Site icon Parade.id

Kritik Mantan Wakapolri: RKUHAP Belum Saatnya Dibongkar Habis-habisan

Foto: Komjen Pol (Purnawirawan) Oegroseno dalam Diskusi Publik dengan tema: “Membedah Pasal Krusial di RKUHAP”, Sabtu (2/8/2025), di Waroeng Aceh Garuda, Tebet Barat, Jakarta Selatan

Jakarta (parade.id)- Komjen Pol (Purnawirawan) Oegroseno, mantan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, memberikan kritik tajam terhadap rencana revisi total Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 yang telah berusia 44 tahun ini belum perlu dibongkar habis-habisan.

“Bagi saya belum saatnya harus diubah, diganti total tidak perlu. Nanti pasti ada yang tumpang tindih lagi,” tegas Oegroseno dalam Diskusi Publik dengan tema: “Membedah Pasal Krusial di RKUHAP”, Sabtu (2/8/2025), di Waroeng Aceh Garuda, Tebet Barat, Jakarta Selatan.

Salah satu sorotan utama Oegroseno adalah penggunaan istilah “penyidik tertentu” dalam rancangan perubahan KUHAP yang dinilainya sangat membingungkan.

“Penyidik tertentu itu apa? Tertentu orangnya, tertentu lembaganya, tertentu kasusnya? Ini ngambang,” kritiknya.

Mantan pejabat tinggi Polri ini mengusulkan penggantian istilah tersebut menjadi “penyidik tindak pidana umum” dan “penyidik tindak pidana khusus” untuk memberikan kejelasan juridis.

Kritik serupa juga diarahkan pada status penyidik KPK yang menurutnya tidak jelas. “KPK sekarang jadi ASN, berarti dia PPNS. Tapi korupsi masuk undang-undang apa? Masa korupsi masuk undang-undang khusus atau tertentu? Nggak bisa,” jelasnya.

Oegroseno juga menyoroti praktik undangan klarifikasi yang dinilainya membuat penyidik menjadi “malas” dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat dalam KUHAP.

“Daripada saya jalan-jalan, keluar keringat dan sebagainya, keluar uang, sebaiknya saya undang klarifikasi. Buat apa seorang yang diduga pelaku diundang sebagai klarifikasi? Manfaatnya nggak ada,” tegasnya.

Menurutnya, dalam Pasal 184 KUHAP, yang dimaksud keterangan adalah keterangan terdakwa, bukan keterangan calon tersangka atau tersangka.

Perhatian khusus juga diberikan Oegroseno pada masalah ganti rugi bagi korban kesalahan proses hukum. Saat ini, ganti rugi yang diberikan hanya sekitar 100 juta rupiah, yang dinilainya sangat tidak memadai.

“Ganti rugi yang sebenarnya, negara yang harus mengganti rugi. Itu harus diberikan uang kompensasi tiap bulan misalnya 30 juta, seperti gaji,” usulnya.

Sistem kompensasi bulanan ini, menurutnya, akan membuat aparat penegak hukum berpikir keras sebelum melakukan penahanan sembarangan. “Sehingga negara akan berpikir keras, jangan sampai penegak hukum melakukan penahanan yang salah,” tambahnya.

Oegroseno juga menyinggung beberapa kasus kontroversial seperti kasus Vina Cirebon dan menyebut nama-nama seperti Tom Lembong dan Hasto sebagai contoh korban yang seharusnya mendapat kompensasi layak jika terbukti tidak bersalah.

“Begitu dapat abolisi atau amnesti, harusnya dapat penghasilan sesuai dengan penghasilan terakhir tiap bulan yang negara bayar,” jelasnya.

Mantan Wakapolri ini juga mengkritik ketidakjelasan status kelembagaan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang berpindah-pindah kementerian.

“Kemarin rutan ada yang di bawah Kemenkumham, sekarang di bawah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Jadi tambah bingung lagi,” katanya.

Oegroseno mengusulkan agar Rutan, Lapas, dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) dijadikan satu lembaga negara tersendiri di setiap provinsi.

Kritik lain diarahkan pada penggunaan istilah “penyidik pembantu” yang dinilainya tidak logis. “KUHAP ini barang yang sangat hebat dalam mengatur hukum acara di Indonesia. Tapi kenapa dilaksanakan oleh pembantu? Kenapa nggak tuan rumah?” tanyanya retoris.

Menurutnya, penyidik seharusnya adalah perwira Polri berpangkat tinggi dengan ilmu yang memadai, bukan brigadir yang baru lulus beberapa tahun.

Untuk menciptakan transparansi dan kepastian hukum, Oegroseno mengusulkan agar semua laporan polisi masuk dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP).

“Jadi presiden pun, siapa pun bisa melihat dari SIPP itu. Sehingga tidak ada lagi SP2 Lidik,” jelasnya, sambil menyinggung potensi kolusi antara penyidik dan hakim yang sering “main golf” bersama.

Dalam penutupnya, Oegroseno menegaskan bahwa KUHAP 1981 adalah “karya agung” yang tidak perlu diburu-buru untuk dibongkar total.

“Cukup diadakan perubahan pasal berapa, pasal berapa, dilengkapi silakan. Jangan sampai ini karya agung tahun 1981 menjadi karya agung tahun 2025, tapi kalau karya agung yang dibuat asal-asalan, ya bukan karya agung lagi menurut saya,” pungkasnya.

Kritik mendalam dari mantan pejabat tinggi Polri ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan DPR dalam merevisi KUHAP, mengingat pengalaman dan keahliannya di bidang penegakan hukum selama puluhan tahun.

Pemaparan lengkap Komjen Pol (Purn) Oegroseno ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam merevisi instrumen hukum fundamental seperti KUHAP, serta perlunya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi aturan yang sudah ada sebelum melakukan perubahan besar-besaran.*

Exit mobile version