Jakarta (PARADE.ID)- Jaringan aktivis ProDem, atau Pro Demokrasi menyoroti Pandora Papers yang menyeret dua nama pejabat tanah air, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan dan Airlangga Hartarto.
ProDem pun (sempat) melakukan aksi unjuk rasa ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meminta agar KPK untuk mengusutnya.
“Kita memita kepada KPK untuk mengusut tuntas perihal Pandora Papers,” ujar Ketua ProDEM, Iwan Sumule di depan gedung KPK, Rabu (6/10/2021).
Pasalnya, menurut dia, aksi kedua pejabat negara itu tidak mencerminkan sikap yang baik. Sebab, dalam Pandora Papers itu Luhut dan Airlangga melakukan tindakan untuk menghindari pajak.
“Orang bijak taat pajak. Kalau orang tidak taat pajak berarti bukan orang bijak,” ungkapnya, dikutip voi.
Dalam aksi yang diklaim diikuti 50 orang itu berencana akan menyerahkan sepasang kelelawar. Hewan itu disimbolkan sebagai dua pejabat negara yang penghisap darah masyarakat.
Hanya saja, rencana itu batal. Sebab, kedua kelelawar itu disebut telah dirampas oleh pihak yang mencoba menghalangi aksi demonstrasi mereka.
“Sebagai simbol vampir, simbol penghisap darah rakyat. Rakyat hari ini dibebani dengan berbagi macam urusan pajak,” kata Iwan.
Terkait ada pihak yang mencoba menghalangi aksi, aktivis senior Muslim Arbi memberikan tanggapan. Dan ia menyayangkan hal itu terjadi.
“Disayangkan memang, sebelumnya siang tadi pukul 12.00-an siang kala pendemo berupaya berjalan menuju ke depan gedung KPK, tampak beberapa perangkat aksi diamankan. Sempat dihalau pula oleh beberapa oknum orang tak dikenal,” demikian pengakuan aktivis senior Muslim Arbi.
“Lantaran, aksi ini untuk menyampaikan aspirasi, menyangkut dugaan nama dua pejabat negara Menko Marves Luhut san Menko Perekonomian Airlangga,” kata dia.
Bila perlu, lanjut dia, KPK pro aktif dan mengundang. Didengar aspirasinya, sehingga aksi tadi tidak gagal.
Ia dan lainnya di sana mengaku hanya meminta KPK untuk segera mengklarifikasi terkait Pandora Papers yang menyeret dua pejabat kita.
“Mengapa aksi dari teman-teman Prodem ini justru dihalau. Soalnya, setau saya, polisi ini mengawal konstitusi, mengawal demokrasi, dan mengawal penegakkan hukum,” katanya.
Padahal, kata dia, aksi tersebut adalah penyampaian aspirasi yang dilindungi dan dijamin oleh UU. Dimana termaktub dalam UUD 45 pasal 28 ayat e maupun dalam UU penyampaian pendapat nomor 9 tahun 1999 mengenai kebebasan berpendapat dan menyampaikan di muka umum.
“Yang jadi pertanyaan selanjutnya, kenapa ada penghalangan? Padahal jelas, ada polisi ditugaskan menjaga,” tanyanya.
Arbi sendiri sebenarnya turut serta hadir di KPK untuk berpartisipasi dengan aktivis ProDem. Tetapi saat ia datang ke lokasi pukul 13.00 WIB, massa aksi justru tidak ada.
Dan aksi sendiri seyogyanya akan berlangsung pukul 11.30 WIB-selesai. Sebab ada dugaan penghalauan, aksi pun bubar sebelum Arbi tiba.
Senada dengan Arbi, aktivis lainnya yang bernama Paskah Rianto, pun gagal bergabung dengan massa ProDem. Saat ia tiba, massa sudah tidak ada.
Ia mengaku terlambat datang ke lokasi, karena ia ia melakukan perjalanan dari luar kota.
Namun, ia ikut mengomentari rencana aksi tersebut yang menyoal Pandora Papers. Menurut dia, jika benar dua nama pejabat itu muncul di Pandora Papers, maka rasa malu keduanya perlu diragukan.
