Jakarta (PARADE.ID)- Prof. Dr. Phil Sahiron Syamsuddin MA, Plt. Rektor UIN SUKA Yogyakarta menyatakan bahwa saat ini ada dua tantangan besar yang dihadapi Pancasila sebagai dasar Negara, yakni sekelompok kecil yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi dan sistem lain, baik yang berbasis agama maupun sekuler. Keduanya berbahaya untuk keberlangsungan NKRI.
“Dan kedua, implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa,” katanya, kemarin, ketika webinar dengan tajuk “Menangkal Propaganda Eks HTI Dalam Negara Pancasila”.
Menurut dia, memproklamirkan NKRI dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, sejatinya telah ittiba’ li sunnati Rasulillah SAW (mengikuti sunnah Rasulullah SAW). Dalam pengertian mengikuti praktik Nabi dalam membuat Piagam Madinah.
Alquran maupun hadits pun menurutnya hanya memerintahkan bahwa kepemimpinan dan pemerintahan harus menegakkan nilai-nilai agama.
“Sistem khilafah tidak dikenal dalam Qur’an. Jika diperas, maka intisarinya adalah menegakkan keadilan sosial dan hukum, amanah, kesejahteraan dan pemerataan SDM,” terangnya.
Dalam Qs. Al-A’raf [7]: 199 ada dua redaksi penting, yaitu ‘urf dan ma’ruf. Konteks tekstual kata ma’ruf disitu adalah relasi antar-manusia. Jadi, ‘urf bertitik pada prilaku-prilaku yang baik dalam konteks budaya, maka ma’ruf prilaku-prilaku yang baik menurut syara’ dan kewibawaan. Keduanya itu mengakomodir keterlibatan wahyu dan akal budi manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an tidk menafikan aturan manusia untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan berbangsa.
“Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib, Nabi melihat penduduknya itu plural dari segala sisi. Ada dua suku besar kala itu, suku Aus dan Khazraj. Agamanya pun bervariasi: ada Yahudi, Kristen, Islam dan Majusi.”
Maka Nabi membentuk kesepakatan bersama yakni Piagam Madinah. Konsensus inilah yang menurutnya menjadi inspirasi kiai-kiai dan founding fathers NKRI untuk membuat Pancasila, yang semisal dengan Piagam Madinah.
Menurut Ketua PW NU Sulawesi Tenggara, KH. M. Muslim Nabi telah mengajarkan untuk tidak menghadapkan agama dengan negara. Keduanya itu saudara kembar. Saling menguatkan satu dengan lainnya. Aktualisasi nilai-nilai dalam Islam telah diserap dan diperas, hasilnya adalah Pancasila.
“Artinya, kesepakatan itu harus kita jaga dari segala rongrongan yang ada saat ini,” katanya.
Kebinekaan yang ada, lanjut dia, merupakan bentuk anugerah Allah SWT kepada Negara Pancasila. Salah satu cara kita bersyukur adalah mentaati konsensus Pancasila.
Pancasila pun menurut dia juga merupakan hidayah dan bimbingan dari Allah dan ikhtiar yang dilakukan para pendiri negara ini.
“KH. Hasyim Asy’ari menilai, mencermati dan memeriksa kebenaran Pancasila (1 Juni 1945 versi Sukarno; bukan urutannya) secara nilai-nilai sudah sesuai dengan syariat Islam ataukah belum. Hadratussyaikh menegaskan bahwa Pancasila sudah sesuai dengan syariat Islam,” sambungnya.
Semuanya itu berdasarkan tirakat, puasa dan shalat istikharah.
Ada dua komitmen yang menurut dia harus kita bangun dan sadari, yaitu komitmen kebangsaan dan komitmen keagamaan. Siapa pun yang berkomitmen, dia tidak akan melanggar kesepakatan bersama; menjadikan Indonesia sebagai darus salam (negeri yang damai) bukan Daulah Islamiyyah. Kelompok yang keluar dari komitmen bersama itu akan berhadapan dengan negara. Sebab, negara butuh agama sebagai bentuk tempat penanaman nilai-nilai dan moral.
“Dan agama membutuhkan negara sebagai wadah penyebarannya,” jelasnya.
Ia mengingatkan, seyogyanya kita jangan membenturkan agama dengan Pancasila karena keduanya berada di posisinya masing-masing dan bisa saling menguatkan. Yang menjadi persoalan saat ini adalah implementasi dari nilai-nilai; baik agama maupun Pancasila.
