Site icon Parade.id

Penegakan Hukum atas Nama Menjaga Hehormatan Lambang Negara Bisa Diperbaiki

Jakarta (PARADE.ID)- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie berharap praktik penangkapan, praktik penegakan hukum atas nama menjaga kehormatan lambang negara itu bisa diperbaiki. Apalagi, kata dia, di UU kita itu lambang negara bukan presiden.

“Itu pasal 36. Lambang negara itu Garuda Pancasila. Presiden itu, ya, presiden,” ujarnya, dalam perbincangan dengan Ketua MUI KH Cholil Nafis, di kanal YouTube TVMUI, belum lama ini.

“Jadi rasa peradaban demokrasi itu kan tumbuh. Jadi kalau kita biarkan ada pasal penghinaan presiden, itu delik biasa. Polisi gampang sekali menafsir. Maka kita ubah,” sambungnya.

Terkait hal itu, Prof Jimly bercerita bahwa di Negara-negara Eropa pasal-pasal tersebut masih ada. Sampai sekarang ini, dimana KUHP kita pun dari Belanda. Dua abad lalu.

Tapi, kata dia, di Belanda itu sudah berubah berkali-kali. Namun di kita justru masih belum, walau di Eropa masih ada tapi sudah tidak pernah dipakai.

“Kalau dahulu orang menginjak-injak foto orang, raja, atau ratu itu penghinaan luar biasa. Tapi sekarang ini kalau ada demo, foto raja diinjak-injak, biasa,” ungkapnya.

Itu sebabnya, lanjut dia, sewaktu mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikritik pakai kerbau, ia bersama Ibu Ani mengadu ke Polda. Waktu bertemu, dengannya, ia memuji SBY karena menjadi contoh ke depannya. Sebab menurutnya pertama kali ada presiden mengadu.

“Kalau misalnya politisi bisa saja mengatakan ‘Saya gak apa-apa kok, saya tidak terhina’, tapi beliau datang mengadu. Sehingga itu memberi pembenaran putusan MK,” kenangnya.

Tetapi kalau itu dilayani atau direspon dengan pendekatan hukum, kata dia, tentu gampang masuk penjara semua orang yang mengkritik itu. Apalagi kadang-kadang tidak jelas antara mengkritik pribadi dengan mengkritik kebijakan.

“Maknanya kalau delik aduan itu tergantung oleh orang yang merasa terhina. Kalau dia merasa terhina, dia ngadu. Baru diproses di polisi,” kata dia.

Tapi kalau delik biasa, cukup laporan, cukup informasi, polisi langsung bertindak. Akibatnya para petugas menafsir sendiri bahwa presiden sudah terhina atau tidak. Itu yang diubah jadi delik aduan.

“Kalau di MK dahulu sudah diputuskan pasal penghinaan kepada presiden itu kami hapus. Diubah, bukannya ditiadakan dalam arti boleh menghina presiden, menghina itu tidak boleh, dia cuma diubah bukan lagi delik biasa menjadi delik aduan,” kata dia.

Namun demikian, seiring perkembangan zaman—tingkat peradaban bangsa, ia tampak merasa yakin bahwa akan ada perubahan. Dimana ketika kita mengkritik, jelas perbedaannya, mana kritik kebijakan mana kritik pribadi.

Sehingga kita bisa menghindari, apa yang dinamakannya budaya kritik kita di negara demokrasi masih belum bermutu, campur aduk.

Jadi masih begitu memang kita ini. Tapi mau diapain, karena kualitas perilaku kritik kita masih seperti itu,” kata Prof Jimly.

(Sur/PARADE.ID)

Exit mobile version