“Di Jakarta, dekat dengan kekuasaan pusat, namun mereka berani melakukan pelanggaran terhadap lembaran produk hukum tersebut,” ujarnya.
Sebenarnya, kata dia, hal ini sudah lama. Rianto pun menyebut keduanya (jika benar) tidak ada malunya. Kendati hanya kasuistis, tapi hukum itu harus untuk semua orang, kata dia.
Sementara itu, koordinator lapangan atau aksi, Syarif Hidayatullah tampak tidak terlalu menyoalkan “pembubaran” aksi tersebut. Ia lebih menyoalkan ke materi aksi.
Ia menilai bahwa adalah ironi ketika pandemi seperti ini, dimana ekonomi rakyat dan negara sedang terpuruk, utang negara menggunung, korupsi merajalela, besarnya defisit keuangan negara, dan pendapat negara dari pajak jauh dari target—rakyat jadi korban penghisapan, dibebani berbagai pungutan pajak, sementara para menteri atau pejabat negara justru tampak menghindar membayar pajak.
Bahkan disinyalir melakukan kejahatan pencucian uang (money laundry) di negara suaka pajak.
“Muncullah kedua nama ini. Mereka adalah menteri. Menko lagi, dimana Luhut dan Airlangga Hartarto. Membuat kaget rakyat Indonesia,” ujarnya.
“Kami aktivis, sedari Orde Lama hingga Orde Reformasi mengetahui banyak orang tak tersentuh hukum. Dimana para pendiri bangsa, dimana di mata konstitusi, kemerdekaan adalah tempat berkumpul, berkata dan lisan,” tampak sesalnya.
Ia pun mengimbau kepada aktivis untuk tidak takut akan adanya dugaan ancaman-ancaman karena menyoalkan Pandora Papers ini.
“Sebelum reformasi 98 kita sudah menjalankan hal-hal seperti ini. Sesuai UUD 1945 kita jalankan,” klaimnya.
Perlu diketahui, International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) berhasil mengungkap skandal keuangan ratusan politikus dan pejabat tinggi negara. Mereka disebut-sebut ketahuan merahasiakan harta mereka melalui badan usaha di luar negeri alias offshore company.
Data tersebut mengklaim ada 35 pemimpin negara yang ketahuan memakai perusahaan offshore, termasuk Raja Abdullah II dari Yordania. Situs ICIJ kini sudah diblokir di negara tersebut.
Penggunaan jasa offshore bukan sesuatu yang ilegal. Akan tetapi, offshore telah identik dengan mencuci uang, suap, aliran uang mencurigakan, menghindari pajak, hingga berbagai masalah lainnya.
Masalah menghindari pajak ini dinilai merugikan negara-negara miskin, sebab bendahara negara jadi kesulitan mencari dana untuk infrastruktur seperti membangun jalan, rumah sakit, dan sekolah.
Dokumen ini melingkupi data 50 tahun, kebanyakan berasal dari 1996-2020. Jumlah yang terkuak dua kali lebih besar ketimbang investigasi Panama Papers lima tahun lalu.
Beberapa pemimpin negara namanya diklaim disebut di Pandora Papers, yakni Raja Abdullah II dari Yordania, Perdana Menteri Patrick Achi dari Pantai Gading, Perdana Menteri Andrej Babiš dari Republik Ceko, kemudian presiden Ekuador, Kenya, dan Gabon, dan mantan presiden El Savador, Panama, Paraguay, dan Honduras.
Di Meksiko, sejumlah puluhan politisi terjerat Pandora Papers. Bahkan jumlah total penduduk Meksiko yang bermunculan di Pandora Papers sepuluh kali lebih besar dibandingkan nama-nama yang muncul di Panama Papers yang diterbitkan pada tahun 2016.
Disebutkan, seperti diungkap oleh ICIJ lembaga internal yang berkantor di Amerika menyebutkan Pandora Papers, membuka dan menyembunyikan harta mereka untuk menghindari pajak.
(Sur/PARADE.ID)