Jakarta (PARADE.ID)- Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengeluarkan sikap terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja Tahun 2021.
Menurut KSBSI, apa yang diputuskan oleh hakim MK adalah kegagalan menegakkan hukum sebagai panglima.
“KSBSI dan 10 Federasi afiliasi KSBSI menyatakan sikap tegas atas putusan MK terutama untuk Perkara yang digugat KSBSI, yakni perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020, KSBSI dan 10 Federasi menyatakan, bahwa lima Hakim Mahkamah Konstitusi gagal menegakkan hukum sebagai panglima,” demikian keterangan persnya, kemarin, kepada parade.id.
“Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Artinya, kata KSBSI, bahwa kekuasaan apa pun di negeri ini, baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif adalah berada di bawah kekuasaan judikatif atau pengadilan, apalagi pengadilan bertaraf MK yang berfungsi untuk menjaga supremasi konstitusi dan hak asasi manusia, serta menegakkan hukum dan keadilan,” masih dalam keterangan KSBSI beserta 10 Federasi afiliasi.
Menurut KSBSI, amar putusan tersebut mendua, abu-abu, tidak jelas dan tidak tegas. Dan keputusan itu memperlihatkan dan menegaskan keraguan lima hakim dari sembilah hakim MK untuk menegakkan adagium “fiat justitia ruat coelum”, hukum harus ditegakkan terlepas dari konsekuensinya, sebagaimana yang dilakukan hakim Pengadilan King’s Bench, Inggris, tahun 1772, membebaskan James Somerset dari kasus perbudakan buruh Inggris.
Namun terlepas dari itu, dengan adanya perintah dan pernyataan dalam pertimbangan hukum dan amar putusan, yang sebagai berikut:
1. Pernyataan UU Ciker mengandung cacat formil (konstitusi); 2. Perintah kepada Presiden dan DPR supaya melakukan perbaikan proses pembentukan dan substansi (pasal-pasal/norma) UU Ciker; 3. Pernyataan UU Ciker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan;
4. Pernyataan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas; 5. Pernyataan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciker;
“Maka berdasarkan hal-hal di atas, kami KSBSI dan 10 (sepuluh) federasi serikat buruh afiliasi serta dua badan sayap KSBSI mengingatkan dan mendesak Presiden/Pemerintah termasuk Gubernur dan/atau DPR untuk, pertama melakukan perbaikan UU Ciker dengan transparan kepada publik termasuk KSBSI sebagai stakeholder klaster ketenagakerjaan;”
Kedua, melibatkan KSBSI dan stakeholder lainnya dalam seluruh proses perbaikan UU Ciker dengan keterpenuhan tiga syarat: pertama, didengarkan pendapat KSBSI, kedua, dipertimbangkan pendapat KSBSI; dan ketiga, KSBSI mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang berikan KSBSI;
Ketiga, perbaikan materi muatan (pasal-pasal/norma) UU Ciker harus lebih baik dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan; Keempat, Penanggungjawab (leading sector) perbaikan materi muatan (pasal-pasal/norma) Klaster Ketenagakerjaan UU Ciker adalah Kementerian Ketenagakerjaan;
Kelima, proses perbaikan UU Ciker Klaster Ketenagakerjaan dibawah pengawasan (supervisi) International Labour Organization (ILO) untuk memastikan pelaksanaan standar perburuhan, sebagaimana dahulu dalam proses pembentukan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan; keenam, Pemerintah jangan membuat kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas terhadap perlindungan dan kesejahteraan buruh berdasarkan UU Ciker dan peraturan turunannya;
Ketujuh, Pemerintah jangan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciker; kedelapan, Pemerintah, dalam hal ini para Gubernur jangan menerbitkan peraturan/keputusan untuk menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2022 berdasarkan PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, melainkan harus berdasakan PP No. 78/2015 tentang Pengupahan, sehingga terhindar dari gugatan di PTUN;
Kesembilan, Pemerintah, dalam hal ini Gubernur segera mencabut peraturan/penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 yang didasarkan pada PP No. 36/2021, serta menghitung dan menetapkan ulang UMP tahun 2022 berdasarkan PP No.
78/2015;
Dan kesepuluh, Berdasarkan fatsun politik bernegara dan tata kelola pemerintahan yang baik, serta untuk adanya kepastian hukum, meminta kepada Presiden untuk menerbitkan PERPPU menyatakan UU Cipta Kerja, setidaknya Bab IV Klaster Ketenagakerjaan UU Ciker, serta semua peraturan turunannya ditangguhkan pelaksanaannya sampai selesai perbaikan UU Ciker, dan menyatakan memberlakukan semua pasal-pasal yang dihapus dan diubah dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berlandaskan itu, KSBSI menyatakan, adalah kegagalan lima hakim MK menegakkan hukum dan konstitusi sebagai panglima dengan menjatuhkan putusan terhadap permohonan pengujian formil dan materiil UU Ciker terhadap UUD 1945 yang diajukan KSBSI dalam perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020, dan 11 perkara atau permohonan lainnya pada Kamis, 25 November 2021.
DEN KSBSI bersama 10 DPP Federasi afiliasi seperti FKUI, FSB NIKEUBA, FSB KAMIPARHO, F LOMENIK, FPE, F HUKATAN, FESDIKARI, FSB KIKES dan FSB GARTEKS ditambah dua Komisi KSBSI yakni Komisi Kesetaraan Nasional dan Komisi Pemuda dan Lingkungan.
(Sur/PARADE.ID)