Site icon Parade.id

Presiden Aspek Indonesia Angkat Suara soal Turunan UU Ciptaker

Foto: Mirah Sumirat (Presiden ASPEK Indonesia)

Jakarta (PARADE.ID)- Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat ikut mengomentari turunan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang berbentuk PP. Ada empat PP, yakni PP No. 34, 35, 36, dan 37.

Menurut dia, PP itu sama saja merugikan seperti UU Cipta Kerja (Ciptaker). Bahkan ia memastikan bahwa isinya merugikan.

“PP itu takkan pernah melebihi UU di atasnya. Karena memang pakem konstitusi seperti itu. Artinya, ketika UU Cipta Kerja ini isinya sangat merugikan, dan bisa dipastikan PP turunan itu juga merugikan,” ujarnya, Jumat (26/2/2021) kepada parade.id di Jakarta.

“PP 34, 35, 36, dan 37, dari pesangon, PKWT kemudian tenaga kerja asing (TKA), kemudian jaminan sosial, ini semuanya betul-betul sangat merugikan para pekerja atau buruh,” sambungnya.

Di PP No. 34 misalnya, tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), saat ini mereka dikatakan olehnya akan membuka peluang unskill atau tidak sesuai kebutuhannya, akan masuk sebebas-bebasnya. Juga tanpa limit waktu.

Padahal sebelumnya, atau di UU No. 13 Tahun 2003, TKA jika ingin datang mesti mendapatkan izin menteri terkait.

“tu sudah sangat diatur ketika ia datang ke Indonesia harus berizin menteri. Di dalam PP tersebut tidak perlu. Dan sebelumnya itu sudah diatur sedemikian rupa,” jelasnya.

Di PP, UMSK dan UMSP Hilang

Selain itu, tentang pengupahan, Mirah mengatakan bahwa di dalam PP itu UMSK dan UMSP dihilangkan, yang sebelumnya ada.

“Lalu tentang perhitungn UMP. Sebelumnya dihitung dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dan didasari 64 item KHL (hidup layak). Itu dihilangkan. Menjadi diserahkan ke daerah masing-masing dan ditetapkan hanya seorang Gubernur,” kata dia lagi.

“Itu dihitung oleh inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Jadi ‘dan’-nya dihilangkan. Jadi tuh milih salah satu,” ia memperjelas.

Persoalannya, kata dia, kalau diserahkan ke daerah masing-masing maka itu dihitung berdasarkan kebutuhan konsumsi. Sedangkan konsumsi masing-masing daerah tentunya akan berbeda.

“Dan yang paling fatalnya lagi, saya kasih contoh UMP Jawa Barat Rp1,8 juta/bulan. Artinya nanti pekerja-pekerja sekarang akan balik ke Rp1,8 juta,” contohnya.

Ada yang lebih parah lagi perhitungan upah dari PP itu, yakni upah dihitung dari satuan waktu dan hasil, dalam hal ini per jam. Ini kata dia lebih parah.

Jika sudah begitu, dan kalau kita bicara pesangon, maka dengan PP itu tidak akan dapat lagi, karena untuk menghitung uang pesangon dia harus menjadi karyawan tetap. Tidak semua pekerja itu nantinya mendapat pesangon.

“Ada JKP (jaminan kehilangan pekerjaan). Itu pun ada syaratnya. Jika pekerja itu kontrak itu sudah 1 tahun lebih. Masalahnya para pengusaha (baca: oknum-oknum) ada yang memperkerjakan karyawan 1-5 bulan saja. Jadi untuk mendapatkan JKP tidak ada/bisa,” terangnya.

“Jadi ini hanya pepesan kosong PP-PP itu (34, 35, 36, 37) hanya untuk on the papers saja,” ia kembali mempertegas.

Soal PP ini, menurut dia harusnya pemerintah ini tahu adab dan etika. Kita, (KSPI dan KSPSI Andi Ghani) kata dia, sedang mengajukan JR di MK. Maka harusnya tidak boleh PP itu ditandatangani.

Hold dahulu. Tahan dahulu. Tetapi apa boleh buat, PP itu sudah ditandatangani. Dan menurutnya hal itu betul-betul tidak beretika.

Harapan dia harusnya PP itu dibatalkan saja. Jangan ada dahulu, karena harusnya kita menunggu hasil JR di MK.

“Kalau putusan kami sudah selesai di MK dan pahitnya, maka PP ini akan kita ajukan ke MA. Sambil menunggu itu kami akan melakukan aksi di beberapa provinsi dan Pusatnya di Jakarta,” tandasnya.

(Rgs/PARADE.ID)

Exit mobile version