Site icon Parade.id

RUU PPRT Berstatus Prolegnas, MPI Gelar Diskusi

Jakarta (PARADE.ID)- Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah 18 tahun  berstatus Prolegnas  di DPR RI sejak 2004. Belum semua fraksi bersepakat membawa RUU ini ke Bamus DPR RI.

Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti meminta DPR RI menyegerakan pengesahan undang-undang tersebut sebagai upaya perlindungan terhadap pekerja rumahtangga guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan sosial.

“Dengan semangat memaknai Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022, undang-undang PPRT ini seharusnya segera disahkan. Negara harus hadir dalam melindungi pekerja rumahtangga guna  mewujudkan keadilan dan kesetaraan sosial,” katanya saat memberikan sambutan  pada diskusi dan dialog on line  tentang pengawalan UU PPRT pada Selasa (07/06/22).

Dubes RI untuk Kuwait ini juga meminta agar seluruh elemen gerakan perempuan, baik yang tergabung dalam masyarakat sipil mau pun organisasi politik, menyamakan persepsi dan sudut pandang yang lebih komprehensif dalam mendorong pengesahan regulasi terkait pekerja rumah tangga.

Salah satu anggota Koalisi Sipil untuk UU PPRT Eva Kusuma Sundari mengatakan bahwa perempuan rawan sosial ekonomi, termasuk PRT, belum terregister  sebagai fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana tercantum dalam Kepmensos No 146 /HUK/2013.

Oleh karena itu, “Pengesahan  undang-undang ini akan membuka akses PRT terhadap semua paket bantuan sosial pemerintah karena faktanya mereka tergolong orang tidak mampu yang berhak mendapat bantuan dari negara, namun selama ini belum terdaftar,” ujar Eva.

Selain itu, kata Direktur Institut Sarinah ini,  pengesahan undang-undang PPRT menjadi pengakuan negara atas  profesi pekerja rumah tangga, berdampak pada   adanya  jaminan perlindungan terhadap PRT dari kekerasan serta adanya kebebasan  untuk membentuk perkumpulan atau serikat pekerja.

Ninik Rahayu sebagai Koordinator Pengawalan RUU PPRT dari MPI menegaskan bahwa RUU PPRT selain mengatur pengakuan dan perlindungan pada PRT,  secara substantif UU nantinya akan memberikan perlindungan  kepada PRT juga sekaligus kepada Pemberi Kerja.

“Hingga saat ini belum ada kebijakan yang memberikan perlindungan pada dua entitas tersebut. Padahal ada sejumlah isu krusial yang penting  dilindungi dari perspektif keduanya,” ujarnya.

Menurut Ninik, kepentingan tersebut kemudian  telah dituangkan dalam  RUU PPRT yang telah disusun Badan Legislasi DPR RI.

“Misalnya terkait penyempurnaan konsideran dan tujuan,  pengaturan hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja, penegasan hak dan kewajiban kedua belah pihak, pelatihan PRT, pengawasan oleh pemangku kepentingan serta penyelesaian perselisihan,” katanya.

Ninik juga menyampaikan bahwa, RUU ini disusun menggunakan pendekatan sosiokultural sehingga kelahirannya tidak bermaksud  menghilangkan hubungan kerja yang telah didasarkan pada kearifan yang selama ini diakui dalam hubungan sosial di masyarakat.

“Orang yang ngenger atau santri yang mengabdi di pesantren tidak termasuk dalam katagori pekerja rumah tangga. Bahkan, jika telah terbangun kesepahaman dan penerimaan terhadap kondisi masing-masing (pekerja dan pemberi kerja), maka hubungan tersebut tidak perlu dipermasalahkan,” ujarnya.

Sebagai penutup Ninik menegaskan bahwa sudah saatnya negara mengakui eksistensi pekerja kerumahtanggaan ini.

Di akhir diskusi, Eva meminta pada berbagai pihak untuk memberi masukan guna  perbaikan dan penyempurnaan Daftar Inventaris  Masalah (DIM).

“Undang-undang ini diharapkan dapat mengakomodir seluas  mungkin  kepentingan pihak-pihak terkait, yaitu,  PRT, Pemberi Kerja dan Penyalur. Tujuannya adalah untuk semakin mewujudkan sila keadilan sosial,” katanya. []

Exit mobile version