Jakarta (PARADE.ID)- Kuasa hukum dari enam korban laskar FPI memberi peringatan ke Ketua Komnas HAM terkait hasil investigasi, yang kemudian diserahkan ke Presiden. Ketua Komnas HAM dilihat kuasa hukum sudah berubah fungsi menjadi juru bicara dan bagian dari Humas para pelaku Pelanggaran HAM yang masih berkeliaran bebas, dan sewaktu waktu dapat mengulangi perbuatan Extra Judicial Killing maupun Torture terhadap penduduk sipil.
Padahal Mandat Komnas HAM, baik secara kelembagaan maupun secara kompetensi personal komisioner Komnas HAM seharusnya adalah menghentikan berbagai bentuk Impunitas Circle dan lingkaran kekerasan yang terus menerus terjadi terhadap penduduk sipil.
“Berbagai peristiwa kekerasan fisik, kekerasan verbal dan kekerasan struktural yang terus menerus dilakukan oleh rezim penguasa sudah menjadi pola dalam penyelenggaraan negara dengan cover menegakkan sosial order,” demikian keterangan M Hariadi Nasution, ke awak media, Jumat (15/1/2021).
Hariadi menilai hal tersebut justru sebuah tragedi sejarah dan merupakan sinyal kehancuran peradaban, bila mandat Komnas HAM tersebut dijalankan oleh komisioner yang tidak berkompeten dan mengkhianati mandat yang diamanahkan ke pundaknya.
“Secara substansial dengan mata telanjang, unsur PELANGGARAN HAM BERAT, dari peristiwa pembunuhan 6 orang penduduk sipil yang terjadi pada tgl 7 Desember 2020 yang lalu, sangat mudah ditemukan bila Komnas HAM dan Komisionernya istikamah pada amanah yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di yaumil hisab.”
Unsur Sistematis atau Meluas dari peristiwa pembunuhan penduduk sipil tanggal 7 Desember 2020 mestinya dapat ditelusuri dari, pertama Operasi Black Propaganda dengan Target Habib Rizieq dan FPI.
Kedua, Operasi penggalangan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat untuk menolak
keberadaan FPI dan Hb Rizieq. Ketiga, Operasi pemasangan berbagai spanduk untuk menolak FPI dan Hb Rizieq.
Keempat,Operasi kriminalisasi terhadap HB Rizieq dan tokoh tokoh oposisi kritis. Kelima, Operasi Survaillance terhadap Hb Rizieq dan beberapa tokoh oposisi kritis, yang
berujung kepada pembunuhan terhadap 6 orang pengawal Hb Rizieq.
Keeanam, bahkan menurut dia Komnas HAM sendiri menyatakan dalam laporannya ada pihak lain yang bukan dari aparat Kepolisian yang melakukan operasi survaillance. Ketujuh, Operasi pembekuan rekening milik FPI dan para pengurusnya.
Kedelapan, Operasi pelarangan kegiatan FPI melalui SKB 6 institusi Pemerintah. Sembila, Adanya pimpinan yang bertindak sebagai komandan operasi yang menggunakan
kendaraan land cruiser hitam, yang mengarahkan operasi pada dini hari tgl. 7 Des 2020, yang berujung pada hilangnya nyawa 6 orang penduduk sipil.
Sepuluh, Adanya konferensi pers dari pihak yang mengakui sebagai pembunuh 6 orang penduduk sipil sebagai sarana untuk mengalihkan issue ini menjadi issue pemberantasan kriminalitas; Penghilangan rekaman CCTV untuk menghilangkan jejak; Menghilangkan bukti bukti pembunuhan seperti penghapusan noda darah pada lokasi TKP;
Memaksa warga untuk menghapus seluruh rekaman peristiwa dari HP masing
masing warga; dan terakhir memaksa penghapusan konten materi terkait FPI diseluruh media sosial dan media mainstream.
“Keseluruhan hal tersebut di atas harusnya menjadi pintu masuk untuk investigasi lebih mendalam upaya untuk memutus mata rantai impunitas yang hingga hari ini masih terus berlangsung sebagai sistem penyelenggaraan negara.”
Ia mengaku akan terus memperjuangkan keadilan dan memutus mata rantai impunitas dalam skala yang sangat mengerikan di negeri ini.
Bahkan, kata dia, ka sudah memberikan informasi pelanggaran HAM berat tersebut ke dalam level Internasional, karena terbukti sistem hukum Indonesia telah unwilling dan sekaligus unable untuk memutus mata rantai Pelanggaran HAM Berat yang para pelakunya hingga detik ini masih terus berkeliaran mengancam nyawa penduduk sipil di Indonesia.
(Rgs/PARADE.ID)