Site icon Parade.id

Penertiban Kawasan Hutan oleh Satgas Merugikan Petani, Penilaian KPA

Foto: logo KPA, dok. istimewa

Jakarta (parade.id)- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengeluarkan pernyataan keras atas pelaksanaan kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2023 dan dijalankan oleh Satgas PKH. Alih-alih menindak usaha ilegal pengusaha dengan adil, kebijakan ini justru berpotensi memperparah konflik agraria dengan merugikan petani, masyarakat adat, dan kelompok rentan yang selama ini menggantungkan hidup pada tanah yang kini diklaim sebagai kawasan hutan negara.

Dalam pernyataannya, KPA menyoroti istilah “Setiap Orang” dalam Pasal 2 ayat (1) Perpres yang mengatur penertiban kawasan hutan sebagai sumber potensi konflik agraria baru. Pasalnya, kebijakan ini dapat membidik kelompok masyarakat akar rumput yang selama puluhan tahun menempati dan mengelola lahan tersebut, sementara izin usaha pengusaha besar terus diloloskan dengan leluasa oleh Kementerian Kehutanan.

KPA mengungkap data Kementerian Kehutanan yang merilis daftar 436 subjek tanah seluas hampir 800 ribu hektar untuk ditertibkan, serta klaim Satgas PKH yang sudah menertibkan hingga 2 juta hektar lahan usaha ilegal di sektor sawit, kayu, dan tambang. Namun, klaim luas dan lokasi penertiban itu tidak transparan dan justru menimbulkan kecurigaan.

Sikap kritis KPA mengemuka ketika Satgas PKH yang dipimpin tokoh militeristik, yaitu Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri, dianggap tidak memiliki pemahaman memadai tentang aspek historis dan sosial konflik agraria. Pendekatan represif dan intimidatif aparat juga sering menimbulkan kekerasan dan kriminalisasi petani. Dalam catatan KPA, selama 10 tahun terakhir ada ribuan petani yang dikriminalisasi, direpresi, bahkan puluhan meninggal akibat konflik agraria.

Kasus di Provinsi Jambi menjadi bukti nyata bagaimana Satgas PKH diperalat oleh korporasi. PT Wira Karya Sakti (WKS), perusahaan sawit anak usaha Sinarmas Group, menggunakan kekuatan Satgas untuk menggusur lahan-lahan petani anggota Serikat Tani Tebo (STT) yang telah ditempati secara turun-temurun sejak 1813. Padahal izin kehutanan yang dipakai PT WKS terbit tahun 2004, jauh setelah masyarakat menempati lokasi tersebut.

“Kebijakan ini mengkhianati semangat reforma agraria Presiden Prabowo yang menginginkan redistribusi tanah bagi rakyat. Tapi kenyataannya, tanah masyarakat malah diambil untuk diberikan kepada perusahaan lain,” tegas KPA dalam pernyataannya.

Lebih jauh KPA menilai masalah mendasar terletak pada tata kelola kawasan hutan yang cacat sejak awal, ketika penetapan kawasan hutan tidak mempertimbangkan penguasaan masyarakat adat dan petani sesuai Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Kemudian disempurnakan oleh UU Cipta Kerja yang memperbolehkan penetapan kawasan hutan secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan tanpa prosedur yang transparan dan partisipatif.

KPA bersama Serikat Tani di Jambi mendesak Presiden Prabowo untuk segera mengoreksi pelaksanaan kebijakan peraturan penertiban kawasan hutan dengan langkah-langkah:

Pernyataan ini sekaligus menjadi alarm atas potensi penindasan dan perampasan tanah yang justru dilakukan oleh aparat negara melalui satgas yang seyogianya melindungi rakyat kecil.

“Tanah dan kampung yang sudah lama ditempati harusnya dikelola sebagai aset rakyat, bukan dialihkan lagi kepada pengusaha melalui kebijakan yang tidak berperspektif keadilan sosial,” demikian penutup pernyataan KPA dan organisasi tani di Jambi.

Sikap kritis ini menjadi penting untuk mengingatkan pemerintah agar menempatkan reforma agraria bukan sekadar jargon, melainkan dijalankan dengan konsistensi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.***

Exit mobile version