“Indonesia tidak kekurangan orang pintar tapi orang yang benar,” kata dia.
Sementara itu, pembicara lainnya, M. Alfatih Suryadilaga, Dewan Pembina FKMTHI dan Ketua ASILHA) menyampaikan bahwa ada dua aspek penting yang harus kita diperkuat dewasa ini, yakni sosialisasi Pancasila sesuai konteks kekinian dan penguatan literasi media berbasis nilai-nilai Pancasila dan keindonesiaan. Sehingga melalui kedua hal itu, tidak ada ruang bagi HTI dan ajarannya menyeruak di media sosial.
“Karena kalau gerakan, mereka sudah tidak legal,” ucapnya.
Selain itu, kita diimbah olehnya untuk mempebanyak dan memperkuat di wilayah literasi media. Sebab kata dia, ini adalah jantung dan wadah efektif dalam pemasaran sebuah ideologi dan gagasan.
Hal senada juga disampaikan oleh Hasanuddin Ali, M.Si dari CEO Alvara Research Center yang menyatakan yang terpenting itu adalah kita aktif dan bisa menjadi influencer untuk menangkalnya di media. Sebab kata dia, gerakan yang sejenis, baik radikal maupun ekstrimis tidak akan pernah habis bila tak mengindahkan hal tersebut.
Menurut dia, bahwa Pancasila tidak ada keraguan dalam mengamalkannya.
“Namun ada tiga hal ketika kita memilih sebuah bangsa dan Pancasila sebagai ideologi atau dasar negara, maka ada tiga basis legitimasi; legitimasi teologis dan keagamaan yang sangat kuat. Dan dalam aspek ini, kita telah mengikuti cara yang dilakukan Nabi Muhammad; Dari segi socio-culture, kita dianugerahi berupa keragaman yang luar biasa, baik dari sisi bahasa, geografis kepulauan dan lainnya,” ujarnya.
Ketika dipaksakan oleh satu basis agama maka akan meniadakan agama lain. Begitu seterusnya. Sebab itulah Pancasila menjadi titik tengah di NKRI; dan legitimasi legal-formal.
Dikatakan olehnya, HTI jika ditinjau dari segi dalil teologis telah bermasalah, sebagaimana yang dipaparkan oleh Pak Sahiron dan Alfatih. Dari segi sosio-culture, ajaran yang diserukan HTI lemah. Karena tidak digali dari kebersamaan, melainkan hanya aspirasi satu kelompok yang pastinya akan tertolak di kelompok lainnya. Sedangkan secara legal formal, HTI merupakan kelompok ilegal, yang gerakannya bisa dihentikan oleh pemerintah.
“Di kalangan profesional seperti ASN, yang setuju ideologi Islam sebagai ideologi Indonesia 15,5 persen, tapi di mahasiswa 16,8 persen dan pelajar 18,6 persen. Adapun di kalangan milenial mayoritas memang memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara,” terangnya.
Namun demikian ada sekitar 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar yang setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara.
Menurut Abdul Azis Udin, Ketua Kaukus Sulawesi Selatan 2019-2021, kebijakan untuk kampus melalui Permen Dikti dalam upaya menangkal paham-paham dan sistem seperti Eks HTI ini perlu kita dukung sepenuhnya. Agar penyebaran di kampus tertutup.
“Kita memberikan pencerahan dan pemaparan terkait organisasi-organisasi yang terlarang agar masyarakat tidak terdoktrin dan ikut terlibat di dalamnya. Utamanya kontra opini dan kerja intelektual,” kata dia.
Untuk pengingat, dia mengatakan bahwa mereka ini (HTI),kecil, tapi militan dan kompak di media sosial. Dan menurut dia ini adalah tantangan kita bersama. Jadi, satu-satunya cara adalah menyuarakan Islam Moderat di segala platform media yang dimiliki masing-masing.
“Agar masyarakat tidak saja terpengaruhi oleh doktrin-doktrin aneh mereka (HTI), tapi kita menyajikan perbandingan ke masyarakat,” demikian katanya.
Webinar ini dihadiri lima pembicara. Dimoderatori oleh Muhammad Makmun Rasyid, Ketua Yayasan Bina Bangsa Indonesia.
(Robi/PARADE.ID)