemerintah ini banyak kekurangannya. Kita pun kalau yang menempati posisi Pak Luhut, misalnya, pasti banyak juga kekurangannya.
Jadi ini memang masalah yang dihadapi semua negara. Ekonomi semua negara itu turun semua. Hanya kalau ditambah dengan permusahan lagi, makin kacau kita.
Keselamatan sebagai hukum tertinggi harus didahulukan. Tapi sementara itu kalau pemerintah juga tidak mau terim kritik, ya, repot juga. Mural di sana dihapus.
Bisa jadi makin banyak mural di mana-mana, karena politik ini sudah campur aduk. Ditambah masih tiga tahun lagi orang bicarakan Capres.
Saya rasa, pejabat, presiden harus merangkul. Saling merukunkan. Bukan malah memberikan pembenaran permusuhan.
Jadi, suara-suara dari istana kayak Ngabalin agak turunkan tensi. Tidak baik makin memperparah komunikasi publik. Belum lagi Moeldoko mau merebut partai orang. Ini kan orang jadi mengasosiasikan ke istana semua. Jadi tidak sehat.
Perlu ada rekonstruksi dari sistem komunikasi, karena salah satu fungsi kepemimpinan itu komunikator. Komunikasinya harus efektif. Selain fungsi keteladanan, sistem building dan kemudian komunikasi, karena pemimpin itu adalah guru.
Pemimpin itu digugu dan ditiru. Jadi tidak bisa tidak dia itu harus menjadi pemimpin yang baik. Sama, guru yang baik itu pemimpin yang baik juga. Jangan mengajarkan sesuatu karena hasil survei. Tidak bisa. Ajarkan yang baik itu dengan cara yang baik seperti pemimpin.
Maka Konghucu mengatakan, “Kalau kamu berpergian bertiga, satu angkat jadi guru.” Nabi Muhammad bersabda, mirip dengan itu. “Apabila kamu berpergian bertiga, angkat satu jadi pemimpin.” Sebab menurut saya itu pemimpin itu, ya, guru. Guru itu, ya, memimpin.
Jadi mulai dari Pak Jokowi, Pak Ma’ruf Amin, dan semua menteri bertindaklah sebagai guru untuk rakyatnya.
Peran Stabilkan Negeri
Peran ulama, intelektual, dan akademisi harus sama-sama secara kolektif memberi bimbingan intelektuil pada perjalanan bangsa ini, berpikir jauh ke depan. Jangan larut pada kepentingan jangka pendek.
Biasanya peran-peran politik jangka pendek ini kan oleh partai. Partai-partai ini sekarang paling menentukan sebenarnya.
Maka ulama, cendikiawan itu harus tidak boleh jauh dari orang-orang partai ini, karena mereka ini perlu diberi masukan. Perspektif jangka panjang. Bukan cuma 10 tahun, 20 tahun, tapi umat Islam itu harus dibawa ke arah cara pandang optimisme menuju masa depan.
Jadi semua data-data menunjukkan dunia Islam itu optimis. Cuma sementara sekarany ini kisruh. Kata Macron dunia Islam sedang krisis. Iya ada benarnya itu. Tapi dalam jangka panjang kita harus optimis. Tinggal bagaimana ilmu pengetahuan teknologi harus menjadi, dan juga iman takwa.
Makanya kalau di ICMI itu selalu kita gambarkan “ideologi”. Gerakan intelektuil itu iman dan takwa, ilmu pengetahuan dan tenknologi. Ini kan butuh jangka panjang.
Kedua, saya rasa, kalau orang politik ini, saking pragmatisnya, dia rebutan. Rebutan ngambil. Dan ulama, kaum intelektuil, kalau bisa sebaliknya: memberi. Semangatnya itu merangkul.
Jadi MUI, ICMI, dan semua ormas kalau bisa saling berangkulan. Mulailah dari MUI yang mempersatukan. Merangkul. Jangan sampai dipecah belah oleh kepentingan kelompok masing-masing.
