Jakarta (parade.id)- Kemarin, Senin (16/12/2024), berlangsung diskusi publik bertemakan “Food Estate Sumatra Utara Pasca Perpres Badan Otorita: Meninjau Pelaksanaan Food Estate di Pakpak Bharat dan Humbang Hasundutan”, di Khanah Konsorsium Pembaruan Agraria (Khanah KPA), Jakarta Selatan.
Hadir dalam diskusi itu Marsen Sinaga (Peneliti Studio Tanya Yogyakarta), Delima Silalahi (Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat/Direktur Program KSPPM) Serita Siregar (warga/petani food estate Desa Ria-ria, Humbang Hasundutan) dan Dewi Kartika (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA). Masing-masing memberikan pandangannya, argumen, dan atau pernyataannya.
Pertama yang menyampaikan adalah Marsen Sinaga (Peneliti Studio Tanya Yogyakarta). Dalam penyampaiannya, Marsen memaparkan temuan sejumlah pemerhati terkait “respons” food estate dari para petani/warga.
Pertama kata dia, ada warga yang tida dipaksa untuk ikut serta dalam program food estate. Kedua, ada yang ikut tetapi diiming-imingi keuntungan tertentu, semisal jalan diperbagus untuk ke ladang mereka.
Ketiga, “respons” lainnya adalah program food estate dianggap (akan) membuka lapangan kerja baru walau kenyataannya diragukan. Keempat, ada yang tidak iku program food estate karena curiga tanahnya akan diambil sepihak oleh negara.
Kelima, ada yang ikut tetapi baru satu bulan usai panen kata dia, mundur. “Panen tidak sesuai dengan pengeluaran yang ada,” kata dia. Terakhir, ada yang tidak ikut tetapi malah kena getahnya
Marsen mengungkapkan riset tersebut dilakukan karena ada dugaan pelanggaran hak atas pangan rakyat. Bahkan ia menyebut bahwa program food estate adalah kedok untuk merampas lahan petani.
“Di riset ini kita ingin menyumbang cara pandang food estate agar advokasi kita beragam dan juga bisa memberikan kita bahan pertemuan lebih banyak untuk diskusi dengan mereka,” ungkapnya.
Sementara itu, Delima Silalahi (Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat/Direktur Program KSPPM) menyampaikan awal mula pelaksanaanfood estate di daerah Sumatra Utara (Sumut).
“Food estate di Sumut sudah berjalan empat tahun. Awalnya masa Covid. Semua kabupaten mengajukan diri untuk food estate. Alasannya kalau gak ikut tidak ada anggaran. Kalau tidak ikut PSN kita takkan dapat anggaran,” ungkapnya.
Namun selama empat tahun berjalan food estate gagal. “Malah muncul badan otorita,” tekannya.
Menurut Delima, ada skema yang menjadi dasar hukum yakni SK 448/2020 dan Perpres 131/2024. “Analisis kami diskenariokan gagal. Sebab sebelumnya ada pembangunan stigma kepada petani yang dianggap tidak bisa bertani,” terangnya.
“Empat tahun food estate relasi petani dengan dirinya tidak bisa tidur lagi—kerusakan mental—tidak bisa melanjutkan di hari esok karena banyak utang,” tambahnya.
Menurut dia, pembentukan badan otorita cerminan cara pandang pemerintah yang menolotik dan otoriter mengenai makna pembangunan dan kemajua. Program ini kata dia, mengabaikan upaya keras petani lokal.
“Ke depan kita harus cabut Perpres BOPK FE, organisasi petani harus kuat, kritis terhadap solusi-solosi palsu, dan mendorong kebijakan pertanian yang melindungi hak petani,” tegasnya.
Pun petani food estate warga Desa Ria-ria, Humbang Hasundutan bernama Serita Siregar seperti Delima menceritakan awal mula tempatnya dijadikan pelaksanaan program food estate.
“Saya akan bagi pengalaman pribadi—awalnya tahun 2020–ada beberapa tetua adat batak mendatangi kami untuk lahan dijadikan food estate. Alasannya menjaga lahan yang kritis efek Covid,” Serita mengawali.
“Awalnya kami takut karena akan kehilangan tanah. Tapi kami diyakini bahwa tanah tidak akan diambil negara. Lalu kami tanya kenapa tanah Ria-ria—alasannya karena status tanah ‘kami putih’,” lanjutnya.
Pengerjaan pertama lahan program food estate itu kata Serita September 2020–semua dibiayai APBN untuk petani. Namun kata dia, di awal itu yang didanai APBN gagal, karena kejar target. Pasalnya lahan yang ditempatkan adalah lahan tidur.
“Belum siap tanam tetapi ditanam. Karena kejar tayang Desember saat Covid. Itu pada saat masa tanam pertama,” terangnya.
Malah kata Serita, belakangan, petani di wilayah terlilit utang, termasuk dirinya. Berutang kepada Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“30 persen kamk terlilit utang atas program food estate itu. Banyak di antara kami, termasuk saya kesulitan membayar,” akunya.
“Bahkan saya sudah tidak lagi memikirkan jatuh tempo—asal jangan lewat bulannya saja—mesti dibayar. Itu demi menjaga tanah kami agar tidak lelang,” ia menambahkan.
Mendengar cerita Serita, Dewi Kartika (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA) mengatakan bahwa itu sepertiperampasan tanah dengan halus. Ia pun mengatakan bahwa pola food estate itu tampaknya akan dihidupkan lagi di rezim Prabowo Subianto.
Hal itu kata dia Bisa dilihat dari Asta Cita Prabowo yang ingin swasembada pangan. “Sayang itu hanya kemasan saja dibuat baru jika dilihat pengalaman rezim Jokowi-SBY-Soeharto tidak ada perubahan fundamental—kita mengalami krisis pangan. KPA sudah pernah rilis paska pelantikan Prabowo bahwa food estate bukan jawawaban persoalan pangan,” kata dia.
KPA kata Kartika mencatat beberapa berbahayanya program food estate itu. Di antaranya akan berdampak ke masalah politik pangan nasional, perampasan tanah gaya spekulan tanah diorientasikan komuditas, kerusakan lingkungan tidak menghargai keberagaman pangan kita, pendekatan militeristik sangat berbahaya bagi pertahanan kita, dan pengaruh regulasi.
“Jika tetap dilakukan program food estate maka kerusakan pusat pangan kita akan terjadi,” katanya.
Indonesia kata Kartika tidak butuh food estate, melainkan reforma agraria karena SDM sudah dimiliki. Hanya saja mungkin hal teknis atas teknologinya untuk membantu kelangsung produktivitas para petani.
Dua hari sebelum selesai masa jabatannya sebagai Presiden, Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2024 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatra Utara.
Selain adanya mandat membangun kelembagaan otoritatif, Perpres ini juga memperluas wilayah pengembangan menjadi empat kabupaten, di antaranya Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah.
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) telah melakukan kajian pelaksanaan Program Food Estate di Pakpak Bharat dan rencana pembentukan Badan Otorita Food Estate Sumatra Utara.
(Rob/parade.id)