Site icon Parade.id

Masker

Jakarta (PARADE.ID)- Saya terus-terang saja, tidak suka pakai masker. Itu bikin repot, toh saya juga sehat2 saja. Ngapain pakai masker? Dulu, sy bahkan posting tulisan di page ini tentang: yg sakit sajalah pakai masker. Jangan yang sehat disuruh juga. Kalian bisa keduk tulisan2 itu, sebagai buktinya.

Masalahnya, dengan situasi terkini, orang2 mulai pakai masker, dan kita disuruh untuk pakai masker. Kenapa disuruh? Ada argumennya: boleh jadi, tanpa kita sadari, kita itu membawa virus (tanpa gejala). Bukan cuma corona, mungkin virus lain, termasuk virus bokek, virus bebal, eh, maaf jadi ngelantur. Kan kasihan, gara2 kita orang lain tertular.

Wah, setelah dipikir2, masuk akal juga alasannya ini. Maka baiklah, saya mengalah pakai masker. Meskipun saya tetap ngomel dalam hati, kesal, marah, tapi minimal sy menghormati kelompok yang pakai masker dan menyuruh pakai. Itu namanya toleransi, toleran terhadap pendapat orang lain.

Lagian tenang saja, pakai masker itu tidak harus 24 jam. Di rumah, tidak perlu pakai. Lagi tidur, tidak perlu pakai. Sendirian, di lapangan luas, atau tempat terbuka, juga tidak mendesak pakai. Kapan sih masker itu penting? Saat di tempat publik, tertutup, dan bertemu dengan orang lain, dengan jarak kurang dari dua meter. Di luar itu, tidak harus pakai masker.

Tetap boleh kerja? Boleh. Silahkan berangkat. Tapi pakai masker, sering cuci tangan, social distancing. Tetap buka toko, dll? Boleh. Tapi patuhi protokol kesehatan. Ini sudah boleh semua loh? Cari uang boleh, ke rumah ibadah boleh, dll boleh sepanjang patuhi protokol kesehatan. Paling hanya sekolah saja yang masih dari rumah. Kok belum boleh sekolah? Lagi2 ada alasannya, kasihan anak2 kita. Rentan sakit. Nggak ada pandemi saja anak2 kita sering ingusan, srot-srot, dsbgnya. Masuk akal juga. Tapi kok kuliah belum boleh? Mereka kan bukan anak2. Kasihaaan, mahasiswa2 ini jomblo2, nanti sakit siapa yang bakal ngirim pesan ‘cepet sembuh beb’. Lagian, kasihan, mahasiswa2 ini sebenarnya juga suka libur panjang. Eh, bergurau saja.

Saya benci loh pakai masker itu. Lagi lari pagi, misalnya, aduh, pakai masker itu bikin larinya nggak asyik. Tapi baiklah, mengalah, saat saya harus melintasi gang2, trotoar atau tempat2 ramai penduduk, maka wajib pasang masker. Tapi kalau di rute lari yang sepi, jarak orang lain lebih dari dua meter, tidak mendesak pakai masker.

Kedewasan kita dalam situasi pandemi begini sangat penting. Mengalah. Bukan sebaliknya, menantang, bandel, dan show off kekuatan. Apalagi urusan masker ini, aduh, itu tuh sederhana sekali. Bisa pakai masker kain, bisa dicuci, dipakai lagi. Murah, harganya cuma 5.000-an. Cuma disuruh pakai masker, kita tidak diminta memindahkan gunung. Kalaupun memang corona ini hoax, konspirasi, lebay, percayalah: pakai masker itu tetap ada manfaatnya. Minimal ‘memaksa’ kita untuk menjaga kebersihan dan kesehatan.

Saya benci pakai masker. Bahkan sebelum pandemi corona ini tiba di Indonesia, sebelum ada penderita corona di negeri ini, sy sudah menuliskannya. Tapi benci bukan berarti harus mengotot memaksakan pendapat kita ke orang lain.

Bukan berarti sy bijak, bukaaan. Melainkan sy merujuk sebuah cerita. Di agama saya, ada cerita menarik. Saat seorang imam, sukarela qunut (padahal dia berpendapat qunut itu tidak harus). Imam ini sukarela dan dengan senang hati melakukannya, demi menghormati pendapat setempat yang sebaliknya. Sy hanya meneladani cerita itu.

*Novelis, Tere Liye

Exit mobile version