Site icon Parade.id

Pandangan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) soal Sexual Consent di Permendikbud

Foto: logo Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, dok. Ist

Jakarta (PARADE.ID)- Terkait dengan kontroversi paradigma sexual consent dalam Permendikbud 30/21 dan masih berlangsungnya proses legislasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang sejak periode 2014 -2019 lalu telah melakukan advokasi dan kajian kritis terhadap RUU serupa, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), menyatakan pandangannya.

Berikut pandangan AILA dalam keterangan persnya, Rabu (24/11/2021):

1. AILA Indonesia mengapresiasi Baleg DPR yang telah memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan draft RUU TPKS.
2. Namun setelah mempelajari Naskah Akademik dan draft terakhir RUU TPKS, AILA Indonesia menghimbau agar DPR secara eksplisit menutup semua celah masuknya paradigma sexual consent dalam draft RUU, karena dalam Naskah Akademik tersebut, tampak kerangka berpikir dan konstruksi hukum yang digunakan masih mengadopsi feminisme. Harus diingat bahwa pengadopsian sexual consent sebagai paradigma hukum telah ditolak oleh berbagai elemen masyarakat karena akan menyuburkan perilaku seks bebas dan berpotensi menjadi pintu masuk legalisasi pernikahan sejenis (LGBT), sebagaimana yang terjadi di negara-negara Barat.
3. Oleh karena itu, untuk menghindari paradigma sexual consent dalam RUU tersebut, AILA Indonesia tetap konsisten menyarankan kepada DPR untuk mengganti terminologi kekerasan seksual dengan kejahatan seksual, agar diperoleh sebuah produk hukum yang lebih komprehensif dan mampu menyelesaikan akar permasalahan kekerasan melalui upaya pencegahan yang bersifat preventif. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari pengabaian terhadap sejumlah fakta dan data di lapangan yang menunjukan maraknya kasus-kasus kejahatan seksual yang dilakukan berdasarkan persetujuan (consent) namun tidak ada payung hukum yang dapat menjerat pelakunya seperti zina dan LGBT. Jika kekosongan hukum ini dibiarkan, maka RUU TPKS akan menjadi “karpet merah” bagi pelaku kejahatan seksual karena ketiadaan norma hukum yang mengatur perbuatan menyimpang yang dilakukan dengan persetujuan.
4. Apabila RUU TPKS dimaksudkan sebagai aturan yang bersifat khusus atau “lex specialis” mengenai tindak pidana seksual, mengapa substansi RUU tersebut tidak komprehensif? Karena tidak memasukkan sejumlah tindakan penyimpangan seksual seperti homoseksual, incest, ataupun zina, yang jelas- jelas dikategorikan sebagai kejahatan seksual, dengan dalih bahwa penyimpangan seksual tersebut sudah diatur di dalam RUU KUHP. Persoalannya, hingga saat ini, RUU KUHP belum juga disahkan, dan bahkan tidak diketahui dengan pasti kapan RUU tersebut akan disahkan, mengingat perdebatan yang keras mengenai pasal- pasal dalam RUU KUHP. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi & harmonisasi antara RUU TPKS dengan RUU KUHP untuk menghindari ketidakpastian hukum yang akan merugikan efektifitas RUU TPKS, dan juga untuk menjaga sinkronisasi antara aturan yang bersifat umum dengan aturan yang bersifat khusus. Namun apabila RUU TPKS tidak hendak melakukan sinkronisasi & harmonisasi dengan RUU KUHP mengenai penyimpangan seksual, hal ini justru akan menimbulkan pertanyaan masyarakat, apakah agenda sebenarnya dari penyusunan RUU TPKS ini?
5. Keterbatasan penggunaan terminologi “kekerasan seksual” sebagai RUU, diantaranya adalah: 1) hanya dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk kejahatan; 2) terbatas pada hal-hal yang bersifat “paksaan”, “tidak adanya persetujuan”; 3) menegasikan nilai-nilai baik dan buruk yang berasal dari nilai agama, sosial, dan budaya; 4) mempersempit daya jangkau pengaturan RUU sebagai aturan “lex specialis” yang idealnya dapat mengatur perbuatan yang tidak masuk dalam kategori “kekerasan” seperti halnya sexual consent (suka sama suka) khususnya mengenai hubungan di luar pernikahan.
6. Istilah “kekerasan seksual” dalam makna pemaksaan hubungan seksual telah diatur dalam Pasal 8 UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT. []

Exit mobile version