Site icon Parade.id

Pro Kontra SE Menag Nomor 5/2022 tentang Pedoman Pengeras Suara

Jakarta (PARADE.ID)- Menteri Agama (Menag) mengeluarkan surat edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 tentang pedoman pengeras suara beberapa waktu lalu telah menciptakan pro kontra di kalangan masyarakat. Ada yang menolak, ada yang sebaliknya.

Organisasi masyarakat Brigade Muslim Indonesia (BMI) lantas mengadakan dialog terkait itu, hari ini, Sabtu (12/3/2022).

Hadir sebagai pemateri dalam dialog publik itu di antaranya Ketum BMI, Muh. Zulkifli, Kabid Fatwa MUI Sulsel, Prof. A.M. Ruslan, Akademisi, Amal Akbar, Ketua BKPRMI Makassar, Muhammad Khaerul, Pengurus DMI Sulsel Biro Dakwah dan Ukhuwah, Erwin Baharuddin, dan Ketua OKK Karang Taruna Provinsi Sulsel, Mustakim Zulkifli.

Sementara tema yang diusung ialah “Pro Kontra Surat Edaran Menag No. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara, Terima atau Tolak?”

Pembicara pertama, Akademisi Unismu Amal Akbar mengawalinya dengan mengingatkan, bahwa di masa sekarang ini, penting untuk kita memahami secara mendalam teks-teks yang berseliweran di media sosial. Dan mengenai pernyataan Menag itu, dikatakan olehnya terkesan memberikan perbandingan antara suara anjing dengan suara dari pengeras suara dari masjid tetapi penting pula untuk menyimak secara utuh rekaman wawancaranya agar kita bisa memahami substansi pembicaraannya.

“Mengenai Surat Edaran Menag No. 5 Tahun 2022, secara kebahasaan dari sisi lexical density-nya saya rasa bisa kita pahami substansinya hanya 100 dB itu yang butuh penyambung lidah kepada masyarakat. Bahkan seratus dB itu pun dapat menimbulkan dampak negatif jika didengarkan dalam jangka waktu tertentu,” kata dia, dalam siaran persnya kepada parade.id.

Pengurus DMI Sulsel Biro Dakwah dan Ukhuwah, Erwin Baharuddin mengatakan, bahwa soal SE Menag seharusnya tidak perlu diributkan. Menag pun menurutnya juga tidak membandingkan antara suara azan dan lolongan suara anjing.

Ia pun mempersilakan hal demikian dikaji secara linguistik pernyataan Menag, serta lihat konteksnya.

“Inilah gambaran masyarakat kita sekarang yang sedang genit-genitnya beragama. Ghirah beragama sedemikian tinggi tetapi tidak diimbangi dengan semangat literasi. Saatnya kita semua untuk menyudahi polemik yang tidak produktif ini,” imbaunya.

Sementara itu, Ketum BMI, Zulkifli mengatakan bahwa SE ini pada dasarnya hanya berupa imbauan kepada pengurus masjid agar bisa lebih bijaksana dalam menggunakan pengeras suara di masjid.

“Kita sepakat syiar itu harus tetap berjalan tetapi jangan sampai prosesnya memberi gangguan kepada orang sekitar kita. Kondisi sekarang kita tahu jumlah penduduk semakin banyak, dimana tingkat kesibukan semakin tinggi dan tingkat emosional semakin tinggi sehingga kepekaan kita untuk bisa mempelajari kondisi sekitar kita harus lebih baik,” ujarnya.

“Dengan demikian kita akan mampu menegur diri kita sendiri sebelum ditegur orang lain,” sambungnya.

Dikuranginya waktu pengunaan pengeras suara dan mengurangi volume pengeras suara di masjid menurutnya tidaklah mengurangi nilai ibadah kita sehingga ia rasa kita tidak perlu membuat berita berita negatif mengenai surat edaran ini.

Adapun anggapan beberapa orang yang berusaha menggiring statemen Menag sehingga menudingnya dianggap menistakan agama karena membadingkan azan dan gongongan anjing, maka ia mengajak kepada seluruh umat Islam untuk bisa lebih mengkaji konteks kalimat tersebut dengan bijak.

Hal itu agar kita tidak disesatkan oleh infomasi yang salah tentang statemen Menag.

“Intinya sampai saat ini saya pun heran jika kalimat beliau divonis melakukan tindak pidana pensitaan agama hanya dengan asumsi-asumsi dan logika tanpa mengkaji fakta hukumnya,” akunya.

Hal yang hampir senada juga disampaikan Kabid Fatwa MUI Sulsel, Prof. A.M. Ruslan. Menurut dia, SE itu tidak ada masalah. Malah ia berharap surat edaran ini bisa dipahami dan disosialisasikan sebagai imbauan demi menciptakan kerukunan umat yang lebih baik.

“Adapun mengenai info hoax yang muncul di masyarakat, yang mengatakan bahwa ada dugaan suara azan dikecilkan supaya kelak bisa dihilangkan, saya rasa itu hanyalah statment yang menyesatkan, apalagi jauh sebelumnya surat edaran seperti ini sudah pernah ada dan tidak ada yang ribut-ribut,” sampainya.

Begitu pula berita-berita yang berusaha menghakimi statment Menag, ia rasa itu hanya statment yang tidak memiliki dasar kuat karena menteri ini hanya berbicara tentang volume suara toa yang jika tidak diatur diduga dapat mengganggu orang orang disekitarnya.

“Pesan saya kepada seluruh anak-anakku peserta dialog bahwa agar manusia tidak kebablasan dalam mengkritik maka manusia memerlukan keseimbangan dan sinergisitas antara ilmu pengetahuan dan agama. Sehingga sebelum mengambil keputusan kita dapat mengkaji masalahnya berdasarkan kaidah-kaidah yang benar,” tuturnya.

Ketua BKPRMI Makassar, Muhammad Khaerul justru bersyukur atas keluarnya SE tersebut, karena SE itu pada dasarnya untuk mengatur penggunaan alat pengeras suara di masjid. Agat volume suara tidak memberi gangguan kepada orang di sekitar.

“Dan kami di BKPRMI akan berusaha mensosialisasika SE ke masyarakat Makassar,” katanya.

Selaku Ketua panitia Hanif Aji Muslim, mengaku merasa diberi pencerahan soal SE itu. Ia pun berharap apa yang disampaikan oleh para pemateri dapat menjadi masukan positif untuk kita.

Hal itu agar kiranya kita dapat meningkatkan kemampuan menganalisa pendapat orang, sehingga kita tidak muda terjebak dengan isu-isu menyesatkan tentang polemik SE, serta statment Menag yang di Riau itu beberapa waktu lalu, yang dinilai membandingkan suara azan dan gongongan anjing.

“Alhamdulillah kami sangat berterima kasih atas kehadiran para pemateri yang telah memberi pencerahan kepada para peserta mengenai SE dan statment Menag yang juga sempat menjadi perhatian publik,” tutupnya.

(Verry/PARADE.ID)

Exit mobile version