Kelompok organisasi ini kan hanya alat dakwah, bukan tujuan. NU, Muhammadiyah, itu bukak tujuan. Pasti beda. Masak harus sama? Ada pembagian tugas. Nah, MUI, merangkulnya dan mengintegrasikan semuanya. Kira-kira begitu niat kita mendirikan MUI di tahun 1975. Saya ikut sebagai tukang ketik. Jadi saya ikut panitia-panitia begitu.
Agar Kritik Dinamis
Jadi kita harus budayakan “Jangan lihat orangnya tapi apa yang dikatakannya”. Substansinya. Baik yang mengkritik maupun yang menerima kritik juga begitu.
Jangan mentang-mentang yang mengkritik itu si A, kemudian mengatakan, “Ah selalu pasti tidak benar. Diabaikan materi kritiknya. Jangan lihat orangnya tapi lihat substansi yang dikatakannya. Ini baik untuk kedua-duanya.
Bagaimanapun, siapa saja yang menduduki jabatan kepemimpinan ini harus menjadi tanggung jawabnya lebih besar untuk mencontohkan. Menjadikan dirinya sebagai contoh teladan dalam mendidik bangsa ini.
Dengan apa? Dengan membuka diri. Saling mendengar. Bermusyawarah. Musyawarah kan harus dimulai dari atas, bukan dari bawah. Dan itulah Pancasila kita.
Jadi perintah agama juga musyawarah. Rasulallah tidak pernah membuat keputusan apa pun kecuali dalam urusan wahyu, tidak ada keputusan yang dibuat dalam kehidupan bersama kecuali dengan bermusyawarah. Itulah teknik kepemimpinan Rasulallah yang patut kita contoh sekarang. Dan itu sudah kita muat dalam prinsip sila keempat Pancasila. Mari kita implementasikan.
Pentingnya Musyawarah
Musyawarah ini penting sekali dan jangan, yang kadang-kadang lebih mengutamakan pendekatan hukum. Pendekatan hukum pendekatan keras. Sedikit-sedikit penegakan hukum.
Kalau penegakan hukum pidana itu mestinya usaha terakhir. Jangan sekarang ini sedikit-sedikit orang melapor. Mengadu. Mengekspresikak kemarahan. Kebencian, lapor. Ngadu ke polisi.
Polisi jadi kebanyakan urusan. Sehingga dia harus memilih-milih. Nah, ketika dia pilih, banyak faktor. Maka dirasakan, ini tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Lagipula untuk diketahui untuk semua, pendekatan penegakan hukum itu ujungnya itu penjara. Sekarang ini penjara kita sudah penuh. 208 persen. Over kapasitas seluruh Indonesia. Malah di kota besar 300 persen. Jadi kamar tidurnya 1.000, isinya 3.000. Surabaya, Jakarta, Tangerang, Medan, itu 300 persen. Tapi secara nasional 208 persen.
Kalau kita teruskan ini, mudah mencari orang salah itu, carikan pasalnya. Gampang sekali. Carilah orang jahat, bukan orang salah. Menegakkan keadilan itu, menghukum orang jahat, bukan orang salah. Kalau mencari orang salah, mudah. Mudah cari pasalnya.
Kalau sudah masuk penjara, apa yang terjadi? Apa efektif? Yang tobat masuk penjara itu cuma 30 persen. 30 persen kedua setelah masuk penjara, dendam. Tidak terima dia. 40 persen makin gawat lagi, makin jadi.
Tadinya copet, begitu keluar menjadi perampok. Tadinya pengguja narkoba, keluar jadi bandar. Berarti pendekatan hukum pidana dan pemenjaraan itu bukan solusi. Itu cuma sepertiga.
Maka janganlah buru-buru semuanya didekati dengan hukum, hukum, hukum. Itu tindakan kekerasan negara pada rakyatnya sendiri.
Saling berangkulan, musyawarah, mendidik bangsa ini, sabar, jangan baper, itu jauh lebih mulia dan menjamin masa depan lebih baik. Insyaallah.
*Prof Jimly Asshhiddiqie
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat bincang dengan Ketua MUI, kiai Cholil Nafis di kanal YouTube TV MUI