Site icon Parade.id

Purnapaskibraka sebagai Duta Pancasila, Megawati Beri Arahan, Ini Isinya

Jakarta (PARADE.ID)- Mantan Presiden RI yang sekaligus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarnoputri memberikan arahan kepada Purnapaskibraka, sebagai Duta Pancasila. Hadir dalam kegiatan tersebut Presiden Jokowi, Menpora Zainudin Amali, Setkab Pramono Anung, dan Kepala BPIP Yudian Wahyudi

Berikut isi pidato (arahan) Megawati, kemarin, diikuti melalui kanal YouTuber Sekretariat Presiden:

Saya merasa terhormat, karena diudang Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo untuk hadir di acara BPIP yang akan mengumkan, yang disebut Purnapaskibraka karena telah selesai menjalankan tugasnya, tetapi akan diaktifkan sebagai duta Pancasila. Tentunya juga kepada Ketua BPIP, di sini juga ada Menpora dan Setkab.

Jadi, ketika BPIP itu didirikan, saya sebagai Ketua Dewan Pengarah, BPIP langsung berpikir, karena saya setiap 17 Agustus dari dulu sampai kemarin pun diundang untuk penaikan maupun penurunan bendera yang sekarang sudah bukan yang asli.

Saya pun sebenarnya purna juga karena saya pernah menjadi seperti kalian, pembawa bendera pusaka. Kalau saya waktu itu alhamdulillah masih asli. Saya yang membawa.

Nah, saya berpikir, sebetulnya berapa banyak anak muda Indonesia yang direkrut menjadi calon anggota Paskribaka dari tingkat nasional sampai tingkat kabupaten/kota, karena saya sering melihat tayangan-tayangan, baik saya mengikuti yang nasional, selalu melihat dari televisi yang provinsi, kabupaten/kota maka saya mencari informasi bahwa menurut catatan yang ada, setiap tahun, Bapak Presiden, kurang lebih 25.000 calon.

Jadi, saya melihat ini tidak bisa lagi untuk tidak diaktifkan. Kalian, sebagai pemuda pemudi bangsa Indonesia harusnya, dulu waktu saya masih kecil, dulu ibu tinggal di sini, dulu ibu pernah naik pohon ini, itu nostalgianya. Tetapi pada waktu itu, orang tua ibu, selalu menggembleng, yang selalu ditanyakan ‘Kamu itu sudah tahu belum warga apa?’ Saya sudah pintar, warga Negara Indonesia. ‘Bagus. Supaya tahu’.

Ayah saya Presiden pertama republik Indonesia ini, Bung Karno. ‘Lalu, dengan demikian kamu mau menjadi apa?’ Saya mau menjadi orang yang pintar untuk membantu mendirikan republik ini. Ayah saya tersenyum.

Nah, bayangkan. Saya tidak tahu sebelum ada BPIP, setelah kalian seperti sekarang, purna, telah melakukan tugas, mengerek bendera kemarin, 17 Agustus, apakah setelah itu kocar-kacir?

Nah, ternyata, saya tanya kiri kanan, akhirnya saya diberikan keterangan, saya tidak tahu dari bapak, ada yang namanya PPII. Purnapaskibraka, yang sudah purna. Jadi saya mencoba menghubungi mereka.

Menanyakan apa saya yang kalian lakukan setelah tidak lagi membawa bendera merah putih kita. Jadi, saya mendengar maka saya menjadi prihatin, karena bagi saya alangkah sayangnya.

Alasan Menjadikan Purnapaskibraka Duta Pancasila

Padahal kalau dipikir, kalian akan menjadi kader-kader bangsa utama yang tahu benar arti Pancasila, yang harus menjadi tameng dari Pancasila itu tidak hanya digembar-gemborkan, tapi dilakukan, dilaksanakan. Itulah mengapa kami dari BPIP membangun untuk Purnapaskribaka ini menjadi duta Pancasila.

Saya berkata pada Pak Ketua, ‘Jangan sembarangan, loh. Harus lewat testing yang ketat’. Mengertikah pemuda pemudi kita ini arti Pancasila? Bagaimana melaksanakannya? Mengertikah mereka kalau ideologi Pancasila itu digoyang, apa yang harus kalian perbuat.

Kemarin waktu hari pekan Bung Hatta, saya mengatakan dulu orang itu rasanya sama rasa sama rata, karena semuanya dipanggil bung. Bung Karno, bung Hatta, bung Sjahrir dsb. Rasanya kok dekat sekali. Sampai istilahnya yang di bawah, itu pun bung. Bung Karno dipanggil mereka bung. Tapi ada juga yang jeli, Bapak.

Ada yang bertanya pada saya, ‘Ibu kan perempuan, jadi kalau panggilannya untuk perempuan apa ya, bu?’ Wah, saya ndak bisa jawab itu. Masak perempuan dipanggil bung juga? Harus dicarikan kosakatanya. Sehingga dengan demikian Pancasila itu bukan orang.

