Site icon Parade.id

Merdeka yang Paripurna

Foto: Pemerhati Sosial dan Politik Taufan Iksan Tuarita, dok. pribadi

Jakarta (PARADE.ID)- Seperti sudah menjadi tradisi menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi 17 Agustus, dahulu ada upacara bendera, setelahnya ada ragam perlombaan, dimulai dari lomba baris-berbaris, panjat pinang, lari karung dan lain sebagainya, semuanya tenggelam dalam euforia dan kegembiraan.

Berbagai hiruk-pikuk menyambut hari kemerdekaan adalah suatu momen di mana ekspresi masyarakat direfleksikan, seolah tonggak kemerdekaan hanya pada 17 Agustus itu saja, sementara kurang-lebih 300-an hari yang lain adalah ‘ketidakmerdekaan’.

Hari ini, kita memasuki usia 76 Tahun kemerdekaan, berbeda dengan sebelumnya, hari ini kita merayakan kemerdekaan dibawah ancaman Pandemi COVID-19 yang hamper setiap hari merenggut nyawa anak bangsa. Banyak yang menyebut kita sedang ‘dijajah’ oleh wabah, karena itu kita harus segera merdeka darinya.

Tidak ada upacara bendera, tidak ada perayaan, tidak ada lomba, seluruh negeri sedang menderita dan berdukacita. Hampir keseluruhan refleksi adalah tentang upaya-upaya agar lepas dari jeratan dan ‘jajahan’ pandemi.

Lantas, apakah jika tanpa pandemi kita bisa membangun klaim kemerdekaan? Apakah masa depan Indonesia adalah suatu kepastian yang memungkinkan bendera merah-putih tetap terikat dan diarak naik ke puncak tiang tertinggi?

Pertanyaan ini sangat retoris. Tetapi menurut saya, mengukur hari kemerdekaan tidaklah sebatas perayaan-perayaan dan euforia satu hari. Kemerdekaan haruslah menjadi kebahagiaan yang abadi.

76 tahun yang lalu, sejarah seolah mencatat suatu momen di mana Soekarno dan Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdengklok sebagai akibat dari perbedaan pendapat antara kaum tua dan kelompok muda yang revolusioner. Peristiwa yang kemudian berlangsung cepat hingga naskah proklamasi yang diketik pada malam itu juga menghadirkan kemerdekaan bagi sebuah bangsa di pagi harinya.

Sebuah momen yang sangat epik, bersamaan dengan terbitnya matahari, terbitlah Indonesia.

Namun begitu, hari itu seolah menjadi periode baru bagi bangsa Indonesia modern, akibatnya periode sebelumnya hanya dianggap sebagai sejarah tekstual.

Padahal jika kita mengambil seluruh timeline sejarah, maka paradigma kemerdekaan tidak hanya akan berhenti pada semangat satu malam sebelum hari merdeka. Ada begitu banyak peristiwa heroik di masa lampau dalam menentang penjajahan dan kolonialisme, sebutlah perang Diponegoro, Peristiwa Buleleng, Perang Banjar, perjuangan sultan Hasanuddin, Perang Aceh hingga perlawanan Baabullah Datuk Syah di Ternate yang berhasil mengusir koloni Portugis.

Kesemuanya itu adalah peristiwa-peristiwa yang menyadarkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang diraih hanya dengan satu malam atau Ketika sebuah naskah ide negara diketik satu halaman untuk kemudian dibacakan pada besok harinya.

Perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk penjajahan sesungguhnya memakan waktu yang berabad-abad, ada jutaan nyawa yang sudah gugur demi memperjuangkan Hasrat untuk berdiri sendiri, terbebas dari penindasan bangsa lain.

Hari ini, kemerdekaan kita baru berusia 76 Tahun, itu adalah waktu yang masih sangat sedikit dibanding penderitaan berates-ratus tahun dibawah kolonialisme. Karenanya, sangat disayangkan jika hari ini euforia kemerdekaan hanya direfleksikan pada tonggak tanggal 17 bulan Agustus saja.

Hari ini, kita hidup dibawah tekanan yang sangat massif, kita lupa bahwa kemerdekaan yang dikehendaki bukan hanya sekedar bebas dari penjajahan kemudian bebas membentuk suatu system administrasi baru yang lepas dari para kompeni, kemerdekaan tidaklah terbatas pada peralihan berkas dan atribut, kemerdekaan seharusnya memiliki nilai yang fundamental, suatu semangat abadi menuju masa depan Indonesia yang tetap utuh.

Konteks kemerdekaan Indonesia dalam proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno sesungguhnya tidaklah terbatas pada peralihan kekuasaan, namun juga peralihan situasi. Jika di bawah kolonialisme Belanda, Indonesia ditindas, maka kemerdekaan harus beralih pada kebebasan setiap individunya tanpa takut ditindas oleh siapapun.

Jika dibawah penjajahan Belanda, rakyat Indonesia tidak diberikan Pendidikan yang memadai, maka kemerdekaan harus beralih pada pemenuhan hak-hak Pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Jika dibawah penjajahan Belanda, Kesehatan masyarakat Indonesia tidak diperhatikan, maka kemerdekaan haruslah menjamin kesehatan seluruh rakyat kita.

Begitulah seterusnya janji kemerdekaan.

Hari ini kita menghadapi situasi yang sangat pelik, janji-janji kemerdekaan masih jauh dari kata tuntas. Jangan dulu jauh-jauh dengan penderitaan dibawah ancaman COVID-19, sebab optimisme kita belum cukup menjanjikan untuk mengatasi wabah brutal ini. Sebagai sebuah bangsa, kita harus memperbaiki dulu dinamika kebangsaan kita, semangat persatuan sebagai tujuan prinsipil kemerdekaan masih jauh dari kata ideal untuk kita bisa Bersama-sama mengatasi pandemi ini.

Persatuan Indonesia adalah kunci optimisme, karena itu perpolitikan nasional harus dipahami oleh seluruh aktor-aktor politiknya sebagai suatu proses menuju persatuan itu sendiri, bukan memecah-belah layaknya propaganda politik Belanda yang Bernama ‘Devide et Impera’.

Jika kita ingin keluar dari segala situasi sulit maka perpecahan nasional sebagai warisan kontestasi politik yang terakhir harus segera diakhiri, dari situlah kita bisa mengukur optimisme dan masa depan setelah hari ini.

Kesadaran seluruh anak bangsa untuk segera berembug Kembali guna mengalahkan ‘penjajahan’ wabah COVID-19 harus segera terbangun, kebijakan nasional yang berorientasi pada konsensus Bersama harus Kembali ditata, situasi politik yang masih panas harus segera diredam dengan mengesampingkan ego sektoral.

Kita tidak mau jika hanya di hari tujuhbelas Agustus inilah kita mendengar nyanyian lagu Indonesia Raya berkumandang dan melihat bendera merah-putih berkibar, sedangkan di luar dari hari tujuhbelas Agustus ini yang terdengar hanyalah raungan sirine mobil ambulans dan peti-peti mati yang dihantarkan ke pemakaman. Hanya melalui kesadaran kolektif sebagai bangsa lah, kitab isa terbebas dari ini semua.

Kemerdekaan yang paripurna adalah bebas untuk hidup, ada jaminan untuk hidup, ada kepastian untuk menjalankan segala proses kehidupan serta pemenuhan terhadap seluruh hak-hak hidup, sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa. Jika tanpa itu semua, kemerdekaan kita tidaklah paripurna.

*Pemerhati Sosial dan Politik, Taupan Iksan Tuarita

Exit mobile version