Site icon Parade.id

Pilkada Serentak 2024: Bagaimana Daerah yang Bersifat Khusus?

Jakarta (PARADE.ID)- Pemilihan Umum (Pemilu) untuk Presiden, DPR, DPD, dan lainnya yang direncanakan digelar serentak pada tahun 2024 tampaknya akan menjadi pusat perhatian yang bagi banyak masyarakat di dalam negeri maupun luar negeri, karena berskala nasional.

Lalu, bagaimana dengan (pemilu serentak itu) di daerah bersifat khusus, seperti Aceh, DKI Jakarta, DIY, dan Papua? Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA) pun mendiskusikannya.

Adapun tema diskusi hari Kamis (9/9/2021) itu yakni “Pilkada Serentak 2024: Bagaimana Daerah yang Bersifat Khusus?”.

Hadir dalam acara diskusi tersebut Komisioner KPU RI I Dewa Raka Sandi Kade, Ketua Bawaslu Abhan, Muhdi Effendi yang mewakili pemerintahan Aceh, Nurzahri (Jubir) mewakili Ketum Partai Aceh Muzakir Manaf, dan pakar hukum sekaligus Anggota SIGMA Imam Nasef.

Sebetulnya, terkait itu, misal Aceh sudah ada peraturan Pelaksanaan Kekhususan dalam UU. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Komisioner KPU I Dewa Raka Sandi Kade, bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 199 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015:

Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta, Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam UndangUndang tersendiri.

“Pada praktiknya Pemilihan serentak 2020 telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tersebut,” katanya.

Dan pembentukan Partai Politik Lokal (seperti Aceh) adalah untuk berpartisipasi dalam Pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota. Adanya keterlibatan Partai Lokal Aceh pada Pemilihan Gubernur 2017 yang diikuti Partai Aceh, Partai Nanggroe Aceh, Partai Daerah Aceh.

Namun ada aPenambahan syarat calon Pasal 33 ayat (2) huruf b yakni mampu menjalankan syariat Islam dan mampu membaca AIquran sebagai bakal calon Gubernur/Wakil Gubenur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota (Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) Nomor 3 Tahun 2005).

Namun demikian, diakui olehnya, bahwa dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tidak terdapat pengaturan secara jelas terkait dengan waktu penyelenggaraan Pemilihan Serentak di Aceh hasil pemungutan suara tahun 2017, selain dalam Pasal 65 ayat (1).

“Sehingga pelaksanaan penyelenggaraan Pemilihan serentak di Aceh, diselenggarakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemilihan yang berlaku secara umum,” kata dia.

Di ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2006 pemerintah Aceh, disebutkan di Pasal 65 ayat (1) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.

Di Pasal 73 Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

“Berdasarkan ketentuan Pasal 199 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta, Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri,” jelasnya kembali.

Namun, hal disampaikan oleh komisioner KPU Dewa dikritisi oleh Nurzahri, jubir Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf.

Menurut dia, proses tersebut tidak jelas hukumnya terkait dengan Pilkada di Aceh. Alasannya karena Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh itu sudah menetapkan pelaksanaan Pilkada Aceh yang akan dilaksanakan pada tahun 2022 dengan keputusan Nomor 1 tahun 2021 yang ditetapkan pada akhir Januari lalu.

“Dan yang perlu dipahami oleh semua pihak bahwa kondisi status Pilkada di Aceh hari ini adalah sedang tertunda. Pada akhirnya statusnya adalah ditunda akibat pemerintah pusat itu tidak mau membuka rekening pelaksanaan Pilkada, karena ada sistem baru di dalam pelaksanaannya,” kata dia, di acara yang sama.

Kalau dahulu hibah pelaksanaan Pilkada itu, kata dia, bisa langsung ditransfer ke penyelenggara setingkat yang menyelenggarakan. Tetapi kasus hari ini anggarannya harus ditransfer ke KPU dulu, baru KPU kemudian mentransfer kembali ke penyelenggara di tingkat, apakah provinsi atau kabupaten kota.

Sampai detik terakhir tanggal 1 April 2021 itu batas terakhir penandatanganan nota naskah hibah dari pemerintah daerah kepada KIP. Tetapi KIP Aceh tidak bisa memberikan rekeningnya karena KPU tidak mau memberikan rekening.

“Kemudian pemerintah pusat melalui Kemendagri tidak mau memberikan rekomendasi sehingga kementerian keuangan juga tidak mau membuka kode rekening,” ungkapnya.

