Jakarta (PARADE.ID)- Aktivis Rijal KOBAR mengenang sejarah kebiadaban dan pengkhianatan PKI kepada bangsa dan Negara. Ia pun merasa bahwa kita, atau Negara tak pantas meminta maaf kepada mereka (PKI) seperti wacana yang pernah ada.
“Di era ini, apa kita setuju minta maaf pada PKI? Kita harus renungkan. Mereka yang bunuh, masa kita yang meminta maaf. Masuk akal, gak?” kata Rizal, kemarin, dalam diskusi “Selamatkan Generasi Muda Penerus Bangsa dari Paham Komunis”, Jakarta.
Menurut Rizal, hal semacam itu seperti ingin mengadu domba kita. Ia pun meminta kepada kita agar jangan mau melakukan itu (meminta maaf) dengan alasan konsep apa pun.
“Sejengkal tanah tidak akan saya berikan kepada PKI. Sekali merdeka tetap merdeka! Saya ingin menjadi pelaku sejarah, bukan penonton sejarah,” tegasnya.
Kisah hitam PKI itu menurut Rijal juga karena bukan keributan antara jendral dengan jendral, melainkan murni pembunuhan. Penculikan.
Berita yang tampak menganulir di publik soal itu pun dianggap Rijal telah dipelintir. Ia mengimbau agar jangan mau masuk ke dalam pelintiran info tersebut.
“Itu pembantaian terhadap manusia. 1969 TNI melakukan pembersihan terhadap PKI. Akhirnya dibuat TAP MPRS 1966. Sampai sekarang TAP MPRS itu berlaku,” terangnya.
Rijal memberikan contoh atas hal itu, misalkan PKI melakukan pembantaian di pabrik gula. Kekejaman yang dilakukan oleh PKI itu dapat dirasaka ketika darah manusia mencapai semata kaki.
“Dahsyatnya pembunuhan terjadi oleh PKI. Bisa bayangkan berapa yang terbunuh. Akhirnya mampu meredam oleh TNI setelah Indonesia merdeka,” ceritanya.
Contoh lainnya yang menguatkan kebiadakan PKI dan terus dikenang hingga saat ini ialah dimana para jendral dibantai tengah malam. Persis di tanggal 30 September 1965. Menurut Rijal, itu pembunuhan besar.
“Tahun 1965 terjadi besar-besaran tujuh jendral. Awalnya 10. Tapi tiga dicoret, yakni Soewanto, Adam Malik, satu lagi saya lupa. Tiga ini digeser oleh PKI karena dianggap tidak penting terhadap NKRI. Tujuh ini disebut pahlawan revolusi,” katanya.
Selain TNI, warga, santri maupun lainnya, organisasi kepemudaan saat itu seperti HMI dan GPI juga turut andil melakukan kebiadaban PKI. Dan sebelumnya PKI pernah gerah dengan salah satu organisasi tersebut, yakni HMI.
Sementara itu, ustaz Maulana Poso Siregar yang juga menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan sebenarnya PKI itu tidak ada apa-apanya. Sudah tidak laku.
“Di Rusia sudah tidak dipakai. Eh, cebong sekarang mau naikin komunis. Gak tahu diri. Gak laku,” tegasnya.
Menurut dia, PKI/komunis tidak cocok berada di negeri Indonesia yang berpancasila. Sebab di sila pertama di Pancasila, kita harus beragama.
“Pancasila cocok dengan kita. Agama dilindungi oleh Negara. PKI itu kecil. Komunis itu kecil, kalau kita menjalankan agama dengan benar,” kata dia.
Namun demikian, ia berpesan agar kita tetap waspada akan adanya ancaman kebangkitan PKI. Kita diminta mempersiapkan diri.
Dan menurutnya yang tampak menjadi ancaman itu ialah telah diubah UUD terkait Presiden tidak lagi perlu warga asli Indonesia, melainkan cukup hanya dengan warga Indonesia.
Hal kedua yang tampaknya menjadi ancaman bangkitnya PKI adalah tidak adanya patung-patung yang heboh belakangan ini di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad, Jakarta. Ketiga patung yang dipindahkan itu merupakan tiruan sosok tokoh angkatan bersenjata, yakni AH Nasution, Soeharto, dan Sarwo Edhie Wibowo.
Ia pun menilai bahwa keadaan kita saat ini tidak dalam damai dan biasa-biasa saja. Kendati begitu, ia berharap kepada pemerintah agar dibangun kembali patung-patung tersebut.
(Sur/PARADE.ID)