Site icon Parade.id

Melawan Demokrasi Kaum Penjahat

Dok: FB Asrudin Azwar

Jakarta (PARADE.ID)- Di tengah kesulitan masyarakat akibat Pandemi Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Senin (5/10), malah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang kontroversial itu menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pengesahan RUU Ciptaker ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.

Meski RUU itu diketahui akan membawa dampak buruk bagi buruh, namun Ketua DPR Puan Maharani berkelit bahwa RUU Ciptaker baginya dapat membangun ekosistem berusaha di Indonesia yang lebih baik dan mempercepat kemajuan Indonesia. Padahal kemajuan yang dimaksud itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha saja. Itulah sebab, buruh menolak keras pengesahan RUU tersebut.

Logika penolakan buruh itu sesungguhnya telah mendapatkan alasan rasional-nya ketika Amnesty Internasional (Agustus 2020) meminta Pemerintah dan DPR mengkaji ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah dalam RUU Ciptaker. Amnesty menilai RUU Ciptaker, baik proses legislatif maupun substansi-nya, berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi HAM, terutama menyangkut hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.

Sebelumnya Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery (29 Juli 2020) juga menyoroti tiga poin RUU Ciptaker yang bermasalah, yakni klausul mengenai ketenagakerjaan, perizinan, dan lingkungan. Sayang, penolakan buruh dan peringatan yang diberikan oleh Bank Dunia dan Amnesty ini tidak diindahkan oleh DPR RI.

Watak Anti Demokratik

Jika dihubungkan dengan politik, maka RUU Ciptaker yang disahkan oleh DPR ini memiliki apa yang disebut oleh John Dewey (filosof asal Amerika) sebagai watak anti-demokratik.

John Dewey yang merupakan salah seorang pewaris tradisi liberal klasik pencerahan memahami betul bahwa politik merupakan bayang-bayang yang diciptakan oleh perusahaan besar ke hadapan masyarakat, dan oleh karena itu, melemahnya bayang-bayang itu sama sekali tak akan mengubah substansi realitas politik. Ini berarti reformasi-reformasi terbatas manfaatnya. Demokrasi mensyaratkan bahwa sumber bayang-bayang itu harus disingkirkan bukan saja karena dominasinya atas arena politik, namun juga karena institusi-institusi kekuasaan swasta meruntuhkan demokrasi itu sendiri (Noam Chomsky, 1994).

Dewey, sebagaimana dikutip Chomsky dalam esainya Democracy and Education yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Loyola University, Chicago pada 1994 silam itu, menyinggung watak antidemokratik dari kekuasaan swasta tersebut. Mengutip kata-katanya, Chomsky menegaskan, “kekuasaan terletak dalam kontrol atas alat-alat produksi, perdagangan, media massa (cetak dan sekarang ditambah online), transportasi, komunikasi, dan perangkat-perangkat demokratik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Siapapun yang memiliki kesemua itu akan menguasai kehidupan negeri, bahkan meski bentuk-bentuk demokrasi dari negara tersebut masih tetap ada.

Bisnis demi profit pribadi dengan cara kontrol privat atas perbankan, tanah, dan pabrik-pabrik semakin diperkuat dengan penguasaan atas pers, agen-agen media, alat-alat propaganda, dan perangkat-perangkat demokratik. Ini semua telah menjadi sistem dari kekuasaan yang sesungguhnya, sumber dari koersi dan kontrol, dan sepanjang semua itu tak bisa dibongkar, Chomsky meneruskan, kita tidak akan dapat menegakkan demokrasi secara serius.

Padahal dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, para buruh haruslah menjadi tuan bagi produksinya sendiri, dan bukan sebagai alat yang disewa oleh para majikan. Karena itu, Dewey menyarankan, industri harus berubah dari suatu tatanan sosial yang feodalistik menjadi suatu tatanan sosial yang demokratik yang didasarkan pada kontrol oleh kelas pekerja dan serikat yang merdeka (free association).

Apa yang dikatakan Dewey tersebut menjadi sangat relevan untuk dijadikan perangkat teoretik dalam melakukan penilaian terhadap UU Ciptaker yang memiliki watak anti-demokratik itu. UU ini dengan sangat terang benderang menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap buruh. Ini bisa kita lihat dari sejumlah pasal bermasalah dan kontroversial tentang Ketenagakerjaan UU Ciptaker.

Dalam soal kontrak tanpa batas (Pasal 59), misalnya, UU Ciptaker menghapus aturan mengenai jangka waktu pekerja kontrak; Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan juga dihapus lewat UU ini (Pasal 91); Hak pekerja untuk mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, juga dipangkas (Pasal 79); Kemudian UU ini pun menghapus hak pekerja untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan (Pasal 169); dan banyak pasal-pasal bermasalah lainnya.

Apabila pasal-pasal itu dikaitkan dengan penelusuran yang dilakukan oleh lembaga pemerhati isu sumber daya alam Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo, maka akan diketahui watak anti-demokratik DPR. Dalam hasil penelusuran tersebut ditemukan bahwa 262 orang atau 45,5 persen dari 575 anggota DPR itu terafiliasi dengan perusahaan swasta. Nama mereka tercatat pada 1.016 perseroan yang bergerak di berbagai sektor, seperti penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif. Dan 262 legislator itu paling banyak berasal dari tiga partai besar, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar. Jadi logis jika para anggota DPR itu memiliki alasan dan kepentingan yang sangat besar ketika mensahkan RUU kontroversial tersebut.

Protes Masyarakat

Menindaklanjuti itu, menjadi wajar bila buruh merasa kecewa dan marah dengan watak anti-demokratik DPR. Mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat lainnya juga merespons sinis watak DPR yang demikian. Sehubungan dengan itu, Noam Chomsky dalam esainya tersebut punya sebuah cerita mengenai pernyataan seseorang yang pernah merasa kecewa dengan kongres Amerika Serikat. Perkataan seseorang itu, hemat saya, sangat sesuai jika ditujukan untuk DPR RI, “Yeah, Congress is rotten, but that’s because Congress is big business, so of course it’s rotten”.

DPR saat ini memang tengah membusuk, karena DPR sendiri merupakan suatu bisnis yang besar. Jika pembusukan DPR ini dibiarkan, saya khawatir ramalan Olle Tornquist (1999) – seorang pemerhati perkembangan politik di Indonesia – tentang datangnya hantu “demokrasi kaum penjahat” menjadi ada benarnya. Dalam bentuk seperti itu, demokrasi hanya akan terjadi secara formal (William Liddle, 2001), tetapi tidak diiringi pembentukan kebijakan yang demokratik dan sesuai kehendak umum. Dan hantu itu kini bersemayam di gedung parlemen yang mirip kura-kura itu.

Karena itu, protes buruh, mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat lainnya melalui demonstrasi merupakan pilihan paling strategis dalam melawan demokrasi kaum penjahat. Seluruh elemen masyarakat ini mesti menolak opsi alternatif untuk menempuh jalur judicial review (JR) dan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).

*Peneliti The Asrudian Center, Asrudin Azwar

Exit mobile version