Padahal, lanjut dia, kondisi di Aceh ini berbeda dengan daerah khusus lainnya, seperti DKI, DIY, dan Papua, dimana Aceh seperti yang dikatakan sudah menentukan pelaksanaan pemilu. Dan menurutnya hal ini menjadi aneh.

KPU tidak menghargai keputusan lembaga penyelenggara pemilu yang menjadi bagian dari dari dari KPU itu sendiri itu. Di dalam undang-undang dikatakan bahwa semua produk hukum yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pemilu itu wajib dipatuhi oleh semua penyelenggara negara yang ada di Indonesia.

“Tidak mau mengakui belakangan setelah ada penetapan. KPU mengeluarkan surat untuk meminta membatalkan ini. 0residen kita minta penetapan lewat mekanisme pleno KPU,” kata dia lagi.

KPU, lanjut dia, tidak mau mengeluarkan itu, yang ada hanya surat yang dikirimkan kepada stakeholder yang ada di Aceh Barat, Aceh Utara Aceh laimnya untuk meminta supaya tidak melakukan penetapan. Padahal sudah sudah ada penetapan karena suratnya dibuat Februari tahun 2021.

Ia pun mengaku tertipu oleh pusat, KPU, komisi II DPR RI, dan Kemendagri dimana dalam beberapa pertemuan terkait dengan permasalahan Pilkada selalu dijanjikan akan ada pertemuan resmi multipartit terkait dengan permasalahan pelaksanaan Pilkada di Aceh.

“DPR Aceh itu sudah bolak-balik bisa mencoba menjalin komunikasi dengan pemerintah pusat tetapi di bola-bola kita ke Kemendagri. Kemendagri lempar ke DPR, DPR lempar ke KPU-Kemendagri,” akunya.

Sementara itu, Ketua Bawaslu, Abhan yang coba menengahi mengatakan bahwa selaku pengawas, badannya tidak lepas dari ketentuan normatif dan regulasi yang ada yang ada di dalam undang-undang. Artinya, Bawaslu akan mengikuti aturan sebagaimana yang disepakati bersama.

“Ya tapi ini belum menjadi keputusan. Nanti keputusan ada di forum rapat kerja maupun di komisi II soal penentuan tanggalnya,” kata dia.

Sementara itu, pakar hukum yang juga anggota SIGMA, Imam Nasef mengatakan bahwa kekhususan pemilihan di Aceh, dimana peserta Pemilihan dengan diakomodirnya “Calon Perseorangan lndependepen”, Pasca Putusan MK No. 5/PUUV/ 2007 seluruh daerah memungkinkan untuk adanya calon independen. Ada nomeklatur penyelenggara pemilihan Komisi lndependen Pemilihan (KIP) dst. Juga ada tata cara Pemilihan/Seleksi Penyelenggara pemilihan dan periodesasi Pemilihan.

“Pasal 199 UU No 1/2015 disebutkan ketentuan dalam UU ini berlaku juga bagi penyelenggara pemilihan di provinsi Aceh, DKI, DIY, Papua, dan Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam UU tersendiri. Di pasal 65 ayat (1) UU No. 11/2006 , Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil,” kata dia.

Nasef kemudian menyatakan bahwa di pasal 18 ayat 1 dan 18 b yang secara eksplisit itu menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, yang diatur dalam undang-undang implementasi atau manifestasi dari pasal 18b ayat 1.

Inilah kemudian, kata dia, melahirkan salah satu undang-undang yang sifatnya khusus istimewa yaitu undang-undang 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

“Kalau kita lihat struktur anatomi dari sistematika undang-undang 11 tahun 2006 ini memang dia ada beberapa khusus yang mengatur soal penyelenggara pemilihan. Inilah nanti yang kemudian bisa dikonversikan sebagai salah satu keputusan untuk penyelenggaraan Pilkada di Aceh,” kata dia.

Bagaimanapun, kata dia, tidak boleh dilupakan bahwa KIP Aceh dan Panwas di Aceh merupakan lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan amanat undang-undang pemerintah Aceh yang merupakan turunan dari kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Sebab MK sendiri itu sebagaimana kita tahu sebagai negara yang memiliki kewenangan menguji undang-undang itu menyebutkan secara eksplisit dalam perkembangannya.

Dan alasannya ini juga cara bagaimana menghargai bahwa adanya undang-undang pemerintah Aceh yang merupakan turunan dari kesepakatan Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

“Kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam bentuk undang-undang tersebut. Undang-undang harus dihormati, lebih-lebih oleh pembentuk undang-undang,” kat dia.

(Sur/PARADE.ID)

Exit mobile version