Site icon Parade.id

Pakar dan Aktivis Tolak Penulisan Ulang Sejarah

Foto: “Konferensi Pers Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI”, Kamis (14/8/2025), di Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat

Jakarta (parade.id)- Sejumlah akademisi, aktivis HAM, dan sejarawan mengecam keras rencana pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) untuk menulis ulang sejarah nasional. Mereka menilai upaya ini sebagai bentuk pengaburan fakta sejarah, glorifikasi rezim Orde Baru, dan penghapusan narasi korban pelanggaran HAM.

Dalam diskusi publik yang digelar pada hari Kamis, 14 Agustus 2025, Marzuki Darusman (Jaksa Agung 1999-2001) menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah adalah bagian dari proyek politis untuk membangun legitimasi kekuasaan baru yang mengadopsi pola Orde Baru.

“Sejak 1965, Indonesia menjadi ‘Negara Keamanan Nasional’ yang mengontrol rakyat melalui teror dan represi. Kini, upaya menulis ulang sejarah adalah cara untuk menghidupkan kembali Orde Baru jilid dua,” tegas Marzuki.

Prof. Asvi Warman Adam (Sejarawan LIPI) mengungkapkan bahwa draf terbaru buku sejarah Kemenbud mengulang narasi Orde Baru, seperti menyebut peristiwa 1965 sebagai “G30S/PKI” dan mengecilkan pelanggaran HAM masa lalu.

“Ini kemunduran! Di era reformasi, kita sudah menggunakan istilah ‘Gerakan 30 September’ dengan multi-versi. Kini, kita kembali ke versi tunggal yang penuh stigmatisasi,” kritik Asvi.

Ita Fatia Nadia  (Peneliti Sejarah) menekankan bahwa penulisan ulang sejarah akan menghilangkan memori korban kekerasan negara, seperti peristiwa 1965, Mei 1998, Aceh, dan Papua.

“Trauma bangsa ini adalah arsip hidup yang harus dirawat, bukan dihapus. Generasi muda berhak tahu kebenaran, bukan sejarah yang dibersihkan untuk kepentingan penguasa,” tegas Ita.

Sementara Prof. Sulistyowati Irianto (Guru Besar Antropologi Hukum) menyoroti bahwa kebijakan ini dibuat tanpa kajian ilmiah atau konsultasi publik, hanya berdasarkan “intuisi dan kepentingan populisme”.

Usman Hamid (Amnesty International Indonesia) mengingatkan bahwa revisi sejarah adalah ciri rezim fasis, bersamaan dengan pengkultusan individu, penyangkalan pelanggaran HAM, dan nasionalisme agresif.

“Kami menuntut pembatalan penulisan ulang sejarah dan pencabutan rencana gelar pahlawan untuk Soeharto. Jangan biarkan fasisme berulang!” seru Usman.

Upaya penulisan ulang sejarah dinilai sebagai ancaman terhadap demokrasi dan keadilan transisional. Jika diteruskan, Indonesia berisiko kembali ke era di mana kebenaran dikubur, dan kekuasaan absolut dibungkus retorika nasionalisme semu.*

Exit mobile version