Site icon Parade.id

Meminimalisir Gerakan Penyebaran Radikalisme Lingkup Dunia Pendidikan

Jakarta (PARADE.ID)- Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Korcab PMII) Sulawesi Tenggara belum lama ini mengadakan kegiatan diskusi secara virtual. Adapun judul yang dibawa dalam kegiatan diskusi tersebut ialah “Meminimalisir Gerakan Penyebaran Radikalisme Lingkup Dunia Pendidikan”. Diikuti lebih dari 120-an orang peserta.

Kegiatan itu menghadirkan dua pembicara, yaitu Abdul Djalil (Akademis Universitas Halu Oleo/UHO) dan Falihin Barakati (Penulis Buku). Dipandu atau dimoderatori oleh Muhammad Rifki Syaiful Rasyid.

Dalam diskusi, Akademis Universitas Halu Oleo (UHO) Abdul Djalil mengatakan bahwa kita memang tidak dapat memungkiri kalau memang pemahaman radikalisme sampai saat ini masih ada, walaupun beberapa organisasi mereka saat ini sudah ada yang telah dibubarkan atau ada juga yang hanya dibekukan.

Secara pemahaman, kata dia, kita pasti akan begitu kesulitan untuk menghilangkan pemahaman tersebut, apalagi bila pemahaman radikalisme ini sudah begitu masuk ke pemikiran mahasiswa. Hal yang perlu kita lakukan saat ini kata dia adalah bagaimana mencegah pemahaman radikalisme ini tidak lagi berkembang.

“Seperti contoh kampus Universitas Halu Oleo dulu ini kan banyak paham-paham radikalisme yang menyebar. Bahkan semua bidikmisinya hampir loh terpapar radikalisme, beruntung sahabat-sahabat dari NU mengambil alih,” ungkapnya.

Pemahaman radikalisme ini bukan saja disebarkan oleh pemuka agana mereka, melainkan juga mahasiswa baru. Kalau ia perhatikan sudah ada beberapa juga ikut menyebarkan pemahaman (radikal) ini. Ada yang menyebarkan ke tempat-tempat ibadah berupa, selebaran dll.

Mereka, kata dia, juga terstruktur caranya dalam menyebarkan pemahaman itu.

“Seperti contoh, ada beberapa mahasiswa sekarang lebih banyak menceramahi, bilang ini bukan ajaran agama, bukan bagian dari agama Islam, sampai mengkafirkan lagi,” akunya.

“Inilah yang menjadi tugas sahabat-sahabat PMII untuk melakukan upaya-upaya dalam mencegah pemahaman tersebut agar tidak berkembang dengan sangat luas. Ini bahaya bila banyak mahasiswa sudah memiliki pemahaman ini, bisa-bisa ada yang jadi teroris,” ia mengkhawatirkannya.

Radikalisme ini kalau secara bahasa memang baik, kata dia, akan tetapi, kia harus tahu dimana posisinya, jangan sembarang ditempatkan. Secara bahasa adalah paham yang mengajak kita untuk berpikir kritis.

Kalau misalkan ini disalahtempatan maka akan menjadi salah dalam pengaplikasiannya. Ini paham sangat massif, karena dari mereka melakukan ceramah-ceramah dari tempat ibadah, social media, dan beberapa tempat lainnya.

“Makanya ini tugas PMII sebagai organisasi yang kokoh dalam mempertahankan dasar Negara pancasila,” kata dia.

“Kita ini Pancasila, jadi apabila ada mahasiswa saya yang menolak Pancasila, maka saya tidak akan terlalu banyak memberikan respon. Loh iya, karena ini bertentangan dengan pemahaman saya,” katanya lagi.

Bahkan kata dia, di kampus ini banyak juga ada beberapa dosen yang tidak mau lagi hormat kepada bendera merah putih kalau lagi upacara.

“Saya sebenarnya heran itu, tapi saya biarkan saja. Ndak suka lihat tapi bingung juga, yah mudah-mudahan berubah. Makanya ini juga bahaya kalau menyebarkan pemahamannya kepada mahasiswa,” katanya.

Sementara itu, penulis Falihin Barakati mengimbau kepada seluruh insan kampus agar mengetahui beberapa pola dan modus yang dilakukan oleh kelompok radikal dalam menyebarkan paham dan merekrut anggota baru di lingkungan kampus. Pola-pola yang digunakan bisa sangat beragam, kata dia, tetapi hampir memiliki modus yang sama di beberapa kampus.

“Ada beberapa jalur yang biasa mereka manfaatkan sebagai metode perekrutan anggota baru semisal kajian kerohanian yang tertutup dan mentoring keagamaan yang ekslusif,” katanya.

Modus yang lain mereka juga menawarkan tempat tinggal dan kos gratis dengan syarat mengikuti kajian mereka, mendampingi mahasiswa baru dan mengarahkan pada kelompok diskusi tertentu.

Seluruh pola dan modus meraka harus kita waspadai di semua level kebijakan kampus, baik rektorat, UKM, maupun mahasiswa.

Pihak kampus juga harus segera menyadari bahwa keberadaan kelompok ini adalah nyata di beberapa kampus dan apabila tidak diberikan penanganan khusus bisa berkembang dengan leluasa.

Dalam membendung penyebaran radikalisme di kampus, maka ia menawarkan tiga konsep, yaitu: Deradikalisasi, Pencegahan, dan pengawasan. Menurut dia dengan ketiga cara ini maka kita akan dapat membendung perkembangan pemahaman radikalisme ini.

Saat ini tidak dapat sebenarnya kita sembunyikan, lanjutnya, karena mereka saat ini telah banyak merasuki pemikiran-pemikiran mahasiswa, dan bahkan mereka gampang sekali merasuki pemahaman mereka. Mulai dari membuat komunitas-komunitas dakwah yang itu kurang hari ini di PMII.

“Memang dulu ada lembaga dakwah di PMII untuk mengantisipasi pemahamn tersebut. Dulu ini sudah ada lembaga dakwah akan tetapi tidak lagi dijalankan mungkin,” kata dia lagi.

Sebagai bangsa dan warga NU kita juga harusnya memahami makna dari Hublul Wathon minal iman. Apabila ini kita pahami, maka kita akan sadar bahwa modal utama yaitu cinta tanah air adalah bagian daripada iman.

Dengan ini, apabila dipahami dengan baik, maka kita akan mampu membentingi diri dari pemahaman-pemahaman tersebut.

“Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh pak Abdul Djalil bahwa secara pemahaman sangat sulit untuk kita hilangkan dari seseorang yang sudah terpapar. Namun yang kita lakukan adalah bagaimana kita dapat membentengi diri agar tidak mudah terpapar dengan pemahaman tersebut,” akunya.

Mereka menurutnya menyebarkan pemahaman-pemahaman ini tidak saja melalui kajian-kajian tetapi juga melalui social media. Untuk itu, kita perlu juga aktif di media social dalam mencegah pemahaman radikalisme ini agar tidak menjauh keluar.

(Verry/PARADE.ID)

Exit mobile version