Jadi kalau sekarang itu kebetulan, kita tutup pakai masker, dia itu harus ada di hati kita. Di dada kita.

Kalian sudah ditempa untuk membawa sebuah bendera. Bendera itu bukan sembarang bendera.

Saya tanya kenapa warnanya merah putih. Itu mengambil dari simbol kerajaan Majapahit, yang namanya Umbul-umbul gula kelapa. Dulu bukan begitu benderanya, dulu. Umbul-umbul kan lebih panjang. Itu sudah dipakai ketika kerajaan Majapahit. Gula kelapa itu dari gula aren, gula kelapa itu.

Kelapa itu putih. Jadi artiya merah putih adalah berani dan suci. Jadi bukan sembarangan. Yang menjahit pertama bendera pusaka dan mengapa disebut bendera pusaka adalah kebetulan ibu saya, ibu Fatmawati.

Saya nanya waktu itu, ‘Waktu menjahit itu ndak takut ya karena masih dalam penjajahan Jepang? Siapa yang tidak takut?’

Cerita bendera pusaka itu, Bapak Presiden, juga tidak ada bahwa pernah dipisah.

Jadi, waktu sebelum kemerdekaan, ibu saya, disuruh oleh bapak saya, ini bukan nostalgia, ini sejarah republik Indonesia, ibu saya disuruh menjahit, mencari warna merah itu ternyata sulit. Ibu saya bilang, ‘Kebetulan ada juga orang Jepang, pengusaha, saya masih ingat namanya, Bapak Simitsu’.

Dia itu simpatisan Indonesia. Dia itu yang mencarikan warna merah. Jadi dijahit oleh ibu saya. Itulah yang pertama dikibarkan di gedung Peganggsaan Timur, yang sekarang disebut gedung Proklamasi.

Saya sering bertanya pada anak muda, karena jangan kesan merdeka itu, ya sudahlah merdeka, tidak perlu lagi kita perjuangkan. Kebayang tidak waktu itu, ya? Untung Jepang pada waktu itu sudah mulai resah. Mereka sudah melihat, mereka akan kalah dengan sekutu. Dan itu sudaj diperhitungkan oleh Bung Karno.

Ketika ditanya oleh teman-temannya, ‘Kapan bung Indonesia itu bisa merdeka?’ Beliau bilang, ‘Kalau terjadi perang pasifik, di situlah mata rantai, penjajahan itu akan kita putuskan’. Itu luar biasa loh, adek-adek.

Cerita ini, coba bayangkan, kalian yang sudah berdiri begini, coba kalau masih Jepang dan Belanda apa masih bisa di sini? Never. Ndak akan. Berapa banyak pejuang kita yang telah mengorbankan dirinya.

Saya selalu mengatakan apa arti kemerdekaan itu. Kalian pergilah ke Taman Pahlawan. Kalau itu diberikan, tidak akan mungkin ada Taman makam Pahlawan. Ya, enak-enak saja dikasih. Sampai Presiden malam-malam harus upacara. Renungan suci di Kalibata.

Kenapa? Supaya kita mengerti hidup kita yang telah melewati alam kemerdekaan itu tidak ada garanty. Kalau kalian, pemuda pemudi yang lembek, yang sudah ‘mosok meski mikirin merdeka, udah aja merdeka’. Ndak bisa. Kalau suatu ketika Negara memanggil, apa jawabanmu? Beranikah kamu menjadi sukarelawan seperti dulu?

Dulu, saya sampai masih dengar sering pejuang datang ke sini. Kalau bertemu sama bung Karno saya ketawa. Kenapa? Bilangnya gitu, ‘Bung, merdeka atau mati?’ Saya sebagai anak-anak mungkin, SD begitu, saya pikir kok merdeka atau mati. Karena itu semangat. Semangat yang tidak luntur.

Bisakah kalian mengucapkan itu kalau Negara itu memanggil dalam bahaya? Kamu sebagai orang pasti akan disebut adalah kader-kader pancasilais. Ya, kalau ndak mau, mundur. Gampang.

Saya bilang kepada Pak Kepala, siapa ndak mau karena mungkin ini kan hanya sebuah pekerjaan kaderisasi politik. Kalau ndak mau ya ndak apa-apa. Monggo. Tapi mundur. Tidak ikut duta Pancasila. Siapa mau, daftar, karena akan digembleng.

Gemblengannya itu syaratnya, adalah turun ke bawah ketemu sama rakyat. Tanya penderitaannya. Saya juga dulu suruh siap, siap, hormat gitu, siap. Suruh manggil ‘ndan’. Opo ini? Rupanya komandan. Ya, karena saya juga pernah seperti kalian ini.

