Site icon Parade.id

Mengulik Demokrasi Ekonomi di Era Prabowo dari Diskusi Aktivis Lintas Generasi

Foto: Sarasehan Aktivis Lintas Generasi Memperingati Reformasi 1998

Jakarta (parade.id)- Aspirasi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi di Indonesia menjadi sorotan utama dalam Sarasehan Aktivis Lintas Generasi Memperingati Reformasi 1998, yang digelar di Hotel JS Luwansa, 21 Mei 2025. Acara yang dihadiri hampir 200 aktivis, politisi, dan pengamat dari berbagai latar belakang, termasuk Jumhur Hidayat, Yuddy Crisnandi, Adyaksa Dault, Rocky Gerung, hingga Masinton Pasaribu, menggarisbawahi bahwa meskipun demokrasi politik telah tercapai (meski dengan beberapa kekurangan), demokrasi ekonomi masih jauh dari harapan.

Haris Rusly Moti, Koordinator Sarasehan, menegaskan bahwa Reformasi 1998 adalah kelanjutan perjuangan aktivis 70-an, yang kini harus berujung pada pemanfaatan sumber daya alam (SDA) demi kesejahteraan masyarakat. Senada, Hariman Siregar menekankan bahwa persatuan antara PDIP dan Gerindra akan sangat berpengaruh dalam mewujudkan demokrasi ekonomi.

Ia juga mengingatkan, jika demokrasi tidak berjalan, jalan kekerasan bisa terbuka, dan peran aktivis sangat krusial dalam menentukan arah tersebut.

Robertus Robert, seorang pengamat, melihat demokrasi ekonomi dapat dimulai dari politik pekerja dan menuntut basis baru kesetaraan politik serta demokratisasi ekonomi untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada segelintir elit.

Ia juga mengingatkan bahwa keberlanjutan alam harus menjadi prioritas utama, mengingat ancaman kehancuran lingkungan saat ini.

M. Qodari, Wakil Kepala Staf Kepresidenan, menilai bahwa Indonesia saat ini lebih demokratis. Ia menyoroti Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai aktor ekonomi politik yang memulai dari bawah, membangun partai sejak 2008 hingga berhasil menjadi presiden.

Prabowo, menurut Qodari, ingin menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berfokus pada pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tantangan terbesar terletak pada implementasi dan realisasi di lapangan.

Namun, Syahganda Nainggolan berpandangan bahwa mempertahankan demokrasi adalah anomali jika ketimpangan ekonomi belum berkurang. Ia mengakui adanya sedikit pengurangan demokrasi di era Prabowo, namun juga melihat secercah harapan untuk perbaikan ekonomi.

Syahganda mendesak agar sarasehan ini menghasilkan resolusi konkret dan tidak hanya menjadi “omon-omon.” Ia bahkan mengkritik penempatan tokoh-tokoh ideologis sebagai wakil menteri, bukan menteri penuh.

Senada, Ester, seorang pemerhati, menilai demokrasi saat ini masih semu, meskipun pemilu berjalan baik. Ia melihat partai politik cenderung mementingkan kepentingan sendiri dan oligarki, bukan rakyat. Menurutnya, demokrasi ekonomi baru akan terwujud jika masyarakat cerdas, menguasai keilmuan, dan memahami hak-haknya.

Rocky Gerung dengan tegas menyatakan, “Reformasi bukan untuk diperingati tapi untuk diulangi.” Ia berpendapat bahwa kata ‘reformasi’ terlalu lemah, karena sesungguhnya yang dibutuhkan adalah ‘revolusi’.

Rocky Gerung juga mengungkapkan bahwa Prabowo memiliki keinginan untuk ekonomi sosialis, yang menurutnya adalah momentum politik saat ini. Ia berharap perombakan kabinet di momen sarasehan ini bisa membuka jalan bagi sosialisme ekonomi.

Feri Amsari, pakar hukum, sepakat bahwa demokrasi ekonomi belum terwujud sesuai Pasal 33 UUD 1945. Ia menyoroti tantangan akselerasi ekonomi jika pimpinan gerak ekonomi masih diisi oleh “orang-orang Jokowi”, dan menekankan perlunya pergantian menteri di bidang ekonomi.

Menanggapi hal ini, Habiburokhman, politisi Gerindra, mengakui bahwa perombakan kabinet tidak semudah itu, namun ia menghargai pendapat yang bebas. Ia mengajak untuk memaksimalkan demokrasi yang ada ketimbang terus mengeluh dan menyalahkan pemerintah.

Andi Rahmat dari KADIN menyoroti mental fundamental BUMN yang masih kurang. Ia mengakui terobosan Prabowo melalui Danatare, meskipun hasilnya belum jelas. Ia yakin akan ada perubahan ekonomi di pemerintahan Prabowo, namun orang-orangnya masih sama.

Masinton Pasaribu, politisi PDIP, melihat arah perubahan ekonomi menuju ekonomi sosialis, seperti koperasi desa dan sekolah rakyat. Ia mempertanyakan tata kelola, di mana pemimpin bisa bergerak cepat tapi birokrasi lambat. Ia berharap semangat “kiri” (pro-ekonomi rakyat) tetap ada di kalangan aktivis.

Terakhir, Wahab Talaohu, seorang aktivis, menyebut Reformasi 1998 sebagai revolusi karena membawa perubahan mendasar. Ia berargumen bahwa ekonomi Indonesia hingga kini masih didikte oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing era Soeharto, padahal Indonesia memiliki sumber daya alam senilai 22 ribu triliun yang bisa mengakselerasi ekonomi.

Wahab meyakini Prabowo akan membawa perubahan dengan memadukan inti sari kapitalis dan sosialis, serta mengatasi “kebocoran” karena tata kelola yang salah. Ia bahkan menyatakan, “Kita salah jika tidak mendukung Prabowo—karena dia akan mengubah demokrasi ekonomi.”

Ia juga melihat ide Danatare sebagai “revolusi” yang merefleksikan pemahaman Prabowo dari Tiongkok bahwa kekayaan bumi harus dikuasai negara, bukan dilepas ke pasar.

Sarasehan ini memperlihatkan beragam pandangan para aktivis lintas generasi mengenai capaian dan tantangan reformasi, khususnya dalam mewujudkan demokrasi ekonomi. Diskusi ini menjadi cerminan harapan dan kritik terhadap pemerintahan yang akan datang, dengan fokus pada bagaimana Indonesia bisa mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyatnya.

(Rob/parade.id)

Exit mobile version