Jakarta (parade.id)- Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mendesak kepada DPR RI dan pemerintah Indonesia agar Rancangan Undang Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) melibatkan partisipan publik dan tidak tumpang tindih dengan Undang-Undang (UU) lain, khususnya UU Ketenagakerjaan. Demikian yang disampaikan Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban Elly, Rabu (8/3/2023), saat konferensi pers memperingati hari perempuan sedunia atau International Women’s Day (IWD), di Kantor KSBSI, Cipinang Muara, Jakarta.
“RUU KIA ini dianggap melegitimasi peran domestik berbasis gender terhadap perempuan. DPR RI dan pemerintah sebagai regulator harus melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan RUU KIA ini, sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat,” kata Elly.
Ia menekankan, RUU KIA juga harus fokus mengatur tentang kesejahteraan ibu dan anak saja. Tentang ketentuan yang mengatur ‘Ibu Bekerja’ sebagaimana isi RUU KIA, hal tersebut idealnya menurut dia diatur spesifik di dalam UU Ketenagakerjaan atau pemerintah dapat meratifikasi konvensi ILO 183 tentang perlindungan maternitas.
KSBSI menganalisis bahwa RUU KIA yang digadang-gadang mampu menurunkan angka stunting di Indonesia ini. Namun demikian, setelah membaca dan mengkaji ulang RUU ini tidak mengatur secara jelas dan tegas.
“Seperti pada Bab Ketentuan Umum, di mana tidak mengatur secara detail tentang difinisi bagi pasal-pasal RUU KIA. Kemudian RUU KIA ini juga dianggap tumpang tindih serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,” terangnya.
Dalam pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, misalnya, telah diatur cuti melahirkan selama 3 bulan. Sedangkan dalam pasal 4 ayat 2, RUU KIA mengatur cuti melahirkan selama 6 bulan.
“Perlu diingat regulasi UU Cipta Kerja telah menciptakan hubungan kerja kontrak yang setiap waktu, setiap bulan atau setiap tiga bulan pengusaha dapat menyatakan kontrak/PKWT berakhir. Karenanya setiap kali perempuan pekerja hamil, pengusaha dapat melakukan PHK,” kata dia mengingatkan.
“Regulasi ini dianggap hanya akan mengurangi kesempatan kerja berkelanjutan bagi perempuan. Pertanyaan kritisnya, apakah narasi besar memberi perlindungan kepada perempuan pekerja melalui pemberian cuti melahirkan 6 bulan hanya sebatas propaganda politik menjelang Pemilu 2024?” sambungnya.
Lebih lanjut Elly, menyatakan bahwa UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) telah mengatur mekanisme dalam Lembaga penyelesaian perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha melalui bipartite, mediasi dan pengadilan hubungan industrial sampai kasasi ke Mahkamah Agung.
“Sementara, pasal 5 ayat 3 RUU ini mengatur bahwa apabila ibu bekerja tidak mendampatkan haknya maka mekanisme penyelesainya dilakukan oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah,” kata dia.
Demikian juga kata dia terkait pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai pasal 8, RUU ini. Hal tersebut akan berbenturan dengan yang dilakukan oleh pengawas di bidang ketenagakerjaan yang berada di Kementrian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja provinsi.
Hadir dalam Konferensi Pers IWD, di antaranya Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban, Sekretaris Jenderal KSBSI Dedi Hardianto, Ketua Umum dan Sekjen 10 Federasi Afiliasi KSBSI, Perwakilan Departemen dan Komisi KSBSI. Demikian siaran pers KSBSI.
(Rob/parade.id)