Jakarta (parade.id)- Delapan belas akademisi hukum pidana terkemuka dari berbagai universitas di Indonesia secara tegas menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 yang tengah dibahas DPR RI. Mereka menilai RKUHAP versi saat ini justru menjadi “antiklimaks reformasi hukum pidana” dan berpotensi memperkuat kekuasaan koersif aparat penegak hukum.
Dalam pernyataan sikap yang dirilis hari ini, para akademisi yang dipimpin Prof. Harkristuti Harkrisnowo dari Universitas Indonesia menyoroti kontradiksi mendasar antara RKUHAP 2025 dengan semangat progresif KUHP Nasional 2023.
“KUHP Nasional 2023 mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia dan prinsip keadilan di atas kepastian hukum. Namun RKUHAP justru mempertahankan pendekatan prosedural lama yang represif dan formalis,” tegas para akademisi dalam pernyataannya, Jumat (18/7/2025).
Yang lebih mengkhawatirkan akademisi hukum pidana, RKUHAP sama sekali tidak mengatur pelaksanaan putusan jenis-jenis sanksi baru dalam KUHP 2023, termasuk sanksi bagi korporasi. Padahal, KUHP Nasional 2023 mengedepankan prinsip pidana penjara sebagai upaya terakhir dengan berbagai alternatif sanksi.
Para akademisi mengidentifikasi beberapa celah berbahaya dalam RKUHAP 2025 yang dapat disalahgunakan aparat. Berikut celah tersebut:
- Investigasi Khusus Tanpa Kontrol: RKUHAP memungkinkan kewenangan undercover buy dan controlled deliverytanpa aturan persyaratan dan prosedur yang jelas.
- Penahanan Melanggar Habeas Corpus: Penahanan dapat dilakukan tanpa mekanisme kontrol yudisial yang efektif, melanggar prinsip habeas corpus yang menjamin seseorang segera dihadapkan ke hakim.
- Penetapan Tersangka Lewat Kekerasan: Pasal 85 ayat 6 tidak memiliki konsekuensi hukum yang cukup untuk mencegah praktik penyiksaan dalam penetapan tersangka.
Salah satu kritik paling keras adalah penghapusan mekanisme check and balances dalam sistem peradilan. RKUHAP memungkinkan hampir semua upaya paksa dilakukan tanpa izin pengadilan (judicial scrutiny) berdasarkan “penilaian penyidik” semata.
“Penggeledahan dan pemblokiran data dapat dilakukan tanpa kriteria objektif dan tanpa pengawasan pengadilan. Bahkan pengakuan bersalah dapat dibuat di tingkat penyidikan tanpa pengawasan,” ungkap Prof. Dr. Pujiyono dari Universitas Diponegoro.
RKUHAP juga dinilai melemahkan posisi tersangka dan peran advokat:
* Hak atas bantuan hukum tidak dijamin secara eksplisit
* Penolakan pendampingan hukum tidak memerlukan kontrol hakim
* Tidak ada jaminan akses advokat terhadap bukti dan berkas perkara, bertentangan dengan prinsip equality of arms
Hak praperadilan yang selama ini menjadi benteng terakhir perlindungan hak tersangka juga dikebiri. Upaya paksa yang sudah mendapat izin tidak dapat diuji melalui praperadilan, menghapus mekanisme penting untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat.
RKUHAP juga dinilai gagal merespons dinamika hukum kontemporer. Tidak ada pengaturan tindak pidana adat yang telah diakomodasi KUHP Nasional 2023, tidak ada ketentuan khusus perlindungan lingkungan hidup, dan tidak ada pengaturan penggunaan teknologi informasi dalam proses pemeriksaan.
Lebih kontroversial lagi, RKUHAP menetapkan Polri sebagai penyidik utama yang mengharuskan PPNS dan penyidik khusus di sektor strategis mendapat persetujuan Polri. “Ini menghambat efektivitas penyidikan berbasis keahlian teknis,” kritik Sri Wiyanti Eddyono dari UGM.
Para akademisi juga mengkritik keras proses pembahasan yang dinilai “cacat prosedural”. DPR dan Pemerintah hanya mendengar sebagian kecil kelompok secara selektif, sementara kelompok terdampak seperti korban salah tangkap dan korban penyiksaan tidak diberi ruang.
“Peran akademisi hanya dijadikan pelengkap administratif dan simbol legitimasi, bukan mitra substantif dalam pembahasan,” ungkap Dr. Febby Mutiara Nelson dari UI.
Proses ini dinilai melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
RKUHAP ditetapkan berlaku 2 Januari 2026, namun peraturan pelaksana baru akan disusun setelahnya. “Akan ada kekosongan norma selama setahun yang berpotensi menimbulkan kekacauan implementasi,” peringatkan para akademisi.
Dengan waktu yang sangat terbatas, belum ada kepastian kesiapan aparat penegak hukum maupun sosialisasi publik yang menyeluruh.
Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia menuntut:
1. Penghentian Pembahasan: Presiden RI dan DPR RI segera menghentikan pembahasan RKUHAP 2025 dan mengembalikannya ke proses yang transparan dan partisipatif
2. Penyusunan Ulang Substansial: Melibatkan perguruan tinggi, akademisi, LBH, NGO, korban, serta lembaga independen seperti Komnas HAM, KY, Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman
3. Integrasi Total: Harmonisasi penuh antara KUHP dan KUHAP agar sistem hukum pidana Indonesia benar-benar modern dan sesuai konstitusi
“Reformasi hukum pidana yang tidak selaras antara aspek materiil dan formil hanya akan menghasilkan sistem hukum yang kontradiktif,” tegaskan para akademisi.
Mereka menegaskan bahwa penolakan ini bukan untuk menolak pembaruan hukum acara, tetapi untuk memastikan hukum acara yang lahir benar-benar menjamin keadilan, melindungi hak warga negara, dan membatasi kekuasaan negara.
Pernyataan sikap ini ditandatangani 18 akademisi dari berbagai universitas terkemuka, termasuk lima guru besar hukum pidana dari UI, Undip, Untirta, dan Unibraw, serta 13 dosen senior dari berbagai universitas di Indonesia.
Respon DPR dan Pemerintah terhadap kritik keras para akademisi hukum pidana ini masih ditunggu.***