Nah, tapi sanggupnya jangan setengah hati. Mikir. Kalau ndak sanggup, sorry, saya ndak siap, mundur. Monggo. Jangan jadi duta Pancasila. Ini bukan kerja gampang. Saya sudah bicara dengan Pak Jokowi. Ini kebetulan ada Menpora.

Ndak bisa nasib bangsa ini hanya dibiarkan keleleran. Tidak ada perencenaan masa depan, termasuk pemuda pemudinya. Mereka itu adalah benteng Negara. Enggak lagi pakai mikir .

Ketika Bung Karno mengomandokan Dwikora, saya anak Presiden loh, kalau saya menolak boleh, loh. Dan saya ndak ngomong sama Bapak saya, loh. Saya masuk sukarelawan, loh. Baris berbaris, pegang senjata di lapangan banteng. Teman-teman sekolah saya daftar.

Kenapa, sih? Itu kecintaan kita pada Negara. Kalian harus menjadi duta Pancasila. Menjadi orang politik. Politik beneran. Bukan politikus. Orang yang hanya mejeng, saya bilang. Tapi benar-benar bela Negara. Ndak gampang, loh.

(Di sela-sela arahan) “Ini adek yang satu ini dari mana, ya? Saya dari kemarin, itu yang rambutnya keriting dari Papua kah atau dari mana, ya?”

Papua.

“Dari Papua, toh.”

Karena kalau sudah pakai ini (masker) saya suka ndak bisa lihat orang. Dari Papua.

Saya sudah pernah ke Papua, ke mana-mana, saya lihat Indonesia. Saya bilang ke Pak Presiden, ‘Bapak, kita taruhan, yuk? Bapak udah pernah belum ke Dobo? Beliau belum. Makanya saya mau tagih janji. Dobo iti kecil, di daerah kepulauan Maluku situ. Saya pernah ke Tobelo dan Jailolo. Ayo di mana? Itu karena apa? Kita sebagai pemimpin turun ke bawah.

Lihat nasib rakyat kita. Seperti sekarang beliau. Tadi saya mesti pidato juga. Saya bilang, sampai Pak Jokowi saya tangisi. Kenapa? Mikirin rakyat sampai badannya kurus. Dan saya tidak terima, Bapak, waktu tadi, biar saja mau dibully, saya tidak takut.

Saya bilang, saya dukung Pak Jokowi. Ya, memang iya. Mau dibully seribu kali, berapa pun saya, apa itu, itu semangat perjuangan. Api yang tak kunjung padam. Membela Negara.

Jadi kalian itu mesti kokoh, tegar, berani. Kalau ada orang yang mengatakan apa itu Pancasila? Ayo kita debat baik-baik. Cuma kamu udah pernah baca belum Pancasila?

Dulu banyak mahasiswa menantang seperti itu. Saya bilang mau. Tapi kamu baca dulu lahirnya Pancasila. Kalau sudah, boleh debat kita. Saya ndak mau debat pokrol bambu.

Nah, adek-adek mau ndak jadi duta Pancasila? Kalau ndak, segera bertemu Pak Yudian. ‘Pak sanggup deh, Pak. Kayaknya berat banget’.

Ndak mungkin ada yang mengatakan, kalau kita mengubah ideologi kita dengan ideologi lain, saya jawab pasti Negara kita ambruk. Ndak ada yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ndak ada yang namanya Bhineka Tunggal Ika. Bermacam-macam tapi satu jua.

Pandemi ini akan membuka hal-hal yang belum terbuka. Antara lain apa? Untung kita orang Indonesia. Kenapa? Gotong royong kita ini kuat sekali. Sangat kuat.

Saya lihat, orang tua yang tinggal di sebuah rumah yang lagi isoman, orang-orang di sekitarnya gantian memberikan makanan buat dia. Itu gotong royong.

Lalu mau dirobek-robek, mohon maaf ya, ibu biar udah tua begini, ibu lawan orang yang kayak begituan. Enak aja. Kamu hidup di mana? Kamu ikut berjuang? Pasti akan aku bilang begitu. Mana perjuanganmu untuk Indonesia raya ini? Mana?

Jelek-jelek saya, masih ada. Jangan asal ngecoak-ngecoek, bikin hoax. Jadi jangan takut dibully. Biarin aja.

Begitulah wejangan saya. Terima kasih banyak, Pak Jokowi, udah dikasih kesempatan.

Jadi biasanya, memang pidato saya kuat bisa sampai dua jam dsb, karena memberi semangat bagi anak-anak yang ingin mengdengarkan saya.

Demikianlah, adek-adek, anak-anakku tercinta. Terima kasih sekali lagi dari Bapak Presiden atas kesempatan ini. Kami minta doa restu supaya BPIP bisa terus menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang diingini Bapak Presiden.

(Sur/PARADE.ID)

Exit mobile version